Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Penguntitan Densus Terhadap Jampidsus Modus Intervensi Kasus Korupsi?

26 Mei 2024   17:05 Diperbarui: 16 Juni 2024   11:02 624 7
Penguntitan Densus Terhadap Jampidsus, Modus Intervensi Kasus Korupsi?

Oleh Handra Deddy Hasan

Berdasarkan pemberitaan di media terdapat dugaan personil dari satuan Densus 88 (Detasemen Khusus Antiteror) menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaaan Agung (Jampidsus) Febrie Adriansyah saat makan malam pada Minggu (19/5/2024) lalu sekitar pukul 20.00-21.00 di salah satu restoran  di Cipete, Jakarta Selatan.

Menurut Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, penguntitan tersebut telah merupakan ancaman bagi penegak hukum.

Kebetulan akhir-akhir ini Kejaksaan Agung sedang giat-giatnya menyidik  perkara Korupsi yang jumbo sifatnya.

Setidaknya terdapat beberapa kasus kakap perihal korupsi yang pernah dan sedang ditangani oleh  Kejaksaan Agung seperti kasus Asuransi Jiwasraya, kasus Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Perum ASABRI), kasus jalan tol Sheikh Mohamed Bin Zayed (MBZ), kasus Base Transceiver Station (BTS) dan kasus PT Timah Tbk.

Ketika Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sedang terpuruk karena digerogoti masalah internalnya, Kejaksaan justru dengan gagah perkasa menangkapi koruptor-koruptor besar.

Ada kecurigaan bahwa penguntitan oleh Densus merupakan intimidasi kepada Jampidsus yang merupakan bentuk intervensi terhadap penegakan hukum korupsi.

Padahal agar hukum berjalan semestinya, penegakan hukum  tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan demi kepentingan apapun.

Tindakan intervensi terhadap kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hukum, independensi lembaga penegak hukum, dan integritas sistem peradilan.

Intervensi semacam ini  dapat merusak proses hukum, menghambat keadilan, dan memperkuat budaya korupsi di dalam sistem hukum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Lembaga Kejaksaan merupakan otoritas yang sah mewakili negara di bidang penyelidikan, penyidikan (kasus korupsi) dan penuntutan serta harus dilakukan secara merdeka (independen).

Setiap upaya intervensi yang dilakukan kepada Kejagung dalam penanganan Korupsi akan mengakibatkan terganggunya independensi penegakan hukum.

Independensi lembaga penegak hukum, termasuk Kejagung, adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum yang demokratis. Intervensi terhadap kasus korupsi dapat merusak independensi jaksa dan menunjukkan bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil dan transparan.

Apapun bentuk upaya Intervensi dalam kasus korupsi dapat mengancam prinsip keadilan.

Selayaknya semua pihak harus tunduk pada hukum tanpa terkecuali, termasuk pejabat pemerintah atau individu yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.

Sebagaimana diuraikan di atas, perkara-perkara korupsi jumbo yang sedang Kejagung ditangani Kejagung, ditenggarai mengusik orang-orang kuat yang sedang berkuasa.

Sebagai kita ketahui pemberantasan korupsi memerlukan penegakan hukum yang tegas dan tanpa intervensi.

Jika kasus korupsi besar diintervensi, hal ini dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga penegak hukum.

Masyarakat sipil di Indonesia menduga lemah lunglainya KPK dalam pemberantasan korupsi bukan semata-mata masalah internal. Akan tetapi diduga bahwa melemahnya KPK karena upaya intervensi yang sistematis, termasuk dengan cara merubah Undang-undang tentang KPK.

Tidak perlu dipungkiri lagi, intervensi terhadap kasus korupsi merupakan tindakan yang melanggar hukum dan ketertiban dan sangat biasa terjadi.

Kalau kita masih mengakui Indonesia sebagai Negara hukum, maka semua pihak harus menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum dengan adil dengan cara membiarkan Kejagung bebas dan independen.

Sehingga dengan demikian jangan biarkan Kejagung berjuang sendiri, ketika menghadapi ancaman eksternal yang tidak sah.

Sudah saatnya masyarakat, lembaga negara, dan pemerintah dengan cara dan kewenangannya masing-masing untuk mendukung independensi Kejagung dan lembaga penegak hukum lainnya dalam menangani kasus korupsi besar.

Ini merupakan langkah penting dan strategis dalam memperkuat integritas sistem peradilan dan memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan tanpa pandang bulu (equality before the law).

Berbagai Bentuk Intervensi Yang Biasa Terjadi Dalam Praktiknya.

Ancaman sebagaimana yang dialami oleh Jampidsus, baru merupakan salah satu bentuk intervensi yang ada terhadap penegakan hukum, dalam pemberantasan korupsi.

Modus intervensi bisa sangat beragam, baik yang tampak maupun yang tidak kelihatan.

Sebagai konsekwensi dari pekerjaannya,  seorang Jaksa yang sedang menangani kasus korupsi, tidak jarang berisiko menghadapi ancaman fisik langsung.

Kalau Jampidsus dalam peristiwa di atas, sekedar dikuntit, diawasi dan dipantau serta merasa diintimidasi, sehingga menjadi tidak nyaman.

Dalam kenyataan di lapangan  banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada jaksa-jaksa lain, misalnya berupa target kekerasan fisik, intimidasi, atau bahkan pembunuhan oleh pihak-pihak yang merasa terancam oleh proses hukum yang sedang berjalan.

Pihak-pihak yang terancam baik yang mempunyai kekuasaan atau yang mempunyai uang banyak, tidak perlu melakukannya sendiri, cukup dengan menyuruh atau menyewa pihak lain untuk melakukannya.

Selain ancaman fisik seperti di atas bisa saja jaksa juga menghadapi ancaman non fisik. Misalnya dengan cara difitnah menggunakan tuduhan palsu.

Tujuannya jelas sebagai upaya yang sengaja dilancarkan untuk menghentikan atau mengganggu proses hukum yang sedang berlangsung.

Seorang Jaksa yang berintegritas memang berat tantangan kehidupan yang harus dijalaninya.

Bahkan, ketika secara pribadi Jaksa tersebut bisa tegar menghadapi ancaman-ancaman tersebut, bukan berarti masalah selesai.

Pihak yang terancam biasanya tidak tinggal diam dan mencari cara dengan modus lain.

Ancaman-ancaman serupa bisa beralih target kepada Istri/suami, anak atau orang terdekat Jaksa tersebut.

Modus ancaman sebagaimana dinarasikan di atas saat ini terjadi lebih luas dan masif.

Kalau dulu sebelum adanya kemajuan teknologi informasi, ancaman tersebut dilakukan secara langsung dengan dampak terbatas.

Sejak adanya media sosial modus yang sama disampaikan melalui media sosial, sehingga dampaknya lebih masif dan luas.
 
Sehingga Jaksa yang gigih dalam menegakkan hukum dan mengungkap kasus korupsi berpotensi menghadapi ancaman terhadap reputasi mereka.

Mereka bisa difitnah, dicemarkan nama baiknya, atau dihadapkan pada serangan media sosial yang bertujuan untuk merusak kredibilitas mereka.

Saat ini sangat masif beredar di media sosial TikTok dengan berbagai Versi tentang kekayaan dan bisnis Jampidsus Febrie Adriansyah yang dinarasikan berasal dari uang haram. Konten berita yang beredar, dari pabrik jam Swiss yang dimilikinya sampai nama perusahaan yang identik nama anaknya.

Menurut narasi yang beredar di TikTok, Jampidsus telah mengumpulkan uang ratusan miliar dengan cara memeras perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan kejahatan. Katanya Jampidsus berkomplot baik dengan saudara atau Pengacara temannya sendiri untuk menghubungi perusahaan tersebut untuk diringankan hukumannya atau dihilangkan kasusnya dengan imbalan uang dalam jumlah besar.

Disatu sisi apabila berita yang beredar di media sosial tersebut merupakan berita rekayasa, maka ini jelas merupakan upaya yang mendeskreditkan dengan tujuan membuat Jampidsus goyah. Ini terbukti dimana dalam berita tersebut menuntut Jaksa Agung agar memecat Jampidsus Febrie Adriansyah.

Disisi lain, apabila berita tersebut benar, maka merupakan keruntuhan dunia penegakan hukum di Indonesia. Praktik ini, ibarat jargon "jeruk makan jeruk".

Belum lagi Jaksa juga akan mendapat tekanan politik dalam menegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Tekanan politik dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam kasus korupsi tertentu juga dapat menjadi ancaman serius bagi jaksa.

Penjabat-penjabat yang berkuasa baik yang terserempet kasus atau yang memang melakukan kejahatan korupsi akan ketakutan diperiksa dan dijadikan tersangka serta akan berusaha mengintervensi kasus.

Sehingga Jaksa dihadapkan pada tekanan untuk menghentikan penyelidikan atau penuntutan, atau untuk menutup-nutupi kasus korupsi yang melibatkan pihak-pihak berpengaruh secara politis.

Terakhir, kalau tidak berhasil dengan ancaman kasar dan halus, biasanya bentuk intervensi yang sukar bagi Jaksa menangkalnya  adalah godaan integritas dengan diimingi materi.

Ancaman demikian bisa kita katagorikan sebagai ancaman ekonomi, seperti penawaran suap, iming-iming jabatan atau keuntungan finansial atau materi lainnya sebagai imbalan untuk menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung.

Iming-iming jabatan yang tinggi oleh pihak yang berkuasa dan uang yang banyak untuk menikmati pensiun dengan nyaman, tentunya sangat menggoda dan bisa menggoyahkan iman dan integritas seorang jaksa.

Dengan demikian jaksa diharapkan untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip keadilan, integritas, dan profesionalisme.

Namun tentunya hal ini tidak mudah dalam menghadapi semua tantangan tersebut dalam kenyataannya.

Setelah memahami betapa beratnya tantangan yang dihadapi seorang jaksa dalam bekerja, bisa disimpulkan sepertinya hanya makhluk yang melewati kualifikasi manusia yang siap menghadapinya.

Kualifikasinya yang dituntut bagi Jaksa sangat tinggi dalam mengemban tugasnya secara profesional, mendekati fisik makhluk luar bumi seperti superman yang diisi dengan jiwa malaikat.

Agar supaya tugas Kejaksaan dapat diemban manusia biasa perlu pemikiran yang mendalam dengan melakukan riset menyeluruh agar seorang jaksa kuat dan berani serta dilindungi dalam melakukan pekerjaannya.

Menjadi kuat dan berani tentu saja bisa dimulai dari perekrutan pertama sebagai Jaksa dan ditempa dengan pelatihan yang tepat disertai dengan lingkungan dan teladan yang baik dari senior dan atasannya.

Perlindungan bisa berasal baik dari lembaga penegak hukum tempatnya bekerja maupun Lembaga penegak hukum lainnya dan negara harus terlibat agar Jaksa bisa melaksanakan tugasnya dengan aman dan tanpa tekanan eksternal yang tidak perlu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun