Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kita dan Budaya Misoginis

24 Juni 2014   18:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:17 336 0
"Ayo coba dulu, berani dong, anak cowok kok takut..."
Begitulah, sejak kecil sebagian besar dari kita telah ditanamkan pandangan bahwa salah satu demarkasi antara laki-laki dan perempuan adalah 'keberanian'. Lalu setelah beranjak dewasa, si anak itu ganti mengatai temannya, “Ah masak nggak berani, banci kamu!” Yang dimaksud banci bukan sosok laki-laki berbaju dan berdandan perempuan, tapi sebagai simbol: laki-laki seperti perempuan. Kita tumbuh dalam pandangan seksis, mengaitkan terlalu banyak hal dengan jenis kelamin, memandang laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotipe tradisonal tentang peran gender.

Meskipun kini diskriminasi gender atas akses pendidikan telah banyak terhapuskan, meskipun kita telah familiar dengan 'wanita karir', nyatanya sampai detik ini tak susah untuk menemukan seksisme dalam berbagai hal. Mulai dari yang telah sangat membudaya seperti pendidikan anak, hingga eksploitasi seksisme untuk kepentingan pemasaran, jargon “Laki” dalam iklan Extra Jos misalnya. Pada akhirnya, kita mengamini oposisi biner ‘laki-laki >< perempuan’ dengan anggapan ‘pemberani >< penakut’, ‘kuat >< lemah’.

Lalu apa yang akan terjadi jika satu entitas yang dikonstruksikan sebagai kuat hidup bersama dengan entitas lain yang dikonstruksikan lemah? Dominasi, baik dalam wujud fisik maupun mental. Hiduplah kita dalam budaya misoginis. Secara harfiah misoginis artinya membenci perempuan, secara lebih luas misoginis dapat berwujud diskriminasi seksual, kecenderungan menyalahkan perempuan, kekerasan terhadap perempuan, juga menganggap perempuan sebagai objek seksual.

Bukankah ketika kita terbiasa dengan mental memandang perempuan sebagai objek seksual, berarti kita juga menganggap biasa pemerkosaan? Lalu setelah terjadi pemerkosaan kecurigaan kita adalah “pasti si perempuan pakai baju seksi!” Blaming the victim! Mental seperti itu juga yang membuat pornografi begitu laku.

Bagaimana cara melawan pornografi? Agama pun tampil. Namun, perlu dipertanyakan juga, jangan-jangan pemahaman agamanya juga misoginis? Bukan memandang perempuan sebagai objek seksual tapi sebagai ‘the second sex’, subordinat laki-laki. Kalau pemahamannya masih begitu, upaya memberantas pornografi dengan agama justru menjadi sebuah paradoks.

Kembali lagi ke topik pembuka tulisan ini, soal ‘keberanian’. Menurut saya, kita perlu merevolusi paradigma kita, bahwa keberanian tidak ada relevansinya dengan jenis kelamin. Setiap manusia membutuhkan keberanian, karena hidup ini memang menuntutnya. Keberanian lebih relevan dihubungkan dengan interest dan kemampuan. Berani mendaki gunung itu karena dia memang punya interest ke sana, berani menyelam karena dia sudah berlatih sehingga mempunyai kemampuan untuk itu, tidak ada hubungannya dengan kelaki-lakian atau keperempuanan.

Dengan meminimalisasi seksisme dan budaya misoginis, saya pikir kita layak berharap dapat mengurangi pelecehan seksual dan pornografi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun