Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dasar, Copycat!

5 Oktober 2009   23:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:38 1703 0

Bisa dibilang, komunitas India disini termasuk paling besar (sak-gedabrueek… !). Dimana-mana, ketemu orang India. Yang punya flatku dulu orang India. Yang punya supermarket terbesar disini orang India. Sales orang India. Dari carpenter sampai manager, semua orang India. PRO kantor nih (PRO = Public Relation Officer, orang Admin yang ngurusin segala macam tetek bengek dokumen, visa, dll), pernah bilang, lama-lama UAE bisa jadi UIE alias United Indian Emirates! Hahaha

Tapi yang bikin kagum, orang India dimana-mana masih memegang teguh budaya mereka. Wanita-wanita nya, dari yang balita sampai nenek-nenek, selalu menggunakan saree atau churidar (baju 2 potong dengan celana + atasan sampai lutut). Rambut mereka panjang, berkilau karena minyak rambut (ehm.. yang kadang bau minyak kelapanya khaaass dan kuat banget. Bayangkan waktu bareng di lift! Alamak!). Dikucir satu sebagian dan dihiasi segembyok melati. Telinga, tangan, dan leher dihiasi perhiasan emas dengan design khas. Jangan salah, orang India merupakan konsumen perhiasan emas terbesar di dunia. Ini juga hanya gara-gara ‘image’ (ternyata, seantero jagat manusia itu jaim semua!).

Mendengar cerita-cerita mereka jadi ngeri. Biaya pernikahan mereka bisa beratus-ratus juta hanya untuk hadiah perhiasan emas bagi calon pengantin. Semakin banyak perhiasan emas yang dipakai si mempelai wanita, derajat sosial mereka semakin tinggi. Karena itulah keluarga di India lebih suka bila anak mereka laki-laki karena lebih ‘menghasilkan’. Saat menikah, laki-laki akan mendapatkan dowry (uang ‘beli’ dari mempelai wanita) yang jumlahnya berdasarkan tingkat sosial keluarga, tingkat pendidikan si lelaki, dll, dsb. Semakin tinggi tingkat pendidikan, apalagi untuk mereka yang kerja di luar negeri, maka dowry pun semakin tinggi. Hmmm.. nggak heran kalau disini banyak orang India! Demi dowry kali’ yee!

Budaya India sepertinya sudah mulai mengakar disini, di bumi Arab, karena para imigran. Toko-toko kain India ada dimana-mana. Bioskop India tersebar di setiap area. Pernah nih, diajak teman nonton film Hindi. Berhubung waktu di Indo pun aku sering nonton di SCTV, aku ok-ok aja. Temenku si India bilang, kalau film kali ini bakalan top abis. Bintangnya Sharukh Khan & Ranee Mukherji. “Ooo.. yang main Kuch Kuch Hota Hai itu yah?” “Yes! Come on!”

Masuk di bioskop (yang jelas orang India semua!), orang-orang mulai melihatku dengan pandangan bertanya-tanya. 2 orang teman India-ku sibuk membeli popcorn dan chai (teh susu). EGP dah, cuek is the best! Trailer film-film baru mulai diputar, lagu khas Hindi menghentak-hentak. Hmmm.. ada yang aneh. “Hey, guys! No English subtitle?” Mereka berpandang-pandangan kemudian tertawa ngakak. Sial! Gimana aku bisa ngerti film bahasa Hindi dengan subtitle Arabic?! Walhasil, selama pertunjukan, aku rajin menyikut lengan temanku untuk jadi translator. Setelah intermission (karena durasi yang 3 jam, setelah 1 1/2 jam tayang ada 10 menit break untuk film Hindi), aku tidur di bioskop dengan sukses! Sejak saat itu, setiap kali nonton film Hindi, temanku pasti nggak lupa bertanya ada English subtitle atau tidak. Mungkin dia kapok kenikmatan menontonnya kuganggu habis-habisan untuk menjadi translator! Hehehe

Ternyata, film-film Hindi lumayan juga, terutama yang modern (yang dibuat setelah tahun 1996). Garis ceritanya tidak melulu tentang percintaan dan miskin kaya (tapi teteeep, nyanyi-nyanyi dan nari-nari sambil hujan-hujanan masih ada, walaupun untuk film horror sekalipun!). Diantaranya yang aku suka Taree Zamen Par (mengenai anak yang menderita Dislexia, aku sampe’ nangis di bioskop waktu nonton), Don (yang ini remake dari film lama, mengenai mafia), Ghajini (mirip film Hollywood ‘Memento’, Cuma disajikan dengan lebih menarik), dan yang terakhir Slumdog Millionaire. Industri bollywood sudah sebegitu besar dan mengakarnya, sepertinya orang-orang India tidak bisa hidup tanpa menonton film Hindi. Bahkan temanku dengan pede nya bilang, kalau film-film Hollywood tuh copycat dari film-film Bollywood! Huh! Kalau penyakit sok pedenya muncul, sepanjang jalan aku bakalan ‘arguing’ dengannya.

“Kamu tuh, yang copycat! Bikin storyline sendiri dong!”

“Orang Indo tuh, yang copycat! Nama negara kok Indonesia, Cuma nambah O-N-E-S doang dari India! Nggak kreatif!”

“Yeee.. enak aja! Kalian tuh, yang nyontek! Indonesia kan merdeka duluan!”

“Siapa bilang? Kalau di daftar negara, India duluan!”

Ampuuun dah nih orang! Pe-de abissss!

It was a never ending arguments, mulai dari bahasa yang sama (surya, cinta/chinta, putra-putri, dll) sampai suatu saat dia mampir ke restoran Indonesia dan mencicipi masakan Padang yang mirip Indian curry. Sudah bisa kutebak komentarnya yang bikin aku kesal setengah mati: kata-kata “Copycat!” sambil senyum-senyum penuh kemenangan diatas kekesalanku yang memuncak. Ggrrhhh! Hingga suatu saat, aku baca artikel di kompas.com , bagian Petualang

Quote.
“Di India, saya meraba Indonesia. Vishnu, Shiva, Brahma, Hanuman, Ganesh, Lakshmi, Bhim, Arjun, burung garud, Mahabharata, Rama, Shinta, Bhagavad Gita, Ayurveda, Ashok, Lilavati, semuanya hidup di alam bawah sadar saya. Walaupun tak pernah khusus belajar bahasa Hindi, saya tahu artinya achar, putra, raja, bhasa, uttar, chandra, dan agni. Nama Jawa, Sumatra, Bali, Jakarta, Mahameru, Borobudur, dan berbagai tempat di Nusantara, semua berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa kuno yang masih mengilhami peradaban kita.
Indonesia dan India, dua negeri yang terpisah oleh samudera luas, sebenarnya masih tersambung oleh jalinan tak kasat mata. Jalinan itu adalah budaya dan sejarah. Sudah ribuan tahun Nusantara menyerap saripatai negeri Bharat. Semua agama besar di Indonesia berasal dari India – Budha, Hindu, dan bahkan Islam yang datang melalui Gujarat. Bahkan kata ‘India’ pun masih melekat dalam nama ‘Indonesia’. “
Endquote.

[sigh] I’m defeated!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun