Saya cukup yakin bahwa hampir semua dari kita pernah mendengar sebuah kalimat bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Jika memang kalimat tersebut benar adanya, tak lain tujuannya adalah agar kita semua sebagai manusia, sebagai mahluk yang berakal mampu menggunakan akal pikirannya untuk mencari solusi dari permasalahan yang terjadi. Solusi tersebut dapat diambil dari pengalaman ataupun dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Berdasar pengalaman ataupun dari apa yang pernah dilakukan maka solusi yang didapat akan lebih personal sehingga permasalahan yang terjadi pun dapat diselesaikan dengan cara yang paling tepat.
Lantas mengapa tidak sedikit orang yang mengalami kegagalan berulang, atau bahkan kita sendiri pun mengalami kegagalan berulang tersebut. Pertanyaannya adalah; mengapa bisa terulang? Padahal seharusnya jika kita mampu belajar dari "sang guru terbaik" maka kita mampu menghindari permasalahan yang sama atau kita sudah punya cara untuk melalui permasalahan tersebut sehingga tidak terlalu lama waktu untuk berkubang pada kegagalan. Lantas ketika seseorang "jatuh di lubang yang sama", apa yang salah dari orang itu?
Dari analogi kasus yang dicontohkan, ada bagian yang luput dari pengamatan orang tersebut. Bagian yang sering terlupakan dari sebuah proses pembelajaran pengalaman adalah menjadikan pengalaman tersebut sebagai bahan ajar untuk menyelesaikan masalah yang sama atau masalah berbeda yang datang di kemudian hari. Seharusnya pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut dijadikan sebagai bagian dari cara belajar. Orang yang sudah menemukan cara belajar berdasar pengalamannya, maka orang tersebut sudah memasukkan pengalamannya pada sebuah sistem belajar yang baik. Sehingga pengalaman tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sama atau bahkan masalah yang berbeda di kemudian hari.
Lantas bagaimana caranya agar pengalaman dapat menjadi guru terbaik? Bagaimana caranya memasukkan pengalaman ke dalam sistem belajar, sehingga belajar dari pengalaman menjadi sebuah metode belajar yang efektif dan efisien serta berpusat pada masing-masing pembelajar?
Kecenderungan belajar orang dewasa adalah belajar dari sebuah pengalaman, namun tidak semua orang dewasa mengetahui dan memiliki cara belajar dari sebuah pengalaman. Saat seseorang belajar dari pengalamannya, seseorang itu dituntut untuk dapat mengingat kembali secara utuh hal yang terjadi dan hal-hal yang dirasakan panca indera. Cara belajar tersebut adalah dengan merefleksikan sebuah pengalaman. Jika sebuah pengalaman ingin dijadikan pembelajaran yang utuh dan berguna, maka pengalaman tersebut haruslah melalui proses refleksi. Proses merefleksikan sebuah pengalaman adalah sebuah proses yang dilakukan secara sadar bahwa ia sedang belajar tentang sesuatu yang berguna untuk masa depan.
Tahapan pertama dari proses refleksi pengalaman adalah benar-benar mengingat dan menyadari keberadaan pengalaman secara detail. Kemudian tahapan kedua setelah mengingat, adalah melakukan penggalian lebih dalam. Bagaimana sebuah “rasa” dapat dimiliki secara utuh oleh semua panca indera maupun sebagian indera saja. Kemampuan kognitif memegang peran yang penting untuk tahapan selanjutnya. Pada tahap ini, kemampuan kognitif seseorang akan digunakan untuk mendapatkan pembelajaran baru. Proses refleksi secara kognisi, meminta seseorang untuk mempelajari dan mengekstraksikan pengalamannya dalam ranah pembelajaran yang positif. Sisi positif yang ditemukan dari pengalaman inilah yang kemudian menjadi bagian penting dari proses refleksi.
Proses refleksi belum dapat dikatakan selesai ketika seseorang mampu memandang suatu keadaan atau permasalahan dengan sudut pandang yang positif. Karena dalam sebuah proses belajar, yang terpenting adalah “what next”-nya. Apa yang akan dilakukan setelah belajar sesuatu? Adakah tindakan nyata yang diambil setelah belajar? Ingat! Belajar adalah suatu proses yang dapat mengakibatkan seseorang berubah. Perubahan ini adalah perubahan dalam hal pengetahuan, keahlian, sikap, pola pikir, maupun perilaku. Perubahan yang terjadi adalah pertanda bahwa seseorang tersebut sudah belajar dari pengalaman. Maka pengalaman digunakan sebagai bahan ajar dan experiential learning digunakan sebagai metode belajar.
Secara singkat, experiential learning berbicara mengenai pembelajaran yang berupa perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan tingkah laku, perubahan cara pandang, keahlian, dll., yang telah melalui sebuah proses refleksi dari pengalaman. Experiential learning adalah pengalaman, direfleksikan, belajar, melakukan tindakan yang berbeda (yang akhirnya menjadi menjadi pengalaman). Dan siklus ini akan terjadi secara berulang kali dan berulang kali lagi.
So...When experience is the best teacher, then EL should be the best learning method.
( hasil diskusi dengan dian wibowo-penggiat EL)
Referensi:
Priest, Simon (2002). eXperientia Web Site.