Dalam kasus penipuan umrah First Travel, kita dapat menghubungkannya dengan berbagai prinsip dan norma hukum dalam konteks Hukum Ekonomi Syariah.
Kaidah-kaidah Hukum Terkait dengan Kasus Hukum Ekonomi Syariah
Dalam Hukum Ekonomi Syariah, beberapa kaidah hukum yang berkaitan dengan kasus First Travel antara lain:
Amanah (kepercayaan): Dalam Islam, pengelola dana atau pelaku usaha yang memegang harta orang lain harus menjalankannya dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam kasus ini, First Travel gagal menjaga amanah yang diberikan oleh para jamaah.
Tijarah: Transaksi yang dilakukan harus transparan, jujur, dan tidak boleh mengandung unsur penipuan (gharar). Dalam kasus First Travel, unsur gharar sangat jelas karena mereka menjanjikan sesuatu (keberangkatan umrah) yang tidak pernah mereka wujudkan.
Maysir (spekulasi): Penipuan atau keuntungan yang dihasilkan melalui jalan yang tidak sah dilarang dalam syariah. Menawarkan harga umrah di bawah standar, tanpa adanya jaminan yang jelas, dianggap sebagai praktik maysir.
Al-Darar wa al-Darar (larangan membahayakan orang lain): Setiap transaksi ekonomi tidak boleh membawa kerugian atau bahaya bagi pihak lain. Korban dalam kasus First Travel mengalami kerugian besar, baik dari segi keuangan maupun mental.
Norma-norma Hukum Terkait dengan Kasus Hukum Ekonomi Syariah
Norma hukum yang terkait dalam Hukum Ekonomi Syariah adalah:
Norma keadilan: Semua transaksi dan kegiatan ekonomi harus dilakukan dengan adil dan tidak menzalimi salah satu pihak. First Travel jelas melanggar norma keadilan ini dengan mengorbankan jamaah demi keuntungan pribadi.
Norma transparansi: Islam mengajarkan bahwa dalam setiap perjanjian atau transaksi, harus ada kejelasan (transparansi) dalam segala aspek. Janji-janji yang tidak ditepati oleh First Travel menyalahi norma ini.
Norma perlindungan terhadap hak-hak konsumen: Dalam konteks syariah, konsumen (dalam hal ini jamaah) memiliki hak untuk mendapatkan apa yang dijanjikan dalam kontrak. Jika hak mereka dilanggar, pelaku bisnis harus bertanggung jawab.
Aturan-aturan Hukum Terkait dengan Kasus Hukum Ekonomi Syariah
Aturan hukum yang berlaku dalam Hukum Ekonomi Syariah dan yang terkait dengan kasus ini antara lain:
Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Secara hukum nasional, perlindungan terhadap konsumen sudah diatur, dan biro perjalanan umrah harus mematuhi aturan tersebut. Dalam hal ini, First Travel melanggar UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.
Undang-Undang Jasa Haji dan Umrah: Setiap biro perjalanan umrah harus terdaftar dan mengikuti aturan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Fatwa DSN-MUI: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait pelaksanaan ekonomi syariah, termasuk bisnis perjalanan umrah yang harus mematuhi prinsip syariah dalam pengelolaan dana dan pelayanan.
Pandangan Aliran Positivism Hukum dan Sociological Jurisprudence dalam Menganalisis Kasus Hukum Ekonomi Syariah
Positivisme Hukum: Dalam pandangan positivisme hukum, hukum dilihat sebagai aturan yang dibuat oleh otoritas negara dan harus ditaati secara tegas tanpa mempertimbangkan aspek moral. Dalam kasus First Travel, aliran ini akan menekankan pentingnya penegakan hukum berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dan UU Haji dan Umrah, serta keputusan pengadilan yang memberikan hukuman kepada pelaku. Positivisme cenderung berfokus pada pelanggaran terhadap hukum tertulis dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai syariah yang mendasari transaksi.
Sociological Jurisprudence: Pandangan ini lebih menekankan pada hubungan hukum dengan masyarakat. Aliran ini akan menganalisis dampak sosial dari pelanggaran hukum oleh First Travel, termasuk dampak ekonomi dan psikologis terhadap para korban. Sociological jurisprudence akan melihat pentingnya hukum tidak hanya sebagai alat penegakan, tetapi juga sebagai sarana untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan lembaga ekonomi syariah. Pendekatan ini akan mendorong reformasi hukum agar lebih adil dan melindungi konsumen, terutama yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Dari kedua perspektif ini, kita bisa melihat bahwa positivisme lebih fokus pada penerapan aturan formal, sementara sociological jurisprudence menekankan aspek sosial dan dampak hukum dalam masyarakat.