Ada satu judul esai dari Roland Barthes yang begitu populer menjadi semacam adagium: the Death of the Author. Kelahiran pembaca mesti dibayar dengan kematian pengarang: pengarang tidak lagi menjadi tuhan atas karyanya sehingga pembaca bebas menafsirkan karya si pengarang itu, begitulah kira-kira maknanya. Barthes menolak kritik sastra tradisional yang menyandarkan pada konteks identitas si pengarang, karena itu sama saja memaksakan batas-batas dari teks itu.
Dalam sebuah logo, konsep itu sebenarnya sangat berlaku. Benar bahwa setiap logo pasti dimuati makna atau filosofi tertentu dalam proses perancangannya (walau seothak-athik gathuk apapun), tetapi ketika logo itu telah dipublikasikan dan "pembaca" telah lahir maka sang desainer pun "mati". Ya, bersama penayangan logo itu tidak akan disertakan penjelasan konsep atau filosofinya, apalagi brand book-nya. Maka yang akan berbicara adalah visual logo itu sendiri, ia yang akan menarasikan "aku ini begini begitu" mewakili sosok si empunya logo. Tentu saja, kesan yang ditangkap audiens akan sangat terkait dengan konstruksi sosio-kultural yang berlaku. Sehingga, kemampuan desainer dalam menciptakan visual yang mampu berbicara sesuai kesan yang diharapkan sangatlah penting.
Kembali lagi ke Barthes, dalam bukunya S/Z ia mengintroduksikan lima macam kode yang berlaku dalam sebuah narasi: hermeneutic, proairetic, semantic, symbolic, dan cultural. Penjelasannya tak perlu dibahas di sini karena akan terlalu panjang. Oke, mari kita fokus pada semantic code, kode semantik. Intinya, kode semantik adalah soal konotasi dari kode (tanda-tanda yang di/tertata) dalam suatu narasi yang petandanya berupa karakter. Barthes memberi contoh paling sederhana dalam pembacaannya terhadap teks Sarrasine karya Balzac, bahwa kata "Sarrasine" mengandung kode semantik yaitu konotasi femininitas.
Nah, lalu bagaimana kode semantik dalam visual logo baru Jogja dan bagaimana ia melahirkan karakter masyarakat Jogja sebagai petandanya? Sebagaimana penjelasan di atas, mari kita lupakan filosofi dari logo baru Jogja seperti yang telah dipublikasikan oleh Tim 11. Kita akan biarkan logo itu berdiri sendiri. Seperti Barthes yang membongkar teks Sarrasine, mari kita bongkar dan kuliti kode-kode yang ada dalam logo Jogja:
- Anatomi huruf: kombinasi batang tebal tipis, sudut rounded-square, miring ke kanan. Dari sini dapat segera ditangkap bahwa referensi bentuknya adalah aksara Jawa. Maka konotasi yang ditimbulkan jelas: Jawa. Jelas bagi masyarakat Indonesia maksudnya.
- Kemiringan huruf. Selain menguatkan karakter aksara Jawa, huruf italic dalam logo memunculkan konotasi bergerak, dinamis, berkebalikan dengan huruf tegak yang berkonotasi kokoh dan statis.
- Jenis dan komposisi huruf. Walaupun katanya merupakan custom type face, sebenarnya jenis huruf yang digunakan dapat dimasukkan dalam keluarga sanserif (meskipun tebal tipisnya masuk dalam keluarga roman). Sedangkan komposisinya dapat kita lihat sangat teratur, lurus, sejajar. Model seperti ini sangat khas desain-desain modernis: kesederhanaan, keterukuran dan keteraturan. Form follow function. Konotasinya ya seperti itu, tertib, teratur, termenej dengan baik.
- Huruf kecil. Kebanyakan logo era ini memang menghindari penggunaan huruf kapital di awal kata, umumnya huruf kecil semua atau huruf besar semua. Gaya ini memunculkan kesan muda, non-formal/tidak kaku, dan egaliter.
- Repetisi bentuk. Kalau kita cermati, sebenarnya hanya ada 2 bentuk huruf di sana, yaitu huruf j dan o. Huruf g merupakan gabung-modif dari o dan j, sedang huruf a merupakan o yang dilancipkan sudut atas-kanannya dan ditambahkan ekor. Efeknya, sama seperti poin 3 di atas, kesan sederhana dan solid.
- Aksen titik atas huruf j dan potongan pada huruf g. Sebagaimana umum dan fungsinya, aksen visual akan memunculkan kesan unik, khas atau orisinal, juga memecah kebosanan. Bentuk titik yang tertangkap seperti daun memunculkan konotasi alam, atau bagi yang telah memiliki referensi bentuk mahkota sultan akan merujuk ke sana.
- Warna merah. Secara umum memberikan konotasi gairah, keberanian, menarik perhatian dan rasa percaya diri. Secara global warna merah juga sering dirujukkan ke Tiongkok. Sedangkan Jogja selama ini identik dengan warna hijau-kuning, sehingga, walaupun merujuk ke lambang Kraton, menciptakan konotasi warna merah adalah Jogja butuh waktu tak singkat.
- Tidak adanya elemen visual selain huruf. Jika kita lihat logo-logo kota lain, misal logo Semarang, Surabaya, Jakarta, atau Solo, mereka membubuhkan ikon-ikon visual yang khas. Selain memudahkan identifikasi, elemen visual itu memunculkan kesan atraktif. Jadi, logo Jogja yang polosan itu memang tampil sangat dewasa, sederhana tanpa asesoris, kalem, dan cenderung tak ingin menonjolkan diri,