arah angin yang bergerak mendahuluimu.
Di rentang fajar ketika bintang timur masih berkilauan.
Dan kabut-kabut menari gemulai di atas dahan-dahan padi.
Gunung tenang di selimuti awan, engkau menatap tertegun.
Di dalam kereta yang terus bergerak mengajak kita merangkum jejak.
Serpihan-serpihan embun di balik jendela terhisap angin dalam satu lintasan.
Yang pernah retak bersama kenangan sebelum kau datang menyapa malam.
Pohon-pohon berlarian melawan arah memburu sisa-sisa masa lalu.
Yang telah lama kubuang bersama muntah di awal musim lalu.
Dan sekarang aku di sampingmu tenang.
Kereta terus bergerak melampaui batas jenuh kita yang duduk menghadap jendela.
Warna pagi yang semakin terang tak lekas membuat kita bertanya.
Apakah ada kabut atau kenangan kah yang tertinggal di setiap jarak yang berlalu.
Kita masih saja diam sambil memeluk tubuh.
Batu-batu kerikil diluar terlempar jauh di perlintasan.
Tiba-tiba mulutmu berkata menyebut dua nama gunung yang sedari tadi menatap kita.
Diam, tenang namun seakan terus bergerak gunung itu seakan tinggalkan pertanyaan yang banyak.
Kepada kita yang sedari tadi tak bergerak.
Sayang, ketika kita paham arti bersatu sesungguhnya maka di puncak gunung itulah jawaban dari semua kesetiaan.
Dan ketahuilah perjalanan ini hanyalah sebuah kisah yang pasti akan hilang.
Meski sempat kau menulisnya dalam sejengkal puisi di lembar kertas putih.
Seperti kereta ini yang membawa kita pergi jauh melintasi kota-kota.
Semakin jauh kita pergi, semakin hilanglah segala rindu dan sepi.
Maka selagi deru kereta yang nyaring berlari dan pagi yang kian mengembang melahirkan matahari.
Ku kecup keningmu setengah ragu sambil menyeka lembaran air mata yang menetes di pipimu.