”Bagaimana jika dia tahu aku di sini?” aku bertanya was-was pada lelaki yang basah karena keringat semangatnya di sampingku. ”Dia takkan tahu. Kupastikan tak ada aroma tubuhmu yang tertinggal, bahkan rambutmu yang berguguran itu takkan tersisa di bantal ini, honey....!” Jay lalu mendekat padaku dan membasahi wajahku dengan ciumannya yang lembut tapi bertubi-tubi. Aku biarkan diriku larut dalam belaiannya. Sesekali mengikuti alur yang dia buat. Entah sudah berapa kali Jay-panggilan mesraku padanya- membawaku pada nikmat hari ini. Aku menoleh ke jam dinding di pojok kananku, sudah hampir jam 3 sore. Berarti sisa satu jam lagi aku di kamar ini. Ah...Jay masih belum berhenti mencumbuku. Aku lelah, bukan karena gelora. Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Dan besok aku harus kembali pulang ke Semarang. Dan sudah seminggu ini, setiap pagi hingga sore aku berada di kamar Jay. Menghabiskan liburanku, beradu bersamanya. ”Kamu kenapa, Rindu?” Jay menarik wajahku ke arahnya. Dan menatapku penuh tanya. ”Aku gak papa” jawabku singkat lalu mengalihkan pandanganku darinya. Aku tahu Jay bisa mendapatkan jawabannya jika terlalu lama menatap kedua mataku yang mungkin kini berkaca-kaca. Perlahan Jay melepaskan diriku, menjauh, menatap langi-langit. ”Kamu masih takut?” Pertanyaan yang aku rasa tidak perlu dijawab. Siapapun orang yang berada di posisi ini, khususnya wanita sepertiku tentu akan merasakan takut. Kegelisahan yang teramat dalam. Bahkan kenikmatan yang didapat takkan mampu menutupi kegelisahan dan keresahan dalam hati. Untungnya, wanita selalu bisa untuk berakting puas dalam bercinta. ”Rin, kenapa kamu diam..?, sudahlah, berapa kali harus kubilang. Tak ada penyesalan. Aku memilihmu...!” Jay menegaskan kata-katanya.
Ya, kau memilihku untuk membuangku pada akhirnya... ”Nanda tahu kalau mas masih jalan denganku. Satu hal yang dia tak tahu, adalah kita selalu bermain di belakangnya. Dia hanya tahu, kita adalah kekasih yang tak pernah bertemu karena jarak. Dia hanya tahu bahwa aku hanya pelepas lelahmu di telepon. Dia taktahu bahwa kita benar-benar bercinta karena cinta. Terlebih, dia tak tahu sekarang aku ada di kamar ini. Kamar di mana kalian selalu tidur berdua, meski tak bercinta katamu, dan aku tahu itu semua bohong....” kataku sembari bangun dan duduk di sampingnya. ”Rin, hentikan keluhmu itu. Nanda memang tahu aku tak mencintainya lagi. Nanda di rumah ini hanya sementara. Sebentar lagi dia akan pindah ke kontrakkan yang dekat dengan tempat kerjanya. Aku sudah tak tidur di kamar ini kalau malam. Sofa di ruang tamu itu jadi saksi. Kamu masih bisa lihat tanda-tandanya. Aku selalu menghabiskan malam di sofa itu. Bukan di sini. Kamu tahu, Rin, aku baru masuk lagi ke kamar ini hanya untuk menghabiskan waktu denganmu...” Jay kembali mencumbuku. Ah, aku muak pada diriku sendiri. Sementara Nanda sibuk bekerja, aku malah bersama lelaki yang akan menjadi suami Nanda nantinya. Ya, masih calon. Jay selalu meyakinkanku, bahwa satu-satunya perempuan yang akan dinikahinya adalah Rindu, aku, dan bukan Nanda, wanita pilihan orang tuanya. * * * Aku mengenal Jay setahun yang lalu. Di sebuah pesta pernikahan seorang kerabat. Berawal dari curahan hati akupun dekat dengan Jay. Aku wanita single yang baru saja memutuskan hubungan dengan seorang lelaki yang hampir enam tahun berpacaran denganku. Jay, seorang lelaki, yang sudah memiliki seorang kekasih – yang belakangan aku tahu sudah tinggal serumah dengannya – yang konon katanya adalah wanita yang disediakan orangtuannya untuk dinikahinya kelak. Tak ada kata cinta awalnya. Hanya berbagi cerita tentang rasa yang mengganjal. Hubungan Jay dengan Nanda yang sudah lima tahun berjalan. Semuanya penuh keterpaksaan. Nanda yang egois, pencemburu dan menghambat aktifitas seorang Jay sebagai seorang pemain musik. Segala sepakterjang Jay dibatasi Nanda. Itu yang membuatnya terpenjara. Apalagi, mereka sudah tinggal serumah, bahkan sering sekamar. Hari demi hari kuhabiskan bersamanya meski hanya lewat telepon. Hanya satu-minggu saja aku bisa mengistirahatkan kupingku dari suaranya. Tentu, karena Nanda ada di rumah dan akupun tidak mau jadi masalah besar. Sampai satu hari, Nanda mendengar ada wanita lain dari mulut Jay sendiri. Itu jadi awal kisah cintaku dan Jay. Menyadari ada cinta meski itu sangat tak lazim. Sebulan sekali, aku mengunjunginya di Jakarta, atau Jay yang mengunjungiku ke Semarang. Dan tentu saja, nafsu tak dapat dibendung. Peduli setan dengan segala norma. Itu saja yang ada dibenak dua insan yang sedang dimabuk asmara. * * * ”Aku tahu ini berat, Rin, dan aku tak bisa melawannya...” ujar Jay di suatu senja. Dua bulan sejak aku menghabiskan waktu di Jakarta. ”Lantas? Mas ingin meneruskan hubungan yang mas yakin takkan bahagia bersamanya?” aku sudah tahu jawabannya. Bukankah aku terpilih untuk menjadi yang terbuang... Suara di seberang sana masih tak terdengar. Ada keheningan. Yang hanya aku dan Justin yang mengerti. Segala nafsu atau cinta yang sudah aku dan Jay tabung setahun lebih ini tentu akan habis dalam sekejap. Itu bukan hal yang mudah bagiku untuk melepasnya. Melepas lagi orang yang aku sayangi. Untuk jatuh hati padanya saja bukan hal gampang, apalagi untuk melepasnya. ”Masihkah kamu menungguku, Rindu?” suaranya lirih di ujung sana. Menunggu. Dengan apa dan atas apa aku menunggu. Atasnama cinta yang tak lagi bercinta? Atasnama sayang yang kini sudah berganti kebencian? Menunggu Nanda pergi untuk selamanya – karena penyakit ginjal yang di deritanya? Atau justru menunggu diriku sendiri menjadi abu? Benar-benar pertanyaan yang tak perlu. ”Berjalanlah mas. Memilih itu yang bisa mas lakukan. Mas telah memilih, untuk hidup bersamanya, meski mas bilang itu hanya untuk membahagiakan orangtua. Mas mencintai Nanda, setidaknya pernah mencintai Nanda, maka hiduplah bersamanya dengan sisa cinta yang masih ada itu. Aku punya jalan sendiri... Aku sudah selesai denganmu. Aku akan selalu mendoakan kalian...” jawabku dengan ketenangan yang sudah kupersiapkan sejak beberapa waktu lalu. * * * Tiga bulan setelahnya... Sebuah pesan masuk di surat elektronikku. Sebuah undangan pernikahan yang memiliki design yang indah dengan corak biru laut terpampang jelas di layar laptopku. Sebuah nama berwarna tinta emas membuat hatiku bergejolak, nama yang akrab di hatiku, Justin. Entah senyum dengan makna apa yang aku ukir ketika aku membaca undangan elektronik ini. Ada bahagia, ada sedih. Aku tutup pesan itu. Tak mau berlama-lama memandangnya. Pandanganku beralih pada sebuah bingkai di samping laptopku. Gambar seorang pria berwajah sendu dan teduh sedang menatapku dengan senyum yang manis sekali. Pria yang baru saja memasuki hidupku. Belum ada kepastian. Namun berharap pasti. Nino, seorang pria yang juga bernasib sama sepertiku. Yang menunggu pada satu tahap, melepaskan kekasih yang akan mengarungi bahagia bersama orang lain. Ada satu harap dihatiku... kelak, Nino mau menghabiskan waktu bersamaku. Menuju cahaya. Meninggalkan kelam. * * * Di sudut pinggiran kota Jakarta. Tubuh tergolek lemah di ranjang ungu. Ranjang kisah Rindu, Jay dan Nanda. Seorang lelaki, Jay, meletakkan segelas teh hangat di samping tempat tidur, dan semangkuk bubur ayam. Dibangunkan tubuh yang terlelap itu… “Nanda, ayo dimakan buburnya. Aku suapin…” ujar Jay penuh kasih. Satu persatu suapan.
.........................................
Aku berharap, satu hari nanti kau meracuninya Jay
KEMBALI KE ARTIKEL