Kita semua pasti sepakat bahwa Tuhan adalah sesuatu yang sakral dan luhur, begitu pula dengan agama yang diturunkan-Nya. Melalui agama, Tuhan memanggil individu-individu untuk menaati ajaran-ajaran-Nya. Dengan memeluk suatu agama, seorang individu telah memaknai dirinya dengan sebuah konsep diri yang beragama.
Konsep beragama berada dalam benak. Namun hampir selalu kita temui cerminan konsep beragama dalam penampilan. Jilbab dan sorban yang dikenakan di dunia nyata tidak cukup mencitrakan religiusitas. Dalam era web 2.0, citra religiusitas ditampilkan melalui konten virtual: berbagi teks dalam sosial media, atau istilah populernya ‘update status Facebook’.
Doa dalam jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, seringkali kita temui. Apalah yang diharapkan dengan ‘mengumbar’ doa di jejaring sosial? Komentar yang turut ‘mengamini’, sehingga membantu agar doa segera dikabulkan? Padahal doa adalah komunikasi yang sangat pribadi antara tiap individu dengan Tuhannya.
Dengan ‘mengumbar’ doa di jejaring sosial, kita telah menarik Tuhan dalam keramaian virtual. Doa sebagai ritual keagamaan telah didesakralisasi, menanggalkannya dari ruang-ruang kesuciannya. Doa sebagai bentuk spiritualitas telah ditampilkan dalam bentuk yang artifisial sebagai pembentuk citra.