Jemarinya saling bertautan, sesekali memainkan kukunya yang berwarna peach senada dengan warna perona bibirnya yang tipis. Cantik tapi pucat, sama seperti kulitnya yang bersih namun bagiku seperti layu tak terkena sinar matahari selama beberapa waktu. Akupun menatapnya. Dalam. Tetap diam. Sesekali desah panjang terdengar di kupingku. Mungkin Letizia juga mendengar milikku. Ah… sampai kapan kau bungkam, Letizia.
Cappucino di hadapanku sudah hampir habis. Letizia belum juga mencicipi Orange Juice yang dipesannya sejam lalu. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan.
“Zia, bisakah kita mulai?” tanganku memegang tangan kanan Letizia, ingin menggenggamnya erat.
Poni Letizia semakin menutupi wajahnya saat ia menundukkan kepalanya. Letizia menggeleng lembut.
Kutarik lagi tanganku.
“Oke, kalau kamu siap, akupun siap mendengarkan” ujarku sambil menyeruput Cappucino favoritku yang hampir dingin hingga tak bersisa.
“ mungkin semua jadi sia-sia ” suara lembutnya mengagetkan aku
“ ada apa?”
“ inilah kenapa aku memilih untuk berhubungan dengan seseorang yang jauh, yang bahkan nyaris tak pernah kutemui. Sudah tigabelas pria. Tigabelas. Sejak aku mengenal arti cinta sesungguhnya, bukan cintanya monyet seperti yang selalu kaualami itu !” senyumnya lalu merekah diantara sendu tuturnya.
Kupandangi Letizia dengan senyum genitku. Aku menopang daguku dengan tangan kiriku. Gelasku kosong. Kulirik gelas milik Letizia. Tanganku iseng mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“ lalu, apa sebenarnya yang sudah terjadi denganmu, Zia?” tanganku tetap usil.
Wow, tentu saja aku tahu sudah berapa pria yang membenamkan dirinya ke dalam alam cintamu, satusatu…pikirku sambil tersenyum dan menanti ucapan selanjutnya.
“ Ya, semua akan berakhir. Mungkin semua ini terlihat konyol. Aku menjalin hubungan jarak jauh sebenarnya hanya untuk menghindari yang namanya komitmen dalam pernikahan. Kau tahu, umur kita sudah tidak muda lagi. Tuntutan dari segala arah itu yang membuat aku merasa gagal dalam hidup…” wajahnya kembali tertekuk.
“mengapa bisa begitu, Zia..? kau salah, hidupmu berhasil…kaulihat, apa lagi yang kaucari, bukankah semua sudah kau dapat…. Memang sudah sepantasnya jika saat ini kau sudah benar-benar memikirkan pendamping….”
“ hahahaha…” tawanya kali ini membuatku mengernyitkan kening.
“ coba lihat dirimu,… kaupun sudah tua, tapi aku belum melihat kau dengan pasanganmu… atau jangan-jangan kau sudah ada pendamping tanpa memberitahu aku ?” selidiknya. Kali ini Letizia meraih gelasnya meski tetap belum diminum sedikitpun. Aku tersenyum.
“ Letizia yang cantik, kali ini topiknya bukan aku, tapi kamu….” Ujarku sedikit tenang. Geram juga dia berkata begitu. Ada sedikit malu di sini. Memang aku masih sendiri. Walau sudah silih berganti benih cinta tumbuh di hatiku. Dan aku sudah tua, Letizia benar, aku hanya lebih dari hitungan jari lahir ke dunia ini.
“ ya, aku merasa gagal…” lanjutnya.
“ tapi tidak kan. Baru merasa. Tapi kenapa rasa itu kamu ciptakan?”
“ Terlahir jadi wanita membuat aku menyesali hidup. Setidaknya saat-saat ini. Menjadi mandiri itu tujuanku, sukses dalam karir menikmati kepuasan seperti beberapa tahun terakhir ini. Tapi semua itu akan lenyap. Sebentar lagi… dan semua itu rasanya jadi tak ada artinya”
“ aku gagal…” lanjutnya dan Orange Juice itu habis seketika.
* * *
Lelaki ke tigabelas. Hanya dapat kulihat di benakku. Seperti apa rupanya masih kabur. Diandra, hanya nama itu yang lengket di ingatanku. Wanitaku yang cantik itu hanya bertemu lewat sebuah jejaring sosial. Bertatap hanya lewat webcam. Setidaknya itu yang ia ceritakan di sore yang mendung itu.
Diandra melamarnya. Jarak mereka memang jauh. Namun bermil-mil serasa hanya sesenti di depan. Bukan kali pertama ia dilamar dan bukan kali pertama juga kisah itu keluar masuk di kupingku. Kadang-kadang agak jengah juga. Klise. Cerita bahagia berakhir duka. Ya, aku hanya tempat sampah untuknya. Walaupun ingin sekali berbagi kisahku dengannya. Tapi cukuplah kupendam sendiri. Wanita cantik itu sudah cukup tertekan dengan semua yang ia alami. Letizia-ku malang.
Tentang Diandra, lelaki yang muncul saat Letizia-ku nyaris tak percaya lagi untuk membuka lembaran baru. Tidak ingin dicinta dan mencintai lagi…itu katakatanya yang selalu kukenang sejak pria yang kesepuluh mencampakannya demi wanita lain.Tapi tetap bergulir hingga sekarang ke tigabelas. Lagi-lagi kisah klise. Tak sedikitpun rona kebahagiaan kulihat di wajahnya saat cerita Diandra mengalir dari bibirnya. Hanya penyesalan. Entah kenapa. Bukankah itu sudah terjadi berkalikali. “Jatuh Cinta” lewat kata-kata yang terlontar lewat maya, bukan hal biasa bagi Letizia-ku. Akupun pernah mengalaminya. Tapi tak se-extreme ini.
Aku sedih mendengar bahwa sebentar lagi ia akan mengakhiri masa lajangnya. Meski aku tahu, bukan itu yang diinginkan wanita yang paling cantik yang kukenal ini. Pernah suatu hari ia berkata tak ada yang lebih nikmat selain kesendirian. Tapi entah kenapa sebenarnya ia tak bisa sendiri. Tak bisa berteman sepi. Selalu mencari celah untuk bergantung pada sesuatu yang ramai. Wanita cantik itu hanya butuh ditemani. Siapapun orang yang mau di sampingnya.
Malangnya Diandra. Kalau saja aku bisa berbicara dengan lelaki itu. Tapi aku tak tahu siapa dia. Letizia-ku tak boleh bersamanya. Hanya akan membuat ia semakin terpuruk. Sejak dikhianati Malam, cinta sejatinya dulu, ia berjanji untuk tidak jatuh cinta sepenuh kepada siapapun yang datang menghampirinya. Itu sebabnya ia memilih “berpacaran” dengan seseorang yang tidak dekat dengannya. Tidak dekat dalam segala hal. Terlebih jarak. Agar tak terlalu sakit. Atau menyakiti. Nyatanya tetap sakit.
Aku tak mau ada yang sakit. Tidak pada lelaki itu, juga pada Letizia-ku yang cantik dan selalu membuat aku bergetar setiap tatap matanya memandangku, dalam kondisi apapun, entah itu binar kebahagiaan akan kisahnya yang penuh sukacita atau justru pada saat air matanya mulai menetes karena dukalara yang ia pendam. Terlebih aku tidak mau menyakiti hatiku lagi.
Aku harus jujur pada Letizia-ku yang cantik. Aku akan bahagia jika Letizia-ku benar-benar menerima Diandra karena memang itu pendampingnya yang sepadan dan memang sesuai kehendakNya. Bukan karena terpaksa akan umur dan tuntutan dari keluarga besarnya yang memang menginginkan Letizia-ku mengakhiri masa lajangnya. Bukan. Bukan karena alasan apapun.
Ah aku memang tak bisa menerima alasan apapun. Aku tersiksa dengan semua ini. Seharusnya sudah kukatakan sejak dulu. Bahwa aku juga ingin menjadi bagian dari hidupnya. Bukan sebagai seseorang yang hanya menemani disaat Letizia-ku yang cantik sedang ingin berbagi saja. Aku ingin menjadi segalanya bagi Letizia-ku. Hanya itu.
Sejak sore itu, aku semakin tidak menentu. Ah… andai saja aku memiliki keberanian, sedikit saja. Sedikit. Bukannya mematung seperti hari ini. Suaranya yang baru saja kudengar seakan tak mau pergi. Selalu terngiang-ngiang.
Pertengahan bulan ini, Diandra datang. Untuk pertama kalinya. Aku akan bertemu dengan seorang lelaki yang akan menjadi suamiku…kau ikut yah, …menguatkan aku…
Masih sama. Tak ada aura bahagia dibalik suara lembutnya. Tapi aku tahu ada penyesalan di sana. Ah bodohnya aku. Andai kau tahu Letizia, aku takkan sanggup menguatkanmu. Aku akan gontai saat itu, layu seperti rumput yang kekeringan.
Perjalanan cintaku sesungguhnya seperti kisahnya. Silih berganti datang dan pergi. Meninggalkan luka yang seharusnya tak ada. Umur dan tuntutan itupun yang membuatku bergidik. Kadang-kadang asal comot sekedar membuat keluarga lega karena aku bergandeng. Tapi tak secerah hidup Letizia-ku. Tak seindah sinar fajar yang selalu ia banggakan itu, juga tak menarik seperti warna pelangi yang katanya jelmaan bidadari, salah satunya ia, yang nyasar di bumi. Tidak…tidak ada yang boleh mengintip kesedihanku. Tidak juga saat ini. Saat aku menyesali diriku yang bodoh. Yang tak bisa berbuat satupun.
Saat ini aku hanya ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri bahwa semua itu hanya purapura. Bahwa takkan ada pernikahan dengan Diandra. Bawa semua ini hanya mimpi dan ketakutanku belaka. Aku memohon hari ini. Kesempatan untuk menjadi yang terakhir itu jatuh kepadaku.
Aku ingin berlari menemuinya, Letizia-ku yang cantik. Aku ingin membebaskan rasa yang selalu memenjarakan aku sejak bertahun-tahun lamanya aku mengenalnya. Aku tak sanggup lagi mengandangkan segala ucapan nuraniku.
Aku tahu takkan pantas bersanding dengannya. Wanita itu begitu cantik, Letizia-ku yang anggun. Aku mengaguminya. Segala kemandiriannya. Itu yang membangkitkan gairahku. Aku tidak butuh orang lain untuk menggali hasratku. Aku hanya butuh Letizia-ku. Dan tentu yang ia hanya butuh aku seutuhnya. Aku yang selalu ada untuknya. Mengapa ia tak pernah menyadarinya?. Aku bertumbuh dewasa bersamanya, namun ia terasa sangat jauh diatasku. Tidak… ia hanya sejauh lantunan doadoa malamku. Yang kupanjatkan pada Dia yang telah mempertemukan aku dengannya. Doa yang dari nafasku. Yang selalu terlayangkan hanya untuk Letizia-ku.
Aku telah berjanji pada malam, untuknya. Malam yang selalu dinanti bersama, bukan Malam, cinta sejatinya yang mencampakkan ia dahulu. Tapi malam yang bertabur doadoa dari nafas aku dan ia yang beradu di bawah bintangbintang gemerlap.Aku telah berjanji takkan lagi membuatnya melipat sedih dan menaruhnya di bawah bantal buluangsanya yang lembut biar kusulam pedihnya kuganti dengan sukacita. Aku takkan membiarkannya sendiri.. Aku akan selalu menjaganya. Berikan aku kesempatan untuk menepati janjiku. Hanya pada Letizia-ku yang cantik.
* * *
Senja semakin menjingga. Di sini, di pesisir ini kembali aku melepas semua rasa rinduku pada Letizia-ku. Aku memang manusia yang bodoh. Aku tak bisa mendampinginya menemui Diandra. Aku tak bisa menguatkannya. Siapa yang akan menguatkan aku.
Rinai ini mengingatkanku lagi akan Letizia-ku. Aku pernah bermandikan kesegaran rinai bersamanya di pesisir ini. Yang telah lama ialupakan. Mungkin memang tak sedikitpun ia ingat kisahkisah itu. Terlalu kecil… sekecil butir pasir yang ku genggam ini. Butir yang halus.
Semilir angin kuharap menghantarkan gumamku ini. Aku masih berharap menjadi pendampingnya yang ke empatbelas. Yang terakhir. Namun aku tahu itu takkan terjadi. Aku hanya bisa mencintainya. Akhirnya kuakui. Aku mencintainya. Hanya Letizia yang ingin kurengkuh saat ini dan selamanya. Namun kenyataan memang selalu kejam.
Aku terlahir sama sepertimu. Penuh kisah kasih akan kehidupan. Terlalu banyak cinta justru akan membuat aku semakin terluka. Janji yang sebenarnya juga pernah aku ikrarkan dulu di sini, di pesisir ini. Bahwa aku dan ia akan selalu bersama. Memang tak kusadari sejak saat itulah aku jatuh hati padanya. Sangat jatuh hati pada usia beliaku. Usia belia kita berdua.
Janji itu selalu ingin kutepati. Tapi lagilagi aku takkuasa. Tak semudah aku katakan I Love You pada mereka-mereka yang datang dan pergi. Tak semudah itu. Bahkan tak semudah ia katakan Yes I Do saat Diandra melamarnya untuk jadi mempelai yang cantik.
Aku memang bodoh. Mencintai wanita sepertinya. Terlalu tinggi aku berharap.
Matahari semakin bergulir. Kaki kecilku menyusuri pantai. Suara panggilan telepon genggamku yang sedari tadi berdering tak menghentikan langkahku. Debur ombak yang tenang senja ini membuatku nyaman. Saat ini pasti Letizia-ku sudah membaca suratku. Aku lega. Meski tak terucap dari bibirku, namun ia tahu isi hatiku selama ini.
Semua berakhir. Aku harus akhiri semua ini. Dingin air laut tak membuatku urung untuk beranjak semakin dalam, hanya diriku, tanpa membawa sedikitpun dari pinggir pantai. Hanya Aku dan cintaku untuk Letizia-ku. Sinar rembulan perlahan mulai mengganti matahari yang telah terbenam. Aku menikmati setitik itu. Hingga ke dasar… Aku lemah saat ini. Mengutuki diriku sendiri. Mengutuki cinta yang Dia anugerahkan padaku.
Debur ombak mengalahkan debar cintaku padanya.
* * *
Letizia menunggu kedatangan sahabatnya sejak dua jam yang lalu. Berkali-kali jam tangannya dengan sombong terus berputar, sepertinya lebih cepat. Diandra masih dalam perjalanan. Ini kali pertama mereka akan bertemu, sekaligus membicarakan masalah pernikahan seperti yang sudah mereka sepakati beberapa waktu yang lalu.
Telpon genggam Letizia tidak pernah berhenti beraktifitas. Dengan gelisah, Letizia mencoba terus menghubungi sahabatnya itu. Tidak mungkin berhasil…pikirnya. Dengan tergesa-gesa, Letizia membuka pintu rumahnya ketika bell berbunyi. Seorang pria berkulit putih berdiri membelakanginya.
“ Diandra?”
Pria itu membalikan badan, “ Mbak, ada titipan. Tolong tanda terimanya di sini”
Letizia menerima bungkusan yang diantar oleh jasa kurir dengan hati yang bertanya-tanya. Tidak ada nama pengirimnya. Setelah menandatangani dokumen, Letizia langsung masuk dan duduk di sofa biru kesayangannya.
Sebuah kotak. Masih dengan wajah bingung, Letizia membuka kotak yang terbungkus rapih itu. Kupu-kupu biru. Sebuah Liontin kupu-kupu dari batu Aquamarine. Letizia terpana. Ada sebuah surat di situ. Dengan perlahan diletakkan liontin itu di sisi kanannya. Tangannya meraih surat berwarna biru muda itu.
13 Oktober 2009
Dear Letizia
Kutahu sesaat lagi kau akan bahagia selamanya.
Aku takbisa menemanimu.
Aku masih harus membangunkan bulan untuk menghapus jejak hitam
Tapi aku selalu ingat janji kita, Letizia-ku
Senandung itu akan tetap kulantunkan
Aku yang mencintaimu
Sungguh aku mencintaimu seperti cinta sepasang kekasih yang bermadu
Sahabatmu
-D-
Dengan bergetar, Letizia segera meraih telpon genggamnya. Sekali lagi di sahabatnya itu di hubungi. Tetap tidak dijawab. Jemari Letizia mulai mengetikkan pesan singkat…
D-,qm dimn. Tlpnq tak dijwb sih. Sdh 100x q tlp. Q ud bc sratmu D. Please, stlh bc smsq tlg bls!. Tp sptna qm sibuk skl. D, qm bnr. Tak shrsna q mnjwb ya scptna sm Diandra. Q butuh qm, D-. Jjr, qpun cintai qm. Tp qt tak bs. Bnr2 mnyiksa. Q tau. Brsm qm q bs mnjd drq sndr. Hnya brsmmu. Tp D-, q & qm sm. God angry jk qt sling mncinta, D-. hnya dgn ke 13 ini, Q bs mbnuh cintaq pdmu, smula qpikir bgt. Tp ksmpatan itu sllu ada bkn… 13 bkn angka yg tpt utk mngakhri ptualangnq. Q mnuggu blsn dri qm, Deschia.
Pesan sukses terkirim
Letizia sabar menanti balasan dari sahabat tercintanya yang terbenam bersama matahari di sudut sana.