Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Putusan Sela Demi Hakim Agung Non Aktif Gazalba Saleh

30 Mei 2024   21:17 Diperbarui: 31 Mei 2024   09:32 676 18
Putusan Sela Demi Hakim Agung Non Aktif Gazalba Saleh.

Oleh Handra Deddy Hasan

Putusan sela adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan sebelum menyidangkan materi pokok perkara di Pengadilan.

Dalam putusan sela hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir pada saat proses pemeriksaan berlangsung.

Putusan sela biasanya dikeluarkan untuk menentukan langkah-langkah atau keputusan tertentu yang perlu diambil sebelum proses peradilan dilanjutkan ke putusan akhir.

Pasal 156 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) mengatur sebuah bentuk putusan yang diistilahkan dengan putusan sela.

Adapun makna putusan sela yang dimaksud dalam Pasal 156 KUHAP adalah putusan yang berisi penyataan Hakim tentang salah satu dari tiga kemungkinan berupa dibawah ini dan tidak termasuk materi pokok perkara, yaitu:

a. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, atau

b. dakwaan tidak dapat diterima atau

c. Surat dakwaan harus dibatalkan.

Putusan sela secara teoritis terdiri dengan beberapa macam dan dikeluarkan dalam situasi-situasi tertentu seperti berkaitan dengan permohonan eksepsi atau keberatan (putusan provisional); masalah penahanan sementara atau penangguhan penahanan (putusan insidentil) ; atau dalam rangka pengaturan proses persidangan yang lebih lanjut (putusan preparatoir).

Khusus untuk putusan sela insidentil dan preparatoir bersifat sementara dan tidak bersifat final seperti putusan akhir, sehingga masih dapat berubah atau dicabut dalam putusan akhir perkara.

Sedangkan putusan sela provosionil misalnya masalah eksepsi, keberatan tidak berwenangnya Pengadilan mengadili perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156 KUHAP, mengakibatkan proses persidangan berhenti, tidak dilanjutkan sampai putusan akhir apabila Hakim menerima keberatan Terdakwa.

Jadi putusan sela provosionil akibatnya mirip dengan putusan akhir dan mengakibatkan persidangan selesai dalam Pengadilan tingkat pertama.

Adapun letak perbedaannya dengan putusan akhir adalah, dalam putusan sela provosionil tidak dibahas sama sekali pokok perkara. Pertimbangan hukum putusan sela provosionil sebatas yang berkaitan hal-hal formil dan tidak menyentuh sama sekali materi pokok perkara.

Hal inilah yang terjadi pada Senin (27/5/2024) ketika Majelis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan sela terhadap tuduhan dugaan perkara Korupsi Hakim Agung non aktif Gazalba Saleh.

Menurut pertimbangan hukum Majelis Hakim,  Jaksa KPK tidak punya kewenangan untuk menuntut Gazalba di Pengadilan Tipikor.

Pertimbangan hukum Majelis berdasarkan eksepsi nota keberatan yang diajukan oleh Gazalba atas dugaan gratifikasi dan Pencucian Uang senilai Rp 62,8 miliar.

Dalam petitum putusan sela Ketua Majelis Hakim, Fahzal Hendri memerintahkan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membebaskan Gazalba dari tahanan (Kompas, Selasa 28/05/2024).

Kewenangan Majelis Hakim Untuk Membuat Keputusan

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Sebagai pelaku yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 8 dan 9 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili perkara pidana.

Dimana tugas dan wewenang hakim adalah untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Walaupun dengan nama kebebasan Hakim, sudah sepatutnya seorang hakim dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.

Keputusan sela yang ditetapkan oleh Majelis Hakim Tipikor yang menetapkan bahwa Jaksa KPK tidak punya kewenangan untuk menuntut perkara Korupsi cukup mengagetkan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bereaksi dengan keras dengan menyatakan putusan sela tersebut "ngawur" (Kompas, Selasa 28/5/2024)

Sebagai catatan personil Majelis Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili Gazalba adalah Majelis yang sudah senior dan sudah mempunyai record mengadili perkara-perkara korupsi besar di Indonesia.

Minimal dapat kita lihat hakim yang sama juga menangani perkara Korupsi lain seperti kasus mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan bekas Gubernur Papua Lukas Enembe.

Dalam kedua perkara yang melibatkan orang beken tersebut Majelis Hakim sama sekali tidak menetapkan putusan sela demikian.

Menurut logika hal tersebut asumsinya bahwa SYL dan Enembe atau Kuasa Hukumnya tidak mengajukan nota keberatan bahwa Jaksa KPK tidak berwenang, sehingga Majelis tidak membuat Putusan Sela.

Berdasarkan teori bahwa seorang Hakim tidak dibenarkan membuat putusan ultra petitum.

Istilah "ultra petitum" adalah  keputusan hakim yang melebihi tuntutan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa dalam suatu perkara.

Dengan kata lain, hakim tidak akan memberikan putusan sela, apabila memang tidak diminta oleh terdakwa atau Kuasa Hukumnya.

Jadi dalam hal ini kita berasumsi bahwa hanya terdakwa Gazalba yang mengajukan materi nota keberatan kewenangan Jaksa KPK kepada Majelis Hakim, sedangkan SYL dan Enembe tidak.

Apabila sebaliknya, seandainya SYL dan Enembe juga mengajukan nota keberatan yang sama seperti Gazalba kepada Majelis Hakim yang diketuai Fahzal Hendri dengan anggota Rianto Adam Pontoh dan Sukartono dan ditolak alias tidak dikabulkan, maka kelihatan Majelis Hakim tidak konsisten.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun