Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (2)

6 Oktober 2014   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:09 62 1
Bagian 2

Topi Merah

SEWAKTU jam istirahat, teman-teman sekelas memergoki ada belasan uban di antara rambut Poltak. Tak ayal, Poltak pun diolok-olok gara-gara uban-uban itu. Poltak sempat panik. Dia malu tidak alang-kepalang. Masih anak-anak baru gede (ABG), tetapi rambut kok sudah ubanan. Apa nanti kata dunia? Panik!
Salah seorang teman, menyarankan Poltak untuk mencukur habis rambutnya itu. Plontos! “Rambut baru yang tumbuh nanti dijamin akan hitam semua,” saran temannya. Poltak percaya. Dan sepulang dari sekolah dia merelakan rambutnya dibabat habis oleh Pak Siregar, tukang cukur favorit di kalangan anak-anak sekolah kala itu.
Esok harinya di sekolah, Poltak Suhardo tampil dengan kepala plontos ala Deddy Corbuzier. Perubahan mendadak ini disambut meriah oleh segenap civitas akademika SMA 1. Bisalah dibayangkan apabila Sule sekonyong-konyong tampil dengan kepala gundul di acara Opera Van Jakarta (OVJ), maka suasana di studio dan rumah-rumah pemirsa dipastikan gempar, bagai dilanda gempa 7,0 pada scala Richter. Kira-kira seperti itulah suasana yang melanda SMA 1 waktu itu. Sekalipun merasa tertekan, namun Poltak tetap berusaha tabah dan tegar. Senyumnya tetap mengembang seraya sesekali mengangkat tangan membalas sorak-sorai teman-temannya.
Esok harinya, guna mengurangi terpaan olok-olok, Poltak memakai kopiah atau peci hitam milik ompungnya. Percuma. Sambutan civitas akademika SMA 1 justru semakin membahana: “Assalamualaikum Pak Haji!” sorak mereka.
Prihatin dengan nasib sang anak, Pak Monang, ayah Poltak pun membeli topi berwarna merah saat berada di Kota Medan. Topi yang bagus, halus, dan tentu mahal harganya. Dijamin tidak ada satu pun toko di kota kecil mereka yang menjual topi sekelas itu. Poltak pun memakai topi ini ke sekolah dengan rasa bangga. Dia makin percaya diri sebab banyak orang yang memuji topi itu. Beberapa kawan mengakui kalau Poltak jadi tampak makin ganteng saja kalau memakai topi itu. Seperti seorang taruna AKABRI yang sedang masuk desa. Terang saja semangat Poltak semakin melambung.
Eh...diam-diam, Rosita Naulibasa ternyata naksir berat juga sama topi itu. Belakangan ketahuan kalau Rosita memang suka mengoleksi topi-topi bagus dan berkelas. Tanpa kata pengantar, tanpa bumbu rayuan ala kadarnya, si Rosita meminta agar topi itu dihibahkan saja kepadanya, tanpa syarat. Tapi Poltak tidak mau memberikannya tanpa imbalan yang setimpal, yakni: cinta! Rosita tentu saja ogah berbagi cinta dengan Poltak. Permintaan Rosita untuk meminjam topi merah itu sebentar saja pun ditolak mentah-mentah oleh Poltak.

“Bila kau mau memiliki topi ini, atau hanya sekadar meminjam walau hanya sedetik saja, syaratnya tetap satu: cintailah daku!” kata Poltak sambil mengedip-ngedipkan sudut mata kanannya. Rosita hanya tertawa terpingkal-pingkal dan menepuk jidatnya sendiri.
Namun Rosita adalah cewek yang agresif. Meski berwajah cantik, dia bisa garang dan berani mendamprat orang yang lancang terhadapnya. Kala Poltak lengah pada jam istirahat, diam-diam Rosita datang dari arah belakang dan merampas topi itu dari kepala Poltak lalu kabur sambil tertawa-tawa. “Sebentar saja, aku cuma pinjam sebentar...,” kata Rosita sambil memakainya.
Para siswa dan siswi, bahkan korps guru yang kebetulan menyaksikan adegan itu pun tertawa kegirangan sambil bertepuk tangan. Semua orang toh sudah paham dengan tabiat Rosita. Lalu Rosita pun pamer di hadapan teman-temannya sambil mengenakan topi rampasan itu. Dan memang semua memuji kalau Rosita jauh lebih cantik bila memakai topi itu. Nyaris seperti Kate Middleton, istri Pangeran William dari Inggris, kata mereka.

Di antara “10 cewek tercantik” di lingkungan SMA 1, Rosita memang paling usil, suka mengerjai orang. Adegan-adegan rampas topi ini biasa terjadi pada waktu jam istirahat. Poltak pun mencoba bijaksana. Dia tidak ngotot mengejar kalau Rosita sudah merampas topi itu dari kepalanya. Hanya saja dia menjadi bahan olok-olok dan tertawaan teman-teman gara-gara kepala botaknya makin berkilau tertimpa sinar panas matahari.
“Hayo, Poltak...kok diam saja kau. Takut ya sama Rosita. Kejar dong. Tangkap lalu peluk...,” goda teman-teman pria sambil tertawa-tawa senang.

Rosita pun memakai topi itu dengan riang gembira. Topi itu dia pakai sampai masuk ke dalam kelasnya. Poltak sendiri masuk ke dalam kelasnya sambil menahan kepalanya yang kedinginan. Begitu bel tanda bubar sekolah berbunyi, Poltak akan cepat-cepat keluar dari kelasnya, menuju gerbang utama sambil menunggu Rosita dan meminta kembali topi tersebut. Pasalnya, kalau sampai di rumah tanpa topi itu, ayahnya pasti akan marah. Terlebih lagi, bapaknya sendiri “tidak tega” apabila melihat kepala anaknya itu dalam kondisi plontos.

Entah sudah berapa kali kejadian seperti itu berulang. Poltak selalu berusaha supaya cewek ganjen itu tidak merampas lagi topi itu saat dia pakai. Namun selalu saja Rosita bisa memanfaatkan kelengahan Poltak. Terus terang, Poltak juga sebenarnya merasa malu apabila tiba-tiba topinya dirampas diiringi tawa ramai orang-orang.

“Mestinya kau bisa memanfaatkan momen itu untuk menaklukkan hati Rosita,” saran Freddy, salah seorang teman sekelas Poltak.
“Maksud kau bagaimana?” Poltak memperlihatkan minatnya dengan serius.
“Siapa tahu Rosita diam-diam naksir sama kau. Tapi kau tidak bisa memberikan respon seperti yang dia harapkan,” lanjut Freddy.
“Lalu aku harus bagaimana?” Poltak mengharapkan advis dari Freddy yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam soal berpacaran.
“Berdasarkan pengamatanku ditambah pengalamanku dan penerawanganku, cewek semacam Rosita itu suka pada cowok yang agresif...,” kata Freddy dengan suara berbisik. Dia seperti seorang dukun cabul yang sedang berpraktek.
“Terus....terus....?”



Cobalah, kalau ada peluang, kau cium dia!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun