Sejak kritis menulis tentang peristiwa pembunuhan Serka Heru Santoso berikut dengan fakta yang ada di lapangan penulis mendadak jadi beken di depan kalangan tertentu. Beberapa undangan juga sudah penulis hadiri hanya untuk mendengarkan informasi dari kanan kiri penulis termasuk mendapatkan “perijinan khusus” menjelajahi dunia abu – abu dimana sebagian besar orang berusaha menghindarinya. Tapi kembali lagi, inilah panggilan jiwa penulis sebagai seorang bekas jurnalis lepas yang pernah mengabdikan hidup disebuah perusahaan media cetak, merasa memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk menyeimbangkan berbagai pemberitaan yang terlihat tidak seimbang.
Dalam beberapa hari terakhir, penulis sering mendapatkan pesan berupa email dari teman maupun orang yang mengaku sebagai orang yang tahu tentang peristiwa pembunuhan di Hugos Kafe. Sesekali mereka curhat dan berharap peristiwa di Hugos Kafe dapat segera di buka kembali dan diselesaikan sesuai hukum yang berlaku tapi juga ada yang menginginkan semua pelaku pembunuhan tersebut dan yang terlibat didalamnya di “hilangkan” tanpa proses panjang. Selain itu penulis juga diajak sharing oleh beberapa orang untuk mengetahui tentang situasi dan kondisi didalam hugos baik sebelum dan sesudah kejadian.
Diantara mereka juga ada yang tidak segan – segan mengirimi beberapa file yang seharusnya tidak boleh di buka (rahasia) akan tetapi kali ini mereka menginginkan file tersebut harus di diketahui rakyat Indonesia secara luas agar apa yang ingin mereka ketahui tentang peristiwa yang sebenarnya dapat mereka pahami.
Trauma dan tidak percaya melihat pembunuhan
Paska kejadian (peristiwa Hugos Kafe), sebagian besar para pengunjung baru sadar bila disekitar mereka telah terjadi peristiwa pembunuhan. Mereka yang awalnya hanya melihat sebuah keributan kecil tidak menyangka telah menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan sehingga tidak sedikit sebagian dari mereka ada yang langsung shock dan mengalami trauma karena menyaksikan langsung peristiwa pembunuhan keji tersebut, dan ada juga diantara mereka dengan jelas mengatakan tidak percaya lagi dengan sebuah institusi berlogo “Mengayomi dan melindungi” masyarakat. Bukan tanpa alasan, karena pada saat kejadian didalam dan di luar Hugos Kafe mereka melihat ada beberapa personel kepolisian akan tetapi justru tidak melakukan apa – apa. Sebaliknya, belakangan diketahui mereka berusaha “cuci tangan” dengan menutupi beberapa fakta yang terjadi dilapangan.
Denah CCTV Hugos Kafe
Selama ini kita tahu di Hugos Kafe terdapat lebih dari 6 CCTV akan tetapi hanya 1 yang di jadikan sebagai barang bukti pemeriksaan dengan hasil akhir penyelidikan kasus Hugos Kafe di tutup mengingat seluruh pelakunya sudah tewas semua di sel LP Cebongan. Sebenarnya mereka tahu pelakunya lebih dari 4 orang tapi di nyatakan hanya 4 orang agar kasus berhenti sampai penyerbuan LP. Cebongan saja dengan di hukumnya 12 prajurit Kopassus dan tidak merembet ke kasus lain yaitu Hugos Kafe.
Berikut adalah tampilan denah CCTV yang sebenarnya (Hugos Kafe) pemberian seorang teman yang tidak ingin namanya disebutkan.
Dari tampilan denah tersebut, sudah dapat kita saksikan bila pembunuhan Serka Heru Santoso tidak hanya di rekam oleh 1 CCTV, tapi lebih dari 1 yaitu CCTV 1, CCTV 2, CCTV 3, CCTV 4 dan CCTV 5 saat tubuhnya yang sudah tidak bernyawa diseret sambil dianiaya keluar Hugos Kafe. Akan tetapi yang diserahkan sebagai bukti hanya 1 CCTV saja yaitu CCTV 1 itupun sudah dalam bentuk editan dari yang 24 jam menjadi tiga menit (CCTV yang tersebar di youtube). Jadi sisa seluruh rekamannya kemana? Paska kejadian seluruh CCTV disita oleh kepolisian dan dikembalikan lagi sudah tidak utuh.
Tuntutan warga Jogja
Sungguh ironis, negeri yang katanya sangat menjunjung tinggi hukum ternyata secara nyata di kangkangi oleh penegak hukumnya sendiri dan itupun direstui oleh para pejabat hukum lainnya. Wajar bila suatu saat akan lahir ucok – ucok lainnya, tidak hanya dari kalangan militer bisa jadi di kalangan sipilpun juga akan lahir ucok berikutnya. Dan bila seluruh rakyat Indonesia khususnya Jogja berbuat demikian apakah seluruhnya akan di katakan sebagai teroris dan layak untuk dibunuh?? Di Bima, 26 desa sepakat mengatakan bila diri mereka adalah teroris dan mengirimkan surat – surat tantangan yang di diberikan kepada seluruh polsek dan polres Bima untuk segera menangkap mereka (rakyat Bima) dan juga menantang Densus 88 turun memburu mereka dan hasilnya 3 personel Densuspun tewas ditangan rakyat Bima (kejadian ini tidak dimediakan/ditutup). Jangan sampai hal ini terulang di wilayah Jogja kota yang seharusnya tenang tapi terusik oleh kehadiran para preman yang di bekingi aparat berseragam.
Tentang pelaku LP. Cebongan warga Jogja hanya berharap, bebaskan 12 prajurit Kopassus atau minimal hukum seringan – ringannya karena mereka telah menyelamatkan Jogja dari kekerasan. Selain itu, warga Jogja juga tidak berharap dengan dihukumnya Serda Ucok dkk akan memberikan angin segar kepada kelompok – kelompok preman yang awalnya sudah nyaris tidak terlihat akhirnya kembali eksis dan membuat warga Jogja terusik kembali. Seperti yang telah diketahui, seluruh tokoh Ponpes, paguyuban lurah, seluruh kepala dusun, ormas – ormas, paguyuban tukang becak dan lapisan kepemudaan lainnya sejogja raya dalam beberapa hari terakhir sudah menyatakan dukungannya terhadap 12 prajurit Kopassus dan siap menghadapi beberapa kemungkinan yang akan terjadi disekitar mereka.
Link tulisan terkait :
Polda DIY Tersudutkan Densus 88 Masuk Menggelar Operasi Intelijen
Keterkaitan Penembakan Sipir Dengan Kelompok Premanisme Jogja
Kasus LP Cebongan Tidak Terencana
http://hankam.kompasiana.com/2013/08/04/kasus-lp-cebongan-tidak-terencana-581770.html
Latar Belakang Pembunuhan Serka Heru Santoso Di Hugos Cafe
Alasan Warga Yogya Mendukung Kopassus Dilihat Dari Sisi Historis