Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dari Rahim - Berikan Aku Rok (3)

30 Juni 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11 930 0
III.

Sore ini aku kembali menikmati angin pantai sambil menanti senja yang sesaat lagi akan memamerkan kilaunya tepat di depan mataku. Ini hari ke dua di Kalabahi. Aku masih belum menemukan apa yang kucari. Biarlah, aku masih ingin menikmati keindahan kota kelahiranku yang mungkin aku takkan pernah melihatnya lagi.

Pantai Reklamasi, demikian nama pantai ini sekarang. Sudah mulai padat dengan warung-warung yang menyiapkan aneka makanan. Di sini sudah banyak pendatang, bukan hanya orang Alor asli. Kebanyakan dari pulau Jawa dan Makasar.

Beberapa warung ikan bakar sudah mulai menyiapkan bara. Kebetulan aku duduk di samping salah warung ikan bakar yang kata Seba memiliki Ikan bakar yang lezat. Aku ingin mencobanya malam ini. Itulah sebabnya aku sengaja mengambil tempat yang strategis sambil menunggu senja. Sendiri.

Jam tanganku masih menunjukan pukul 5 kurang. Aku membuka tasku dan mengambil hape yang sejak kemaren sengaja kumatikan. Dengan malas aku menekan tombol hitam kecil di pojok kanan atas untuk menghidupkannya.

Lebih dari sepuluh pesan masuk. Satu-satu kubaca. Beberapa dari rekan kerja yang sekedar bertanya kapan kembali ke Jakarta, pekerjaan numpuk dan sebagainya. Aku tak tertarik membalas semua pesan itu.

Matahari jelang senja lebih membuat hatiku berhasrat. Perlahan tapi pasti keindahan itu menentramkan hatiku. Lama sudah aku tak menemukan suasana ini. Jingga begitu mempesona memantulkan cahaya berkilauan di permukaan laut. Mengapa aku tak menyadari betapa nikmatnya anugerah alam yang kupunya sejak dulu?. Ah untuk inilah sebenarnya aku kembali ke Alor.

Berdamai dengan tempat yang sudah membentuk kebekuan dalam hatiku. Mencoba mencairkan bongkah-bongkah es yang telah lama membatu. Aku akan mulai dari sini dan beberapa hari ke depan, aku akan benar-benar menikmati keindahan pantai Alor untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

Sejak kejadian masa kecilku di pantai itu, aku tak pernah lagi menyentuh bibir pantai. Untuk menjejakkan kaki di pasir lembutnya pun aku tak berani. Ada benteng yang tinggi sekali yang menghalangi pandanganku ke laut lepas sejak itu. Tak pernah lagi aku mencari kerang atau bermain riak ombak bersama teman-teman kecilku.

Ah suasana ini begitu damai… burung-burung kecil naik turun ke permukaan, angin yang menggoyangkan badan perahu dan kapal-kapal kecil yang bersandar serta nuansa jingga yang begitu mempesona membuatku hanyut…sembari menikmati asap ikan yang sedang dibakar.

“Destri…? Lu Destri ko?” seorang pria berperawakan kurus tinggi kulit agak coklat tiba-tiba menghampiriku dan menyebut namaku.

“Acok?”

Aku menyuruh Seba untuk mencari Acok, sahabat kecilku, dan menyuruhnya menemuiku di warung ikan bakar ini. Aku tak menyangka Seba benar-benar menyanggupi permintaanku. Di sinilah Acok, di hadapanku.

“Des, ini lu kah?” Acok terheran-heran melihatku.

“Ya ini aku…” ujarku sembari menjabat tangannya erat.

“Woh… tambah keren saja gayamu. Kupikir tadi kamu ini laki-laki. Tidak berubah. Tetap berambut pendek dan tidak ada tanda-tanda kalau kamu ini wanita… hahahah,” ejeknya membuatku meninju lengannya.

“Duabelas tahun na kita berpisah. Seharusnya kau sudah berubah Des… Sa pikir tadi dalam perjalanan, Destri yang sekarang adalah Destri yang berambut panjang, seperti dulu waktu lu kecil… ikat rambut ekor kuda di kanan dan di kiri gitu…” ujarnya sambil memperagakan kedua tangannya yang seakan memegang ikatan rambut di kedua sisi kepalanya.

“Tapi aku tak seperti itu bukan. Hei… kita berpisah itu saat kita sudah besar. Sudah hampir seventeen kali… ah kamu bahkan sudah menginjak angka itu kok. Kan kita beda setahun. Aku tak lagi kuncir kuda kan…” aku berusaha mengingatkan Acok, kalo aku tak seimut yang dia pikir.

“Hahahah. Iya iya. Tapi…. Apa lu tetap tidak mau pakai rok?” Acok melontarkan pertanyaan yang membuat aku tersedak padahal belum juga mencicipi ikan bakar yang baru saja di sajikan di mejaku.

Aku belum mau menjawabnya.

“Makanlah dulu… sambil makan kita cerita-cerita…Aku ingin sekali mencicipi ikan bakar ini. Seba bilang ini terenak yah?”

“Iya betul itu. Mari sudah…”

Tangan kami sibuk mengambil bagian dari ikan bakar sambal colo di depan kami. Memang ikan bakar ini nikmat sekali. Namun seleraku jadi hilang ketika Acok menyebut-nyebut soal rok.

***

Naik kelas 3 aku sudah melepaskan rok sekolah. Aku lebih suka memakai celana. Itu kulakukan karena aku takut memakai bawahan yang membuat aku merasakan udara masuk ke pangkal pahaku. Dingin yang membawaku kembali pada peristiwa malam itu. Di tahun terakhirku di kelas dua, tepatnya beberapa bulan setelah kejadian menyedihkan itu aku masih memakai rok. Setiap aku berjalan selalu saja aku merasa ruang kosong di bawahku itu digerayangi tangan-tangan bahkan sesekali aku merasa di tusuk-tusuk seperti waktu itu.

Aku tak pernah menggunakan rok sekalipun guru-guru di sekolah memarahiku. Tak jarang penggaris panjang atau rotan singgah di kakiku. Aku tak peduli. Aku hanya tak ingin pakai rok. Otakku cerdas, dan itu tak ada hubungannya dengan pakaian yang kukenakan. Aku selalu jadi juara kelas, memang pelajaran di desaku tak sesulit di ibukota. Pemerintah memang bijak, untuk pendidikan di desa disesuaikan dengan tingkat kecerdasan masyarakat yang hanya makan seadanya.

Tak jarang mama memaksaku untuk memakai rok. Lama-kelamaan mama juga bosan menyuruhku. Yang penting baginya adalah aku bisa rajin belajar dan membantunya sesekali menjual sayur di pasar sehabis pulang sekolah. Itu cukup membuatnya bangga dan melupakan kesedihan yang sebenarnya takkan bisa hilang. Tak perlu pakai rok untuk membuatnya tersenyum.

Aku merasa jijik sendiri jika harus pakai rok. Peduli amat dengan ejekan teman-temanku. Aku memang pendiam. Tak ada yang bisa merubah keputusanku. Aku tak perlu teriak-teriak untuk memaksakan kehendakku untuk tetap memakai celana ke sekolah. Cukup dengan membuktikan kalau aku bisa belajar dengan baik dan bertingkah sopan.

Aku heran saja, niat baikku kadang tak sejalan dengan kenyataan. Hanya gara-gara aku beda dengan anak perempuan lainnya, bapak dan ibu guru masih saja suka memukuliku dengan benda-benda panjang seperti penggaris dan rotan tadi. Terkadang aku jadi ingat perkataan ayah kala itu. Memang aku ini anak setan atau suanggi yang memang harus disembuhkan terus menerus. Ya… biarlah, toh penggaris dan rotan ini tidak lebih sakit dari kejadian malam itu.

* * *

“Hem… Des, sudah 2 hari lu di sini… buat apa?” tanya Acok membuyarkan lamunanku.

“Oh… itu… aku mau mencari jejakku…sebelum aku benar-benar pergi…” jawabku asal.

“Lu mo pi mana?, ah… kurang jauh ya Jakarta…? Sekarang lu mo pi ke luar negeri ko?” tanya Acok seraya menyulut rokok setelah ikan bakar di hadapan kami habis hanya tinggal duri saja.

“Hahahah, tidak lah. Rahasia…” jawabku singkat.

“Hem… Gimana kabarmu rupanya?” tanyaku lagi. Sedari tadi belum sempat bertanya kabarnya, karena Acok lebih tertarik bertanya soal mama dan adik-adikku yang sekarang ada di Jakarta.

“Aku… Sama seperti dulu tak ada yang berubah. Aku sudah menikah. Pernah menikah tepatnya…” ujarnya seraya menarik nafas panjang menghisap rokoknya dan menghembuskannya lagi.

“Pernah?... lalu sekarang?”

“Meninggal ketika melahirkan anak perempuanku… sekarang sudah 3 tahun dia. Lucu… mau kuajak tadi. Tapi badannya panas. Sama neneknya dia di rumah.”

“Ayah ibumu sehat?, masih jualan di pasar?”

“Ibu masih lah… Sehat… Ayah sudah meninggal. Waktu baku hantam dengan Wetabua atas beberapa tahun yang lalu…, terkena panah, di bawa ke rumah sakit su tidak selamat. Panah beracun. Lu tau toh” ujarnya melemah.

“Oh… ternyata masih terus saja berlanjut yah… Kupikir setelah aku meninggalkan Alor nih keadaan jadi aman-aman saja…. Hem…. Tak bisa dirubah sikap orang Alor nih…kamu juga pasti ikut-ikutan yah…? Kok ayahmu bisa kena panah? Bukankah ayahmu tak suka ikut-ikutan?”

“Ayah hanya salah waktu saja. Ayah baru pulang dari pasar Kadelang, jemput ibu. Tapi waktu itu tiba-tiba di wetabua situ dong baku hantam bikin kacau jalanan. Tak sengaja itu panah memilih lengan ayah… orang-orang tuh memang tidak tahu diri… Cuma masalah sepele saja dong bikin ribut… begitu terus…”

Sejak dulu selalu saja masalah sepele harus berakhir dengan perkelahian, lempar-lemparan, panah dan senjata tajam lainnya turun semua. Tipikal orang Alor memang begitu. Tak jarang berakhir dengan pembakaran toko atau apa saja yang bisa di bakar. Keras. Bahkan terkadang gelap mata. Terlalu banyak suanggi mungkin di tempat ini. Sehingga hawanya selalu saja panas dan gelap kalau sudah berurusan sama harga diri yang merasa dilecehkan. Biasanya karena rasa solidaritas yang tinggi antar golongan itu yang justru membuat pertengkaran dan peperangan tak bisa dihindari.

“Bagaimana denganmu? Sudah punya anak berapa?”

“Hahahaha, anak… aku tak pernah berpikiran itu. Sama seperti dulu…aku bahkan tidak mengenal cinta…”

“Belum… jangan bilang tidak…satu hari nanti lu tau rasanya…” hibur Acok.

“Jadi, lu belum merubah kebiasaanmu? Tetap tidak memakai rok?” Acok mengulang pertanyaan yang sama seperti diawal tadi.
“Hadoh… itu lagi… ya.. aku masih tetap memakai celana. Tidak ada rok di lemariku. Kecuali… rok milik adik-adikku. Kamu kenapa sih tanyain itu terus…?” ujarku kesal.

“Ya, karena itu yang paling berkesan tentangmu. Siapapun pasti tahu, Destri yang tidak suka pakai rok, yang selalu di hukum pukul di depan kelas sebelum pelajaran dimulai… hanya satu di Kalabahi ini… Tapi kenapa lu tak mau pake rok itu na yang kita tidak tahu to…” ujarnya sambil tertawa

“Aku rasa aku lebih cocok jadi seperti laki-laki begini. Aman dan aku nyaman-nyaman saja. Aku merasa lebih bertanggung jawab dengan keadaanku sekarang…”

“Ya… Lu su jadi orang sukses sekarang. Tapi syukur baik lu masih ingat kampung halaman…Tapi ganti sedikitlah penampilanmu itu. Wanita seperti lu tu banyak yang cari, sukses, banyak uang, tapi kalau gayamu seperti laki-laki begini siapa juga yang mau mendekat.”

“Aku tak perlu laki-laki. Aku bisa menjadi laki-laki utnuk diriku sendiri juga untuk mama dan adik-adikku. Itu saja cukup,” ujarku ketus.

“Ah.. makin kacau sajalah omonganmu.”

“Besok aku mo ke Alor Kecil. Lu mo ikut ko tidak, Des?, lu ada acara ko besok?”

“Gak. Buat apa ke Alor Kecil?”

“Ada arus dingin di sana. Lu ingat to… setahun sekali ni, kebetulan besok tu puncaknya. Jadi kita mo pi ambil ikan yang pingsan… lu ikut sudah!” ajaknya.

Aku ingat, dulu mama pernah bilang kalau di teluk Alor Kecil ada fenomena alam yang hanya terjadi setahun sekali. Pertemuan arus yang sangat deras membuat kabut di sekitar teluk dan ketika arus dingin ini muncul ikan-ikan pingsan dan terdampar di pinggir pantai dan itu yang di perebutkan oleh nelayan dan penduduk sekitar. Tampaknya asyik juga ikut Acok. Selama di Alor dulu, belum pernah sekalipun aku menikmati fenomena itu.

“Oke. Jam berapa besok berangkat…?”

“Jam tujuh lebih lah. Lu di Mam Tua pu rumah to? Itu na sa jemput lu…”

Angin malam di Pantai Reklamasi ini semakin dingin. Perut kenyang dan sudah waktunya tidur. Sepertinya pemuda-pemudi Alor memang suka nongrong. Di samping kanan ada warung karaoke yang kata Acok sering sekali di pakai mesum. Memang sedari tadi ramai sekali. Aku sudah tidak kuat. Aku pamit pulang dan Acok mengantarku sampai di rumah Mama Tua.

* * *

“Nona, kita su cari bapa tua. Tapi dong su tidak tau bapa tua ada di mana. Dengar-dengar itu hari nona pu bapa ada main dengan bibi jawa. Barangkali nona pu bapa ikut dia ke tempat asalnya si bibi jawa itu,” mam tua tiba-tiba membuka pembicaraan ketika aku masuk ke rumah dan mengambil air putih di dapur.

Bibi jawa yang mam tua maksud itu adalah sebutan untuk perempuan yang melacurkan diri. Di Kalabahi terkenal sekali penjaja seks yang asalnya dari luar Alor, biasanya para transmigran dari pulau Jawa, itulah sebabnya di sebut bibi jawa. Bapa tua yang dimaksud adalah ayah. Aku kemari untuk mencari jejaknya. Semua ini kulakukan untuk berdamai. Sebelum keputusan terbesarku kuwujudkan, maka aku harus bisa berdamai dengan semua yang menyebabkan aku berkeinginan untuk yang satu itu. Menjadi laki-laki yang utuh.

“Ya, kalau memang ayah sudah tidak ada di tempat ini, aku harus segera kembali ke Jakarta. Masih banyak yang harus aku kerjakan di sana. Mungkin aku akan kembali dua atau tiga hari lagi.”

* * *

Malam gerah sekali. Sepertinya mau hujan. Angin kencang mengobrak-ngabrik seng di dapur. Semakin menambah suasana gelisah di hatiku. Dua hari di Kalabahi tidak bisa membuahkan hasil yang bagus. Tapi paling tidak, aku sudah bisa berdamai dengan alam ini. Aku duduk sambil menatap cermin besar yang menempel di lemari kayu pinggir tembok.

Kulihat tubuhku di sana. Ada perasaan sesak di dada. Aku membuka kaosku. Dengan pelan kubuka stagen yang membalut erat payudaraku dengan malas. Tidak ada yang istimewa. Payudara kecilku yang sudah lama ku bekap akhirnya bisa bernafas lega. Aku merebahkan tubuhku, kaos ku biarkan di sampingku.

Ya. Sudah kukatakan. Aku jijik dengan tubuh wanitaku. Ini benar-benar menyiksa. Sudah beberapa tahun belakangan ini kupikir matang-matang. Aku benar-benar ingin menjadi laki-laki. Sejak malam itu dan sejak kejadian yang nyaris sama menimpaku ketika aku lulus sekolah menengah atas beberapa waktu yang lalu.

* * *
Bersambung…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun