Anders Fogh Rasmussen, Sekretaris Jendral NATO pada Aljazeera mengatakan "Our goal is to protect civilians and civilian-populated areas under threat from the Gaddafi regime" sebenarnya hanyalah kedok belaka untuk menutupi keculasan sekutu untuk tujuan-tujuan tertentu. Serangan ini bukan semata untuk menjatuhkan rezim berkuasa Khaddafi yang telah berkuasa selama 42 tahun atau melindungi keberadaan rakyat sipil dari tekanan rezim ini, tapi juga untuk mengalihkan issu dan krisis dalam negeri negara sekutu. Prancis misalnya berusaha menutupi isu dugaan penggelapan pengadaan senjata antara Sarkozy dengan presiden Pakistan yang ditengarai ada suap dan menjadi sorotan media akhir-akhir ini. Sementara di Italia, Perdana mentri Silvio Berlusconi disibukkan dengan kasus skandal seks bersama perempuan di bawah umur asal keturunan Maroko bernama Karima El Mahrough. Di negara ini menyewa pelacur memang dibenarkan menurut undang-undang, namun berkencan dengan wanita di bawah umur adalah sebuah pelanggaran hukum.
Bagaimana pemerintah menyikapi kasus ini? Menurut Mentri Luar Negeri Marty Natalegawa seperti dilansir harian Kompas mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa segera mengambil langkah lanjutan yang konkret dan tegas untuk menghentikan seluruh aksi kekerasan bersenjata dan serangan militer Libya, baik oleh kelompok pro maupun anti-Moammar Khadafy, serta pasukan koalisi dan NATO. Tapi langkah kongkrit seperti apa yang bisa dilakukan pemerintah? tentu bukan sekedar "mengawal" tapi justru memerangi kerakusan yang tersembunyi. Perang dalam arti mengambil peran penting dalam membangun stabilitas dan keamanan dunia seperti dimandatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Melaksanakan tentu saja bukan hanya menonton, tapi harus terlibat aktif dalam membangun kedamaian.
Indonesia belum tegas untuk mengambil peran melaksanakan ketertiban dunia. Ironisnya diplomasi luar negeri kita masih terlalu lemah untuk melakukan pressure atau harus menentang keputusan sekutu menyerang Libya. Padahal sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar dunia (The world's most populous Muslim nation) seharusnya memiliki wibawa dan bisa menempatkan diri pada posisi tawar yang lebih tinggi, bukannya "KINTIR" dengan mainstream negara barat.
Keharusan untuk tidak hanya menjadi penonton dan harus bertindak lebih aktif lagi dalam menyikapi krisis Libya dan Timur Tengah secara umum, adalah keniscayaan. Mengingat kepentingan dalam negeri Indonesia akan banyak terpengaruh bila revolusi bersenjata ini tak kunjung usai. Ketidak-stabilan kawasan akan berpengaruh besar bagi ekonomi Indonesia, dimana tujuan ekspor non migas Indonesia ke Timur Tengah adalah tujuan kedua setelah Jepang yang belum pulih pasca Tsunami. Jika ada instabilitas di kawasan tujuan ekspor atau sekitarnya, tidak hanya berdampak pada kenaikan harga, tapi juga menaikkan cost yang tentu saja mempersulit ekspor non migas Indonesia ke negara-negara tujuan-khususnya Timur Tengah.