Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Covid-19: Malaikat Pelindung

13 Mei 2020   07:53 Diperbarui: 13 Mei 2020   07:56 144 1
Suatu hari pada akhir bulan Maret tahun ini, hari di mana pandemi virus corona sedang melanda negeri ini dan telah menimbulkan dampak yang cukup luas. Kurang lebih satu bulan COVID-19 sebelumnya sudah menjadi isu global hingga sekarang.

Di Indonesia sendiri, orang-orang sudah mulai merasakan dampaknya yang cukup besar.  Terutama, mereka yang bekerja di perusahaan milik pemerintah maupun swasta dan perorangan sudah banyak yang resign dari pekerjaannya. Sebagian dari mereka sudah meninggalkan kota untuk menghindari pandemi virus COVID-19 dan melanjutkan hidup.

Saya sebagaimana salah satu yang mengalami dampak tersebut, berhenti dari pekerjaan, kemudian harus pulang ke kampung untuk sementara waktu. Pulang dengan keadaan yang terpaksa.

Dalam perjalanan pulang naik bus yang melelahkan, saya amati penumpang, jalan, dan rumah makan persinggahan sangat sepi. Sepanjang perjalanan, kami hanya tiga orang yang ada di dalam bus tersebut, termasuk supir busnya.

Sesampai di perbatasan yang memisahkan daerah tinggal saya dengan Kabupaten lainnya, kami berhenti sejenak untuk diperiksa dan tes kesehatan. Ya,  tentu demi menjaga keselamatan masyarakat setempat dan untuk kebaikan bersama juga.

Selang beberapa menit, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kampung saya tinggal. Jarak dari perbatasan menuju kampung yang saya tinggal masih cukup jauh, kira-kira satu jam lagi untuk sampai di depan halaman rumah. Sementara, teman saya telah turun di perbatasan tadi.

Perjalanan yang hampir sampai, jantung mulai berdetak tak karuan, mata pun tidak dapat teralihkan dari indahnya persawahan yang terpampang. Tak sabar ingin sampai di rumah, bertatap langsung serta bersalaman dengan ibu, ayah, dan saudara/saudari.

Tepat satu jam pun berlalu, aku tiba di halaman rumah, kaki melangkah menuju pintu dan dengan bunyi pelan pintu kubuka. Aku melihat ibuku perlahan-lahan melangkah menghampiriku, memelukku dengan erat, seolah telah melepaskan segala kecemasan di tengah akibat pandemi virus corona ini.

Ketika ibu mengakhiri pelukannya, aku bertanya, "Dimana bapak?", "Sedang bekerja di sawah orang," jawabnya dengan suara lembut. Lalu ibu menawariku untuk segera makan.

Ibu seolah menyaksikan apa yang telah kualami sepanjang perjalanan pulang. Padahal, aku berusaha terlihat biasa-biasa saja dan mencoba menutupi rasa kelelahan.

Namun ibu malah membantu membereskan barang-barang bawaanku.

Setelah barang-barangnya selesai kami rapikan dan bereskan, aku pun beristirahat sejenak. Sementara ibu mulai mempersiapkan nasi berserta lauknya. Ia pun memanggilku dan berkata, "Mari mendekat dan duduklah dengan bagus, santap dan nikmati makanannya, kamu telah capek seharian di dalam bus."

Aku pun menurut, lalu  mencuci tanganku dan mulai menyantap nasi yang telah dihidangkan sampai kenyang. Dalam hati, pikiran, dan jiwaku berterimakasih dan sangat bersyukur telah memiliki seorang ibu yang perhatian dan baik hati.

Selepas itu, malamnya pun telah tiba. Aku duduk di teras rumah sembari memandang ke arah jalan dan sesekali aku menatap ke langit. Aku merenungi setiap hidupku di masa lalu, membayangkan diriku sejak dalam kandungan. Sembilan bulan lamanya aku di sana dan hidup dari darah daging ibu.

Selama itu juga aku menjelma sebagai parasit di dalam perut ibu, yang senantiasa bisa membunuhnya dengan rasa sakit yang berat -- saat ketika aku dilahirkan ke dunia.

Ketergantungan pada ibu tidak hanya berhenti di situ saja. Dari aku lahir sampai tumbuh dan besar sampai sekarang, kebutuhan hidupku masih belum bisa lepas 100% dari campur tangan Ibu.

Aku merasakan segala bentuk perjuangan yang telah dilaluinya. Semua diperbuat demi memenuhi kebutuhan saya. Hujan dan panasnya sinar matahari telah menjadi saksi bisu yang membuka mata dan menggugah hati saya.

Aku terbangun dari lamunku, dengan sadar aku berpikir ibu seperti hadiah terindah dari Tuhan. Ia mengajarkan kepahitan dan manisnya kehidupan ini. Ibu adalah malaikat pelindung dalam hidupku.

Jam pun menunjukkan pukul 22.00 WIB. Akan tetapi tubuh masih terasa segar dan mata belum merasakan ngantuk. Malam ini terasa berbeda, apa yang aku renungkan sedari tadi, terasa bagaikan bisikan dari masa lalu yang telah memikat hidupku dengan cinta. "Aku ingin membahagiakan ibu tercinta," hatiku berbisik pelan dan membuat perhatianku terpusat seketika pada keinginan tersebut.

Langit masih gelap, bintang-bintang bertebaran indah. Alam seakan sedang bicara padaku. Hatiku gembira, hatiku senang. Terang pagi hari masih jauh pada malam hari itu, sinar bulan bersatu padu dengan cahaya bintang menambah eloknya malam itu.

Betapa bahagianya diriku memiliki seorang ibu yang penuh dengan cinta kasih sayang. Tiba-tiba, aku menyaksikan bintang jatuh, aku pun menaruh harapan dan berdoa. Semoga segala keinginan tercapai.

Aku kembali merenung, hampir lima tahun aku telah jauh dari kampung halamanku, jauh dari kedua orangtuaku dan jauh dari saudara/saudari. Aku terus berdoa terhadap keluargaku, menaruh perhatianku disetiap ibadahku. Berharap Tuhan memberikan umur yang panjang dan kesehatan, terutama kepada kedua orangtuaku.

Seiring waktu berjalan, aku selalu merasakan apa yang sebagian kecil ibu rasakan, bukan sesaat, sampai kini dan selamanya. Meski beberapa tahun kedua mataku tak merasakan kehadirannya langsung secara fisik. Tapi ibu selalu terasa dekat di setiap langkah perjalanan hidupku.

Sewaktu di kota, tempat aku merantau. Kepenatan oleh banyaknya penduduk telah membuatku semakin merindukan kasih sayang ibu. Ketenangan selalu terganggu oleh pikiran, tidak lagi seperti dulu yang penuh dengan cinta.

Walau demikian, aku tak pernah mempermasalahkan hidup yang sedemikian sulit. Namun, jujur aku selalu merindukan perhatian ibu di setiap hari-hariku, bebanku terasa ringan oleh karena perhatiannya.

Berjam-jam aku masih duduk di teras rumah yang makin sunyi nan sepi, sembari memandang ke arah langit yang semakin indah pada malam itu. Di bawah sinar bintang-bintang, aku sadar bahwa cinta dan kasih sayang ibu adalah kekuatanku, Tuhan telah memberiku malaikat pelindung di Bumi tercinta ini.

Seperti itulah, pentingnya ibu bagiku. Aku menjalankan kehidupan bersama waktu yang terus berputar dan berganti. Aku tak akan melupakan setiap nasehatmu walaupun sekali saja.

Ketulusan cintamu dan kesetiaan hatimu telah membuktikan padaku betapa berharganya kehadiranmu. Takdirku menjaga cinta itu agar selalu bersinar, kita tidak akan terpisahkan. Dalam hati, jiwa, dan pikiran telah mengukir setiap pengorbanan ibu sampai pada keabadian hidupku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun