Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Nyanyian Hujan

15 Maret 2015   14:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51 50 1
Perlahan terdengar gemericiknya, suara hujan di pelataran, tetesanya menyentuh pucuk-pucuk daun akasia yang berdesakan di halaman belakang villa biru.

Angin terdengar riuh menghampirinya, melenyapkan berbutir lelehan rimbun remis yang berjuntai, desauannya menyentuh kabut-kabut yang bertabrakan di antara kepulan-kepulan gerimis.

Senja berkalung butiran bening yang datang melenyapkannya, dari gelang-gelang keemasan yang selalu melingkarinya, kini hanyalah sepoian-sepoian rintih yang mengikat temali mentari.

*

Jauh kehidupan meninggalkannya, dari larik-larik pemantik kehangatan bianglala yang mewarnainya, api harapan yang tergilas bisu-bisu roda perjalanan, hanya tinggalkan debu-debu sampah yang berserakan dihatinya.

Daun pun mengering, terakhir helaiannya melayang-layang diangkasa, terbang melintasi angan-angan yang mengambang, antara kenyataan dan kekosongan.

September berlalu begitu cepat..

Akhir perjalanan hidup yang menyisakan pahit-pahit kenyataan, dari sebuah biji rempah tanaman yang layu ketika berkembang.

**

Dia hadir ketika semi musim berawal, laksana secercah mentari yang menghidupkan kembali dedaunan yang terkapar ketika beku salju mematikannya.

Pendar-pendar cahaya pun mulai menyinari, menghangatkan kedinginan yang lama telah beradaptasi, di lingkaran putih-putih berguguran.

Kau, datang membawa serangkaian kuntum yang menyajikan wewangian begitu merebak, keharumannya merumputi seluruh taman hati, yang sekian lama berpagar duri.

16 Mei..

Lahirlah serumpun asa yang mengangkasa, berputik langit berwarna-warna di cakrawala, menjadi pelangi-pelangi terindah yang pernah ada.

Jiwa bertengger pada pelupuk mega, rasa berlari berarak awan, begitu penuh syarat kebahagiaan yang tinggi melampaui gunung-gunung bebukitan.

Hari itu, tak pernah kan mati, walau waktu jauh berlari meninggalkannya, aku selalu menunggu kehadirannya di sepi malam-malamku, di hening senja soreku.

*

Kini hantaran angan mengusik lamunanku, kala sore itu di penghujung langit senja yang lembayung sedikit bermurung, kau tebarkan senyuman mu yang menyejukan pikiranku dari berbagai kecamuk yang membelah benak'ku.

Dia, tatap mataku nanar, entah sepertinya ada sesuatu yang tawar, apakah itu? entahlah sesaat sebelum akhirnya kau lambaikan tangan mu bergetar, perlahan senja pun memudar, bersama kepergiannya yang menyisakan seribu tanya yang terlantar.

*

Kini musim terdampar di tengahan hujan yang selalu menghantar, kabut-kabut dan angin-angin menggelepar, aku merasakan ada desakan getar-getar yang menyelebar, di seluruh rongga-rongga kerinduan hatiku.

Februari ..

Rintik hujan menepi dibalik bening jendela kamarku, menetas bulirnya berjatuhan di sepanjang decakan gigil, aku merintih.., sepi rasanya begitu hampa, kosong rasanya tiada sesiapa, angan-angan pun berhamburan, entah kemana dia kabur.

Langit soreku, bertelapak kerinduan, jauh waktu meninggalkan debar-debar, kini rasa itu kembali hadir, pada kuncup-kuncup jiwaku.

Villa biru, yang kembali menjumpaiku, kala waktu telah berlari jauh, ia hantarkan sepercik gerimis yang bernyanyian di pelatarannya, menyenandungkan desauan rintik-rintik yang berguguran di antara dedaun manja bergelayutan, "Akasia, aku merindukannya."

HONNY

Pelabuhan Ratu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun