Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kebahagiaan Itu Tidak Lagi Sederhana

10 September 2014   18:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:06 68 0
Sekitar setahun yang lalu, saya menemukan sebuah novel tergeletak di lantai sekret, milik teman saya Tet, dan saya membawanya pulang buku itu.  Novel itu judulnya “The Geography of Bliss” karya Eric Weiner. Buku ini bercerita tentang pencarian kebahagiaan di beberapa belahan di bumi dengan melihat kebahagiaan dalam beberapa perspektif masyarakat dunia. Mungkin buku ini lebih tepat disebut jurnal bebas, karena saya melihat banyaknya kandungan literatur ilmiah yang dirangkai dalam narasi cerdas dengan bumbu subjektivitas penulis.

Bagitu mulai membaca cerita pertama, saya terkejut dengan nama-nama yang muncul dalam cerita itu, seperti Seligman, Veenhoven, bahkan Freud juga dia singgung. Saya pun langsung mengkoneksikan pikiran saya ke bidang ilmu yang saya pelajari, Psikologi. Berkembangnya kajian positive psychology membuat orang kini banyak membuat penelitian bertemakan kebahagiaan. Trennya sekarang berubah, dulu psikologi lebih suka mempelajari pikiran jiwa yang sakit, namun sekarang lebih suka mempelajari jiwa yang sehat.

Buku ini juga memberikan sindirannya terhadap ilmuwan kebahagiaan. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno telah mencoba merumuskan apa itu kebahagiaan. Kemudian muncul agama yang mencoba memberi jalan pada kebahagiaan. Namun semua itu masih pendapat, jauh dari kata ilmiah. Lalu ilmuwan mencoba memanupulasi kata kebahagiaan itu dengan menggantinya dengan istilah lain. Ya, kata kebahagiaan memang nampak tidak serius, terlalu sederhana, dan terlalu mudah dimengerti orang awam. Lalu muncul istilah subjective well-being (kesejahteraan subjektif). Sempurna, kata ini lebih susah dimengerti oleh orang awam, apalagi kata ini bisa disingkat dengan istilah aneh, SWB. Sehingga kajian tentang kebahagiaan (SWB) akan menjadi kajian yang serius sekarang.

Dalam pelaksanaannya sebuah riset yang serius memerlukan angka. Tapi bagaimana mengukur kebahagiaan itu. Apakah kita bisa menanyakan begitu saja ”seberapa bahagiakah anda?”, “apa yang membuat anda bahagia?”. Manusia adalah makhluk yang relatif. Bagaimana kalau pertanyaan semacam itu ditanyakan kepada orang jawa, apakah mengerti? Sedangkan setahu saya memang belum ada istilah dalam bahasa jawa yang setara dengan kata bahagia, apalagi sejahtera secara subjectif (subjective well-being).

Baik, andaikan kita berasumsi semua penelitian itu adalah akurat, lalu apa yang telah diperoleh peneliti? Apakah dengan kita mengetahui determinan kebahagiaan, kita bisa menjadi bahagia. Andaikan hasil penelitian menemukan bahwa orang yang kaya lebih bahagia dari orang miskin,orang  ekstrovert lebih bahagia daripada orang introvert, orang menikah lebih bahagia dari pada orang sendiri, orang sehat lebih bahagia daripada orang sakit. Lalu apakah kita harus menjadi kaya, ekstrovert, menikah, dan sehat untuk bisa bahagia. Kalau begitu apakah orang di dunia bisa menjadi lebih bahagia sekarang? Mengapa Amerika masih kalah bahagia dibanding Indonesia, padahal mereka memiliki semua syarat untuk lebih bahagia dibanding Indnoesia?

Kebahagiaan tidak lagi sederhana, dia multitafsir dan relatif sekarang. Akhir kata, mengutip dari bagian pengantar buku ini, “pencarian kebahagiaan adalah salah satu sumber utama ketidakbahagiaan”. Tidak usah muluk-muluk mengejar sesuatu yang besar, kalau kita bisa menikmati sesuatu yang kecil tiap detik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun