Setelah beberapa saat absen dikarenakan tenggelam oleh hiruk-pikuk pesta demokrasi, isue dan tindakan penggusuran pemukiman liar kembali menyeruak ke permukaan. Setelah Jakarta yang dinilai “sukses”, giliran Pemkot Surabaya melakukan penertiban (penggusuran) pemukiman yang dianggap liar. Setelah mengalami dua kali penundaan eksekusi, yakni yang pertama pada awal tahun 2008 dan kemudianpada bulan Juni2008, sekitar 380 bangunan (rumah) yang berderet memanjang mulai dari Pintu Air Jagir hingga Jembatan Nginden berhasil di luluhlantakkan oleh Pemkot Surabaya. Dengan bantuan keamanan dari petugas gabungan yang berasal dari Kepolisian, Satpol PP, dan petugas dari Bakesbang Linmas, perlawanan dari warga seperti tak ada artinya sama sekali. Meskipun penolakan datang dari berbagai kalangan, Pemkot tak bergeming dari sikapnya. Alasan Pemkot sealalu sama, bahwa bangunan tersebut ilegal karena menempati tanah milik negara tanpa ijin. Warga menganggap tindakan Pemkot ini merupakan bentuk ketidakadilan karenadalam persepsi mereka, telah membayaratau lebih tepatnya mengganti tanah tersebut. Jadi, tanah tersebut ditempati bukan dengan Cuma-cuma namun dengan proses pembelian. Mereka juga secara rutin membayar uangkepada oknum petugas.