Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Buyarnya Mimpi Masyarakat Miskin Menjadi Sarjana

20 Mei 2024   10:22 Diperbarui: 20 Mei 2024   20:56 476 21

  • Buyarnya Mimpi Masyarakat Miskin Menjadi Sarjana

  • Oleh Handra Deddy Hasan

    Desakan masyarakat agar menurunkan uang kuliah mahasiswa semakin menguat

    Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI) mengadukan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak wajar ke Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

    Mahasiswa dan DPR RI mendesak Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 2 tahun 2024 mengenai Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri (SSBOPTN) di Lingkungan Kemendikbudristek yang menjadi dasar penetapan uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI).

    Permendikbudristek Nomor 2/2024 adalah  merupakan biang keladi dari naiknya UKT.

    Menurut data dari BenarNews, kenaikan tertinggi terjadi di Universitas Negeri Solo (UNS). Biaya IPI atau uang pangkal di Fakultas Kedokteran UNS tahun lalu sebesar Rp25 juta, kini naik drastis menjadi Rp200 juta. Selain itu, UKT di fakultas ini juga mengalami kenaikan signifikan dari Rp21,8 juta pada tahun 2023 menjadi Rp30 juta tahun ini.

    Menurut BEM Universitas Jenderal Soedirman, Maulana Ihsanul Huda, mahasiswa menjadi resah karena UKT melambung naik 300-500 persen. Di Fakultas Peternakan, misalnya, UKT tertinggi tahun lalu sebesar Rp2,5 juta, sekarang menjadi Rp14 juta (Kompas, Senin 20 Mei 2024).

    DPR RI dan banyak pihak sangat menyesal respons Pemerintah yang tidak simpatik atas kenaikan biaya pendidikan tinggi yang seolah-olah membuyarkan mimpi orang miskin untuk mengenyam pendidikan di level Perguruan Tinggi.

    Pemerintah melalui Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Sekdirjen Dikti) di Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier dan tidak wajib.

    Beliau menegaskan dalam suatu diskusi online bahwa Pendidikan tinggi  adalah tertiary education dan   bukan merupakan wajib belajar yang biayanya ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah.

    Sehingga Sekdirjen Dikti mengartikan bahwa tidak seluruh lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi.

    Pernyataan yang tidak simpatik ini tentu saja, memicu reaksi dari masyarakat.

    Salah satu reaksi muncul dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji yang mengatakan sikap Kementerian dapat melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa.

    Pernyataan Sekdirjen Dikti Bertentangan Dengan UU.

    Kalau kita teliti lebih jauh berdasarkan dan berpijak kepada materi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT), maka akan terlihat bahwa Sekdirjen Dikti sangat keliru.

    Sebelum kita menelisik lebih jauh ke bunyi pasal-pasal yang tidak sesuai dengan pernyataan Sekdirjen Dikti, terlebih dahulu kita membaca konsideran terbitnya UU PT.

    UU PT dalam konsiderannya menyatakan bahwa pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Pendidikan tinggi dianggap sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, kreatif, dan inovatif guna mendukung pembangunan bangsa dan negara.

    Sehingga dengan demikian, pendidikan tinggi diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mendukung pembangunan berkelanjutan. 

  • Peran strategis pendidikan tinggi juga mencakup fungsi sebagai pusat pengembangan penelitian dan inovasi, serta sebagai wadah untuk menghasilkan pemimpin dan profesional yang berkualitas.

  • Jadi walaupun pendidikan tinggi bukan pendidikan dasar dan merupakan tertiary  education, namun tidak bisa dipisahkan begitu saja karena merupakan bagian integral secara keseluruhan dengan sistim pendidikan Nasional.

  • Pengkotak-kotakan sistem pendidikan dalam batas pendidikan dasar, kebutuhan tersier merupakan pengingkaran terhadap konsideran UU yang menyatukan sistem pendidikan Nasional yang terintegrasi dengan pendidikan tinggi.

  • Cara berfikir dengan pengkotakan demikian akan menghambat tujuan pendidikan yang utuh dan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Untuk melihat lebih nyata bahwa pernyataan Sekdirjen Dirjen Dikti telah melanggar UU PT terlihat nyata dari azaz Pendidikan Tinggi yang diatur dalam Pasal 3 i.

    Sesuai dengan Pasal 3 i UU PT bahwa Pendidikan Tinggi berazaskan keterjangkauan.

    Berdasarkan penjelasan UU PT bahwa yang dimaksud dengan "azas keterjangkauan" adalah bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh Pendidikan Tinggi tanpa hambatan ekonomi.

    Masyarakat, mahasiswa dan DPR mendesak agar membatalkan Permendikbudristek Nomor 2/2024 karena UKT naik drastis sehingga merupakan hambatan ekonomi bagi mahasiswa.

    Dengan adanya azas keterjangkauan dalam Pasal 3 i UU PT, maka seharusnya UKT tidak mahal agar bisa terjangkau.

    Jawaban yang pas dari Pemerintah yang selaras dengan UU PT adalah menurunkan UKT agar terjangkau.

    Jawaban dengan berdalih tentang strata pendidikan tinggi yang merupakan kebutuhan tersier, jelas merupakan respon yang bertentangan dengan UU, khususnya Pasal 3 i UU PT.

    Upaya-upaya Yang Bisa Dilakukan Oleh Pemerintah Agar Memenuhi Azas Keterjangkauan.

    Jawaban Sekdirjen Dikti tentang mahalnya UKT, selain tidak simpatik dan bertentangan dengan yang dimaksud UU PT, juga memperlihatkan jawaban yang tidak kreatif dan malas.

    Dalam UU PT ada beberapa upaya dan instrumen yang bisa dimanfaatkan agar UKT memenuhi Azas Keterjangkauan.

    Pendanaan dan pembiayaan Perguruan Tinggi berdasarkan Pasal 83 UU PT ditanggung oleh Pemerintah dengan cara Pemerintah menyediakan Pendidikan Tinggi yang di alokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
     Negara (APBN).

    Bahkan Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan Dana pendidikan tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    Jadi tidak benar ada pihak yang menyatakan bahwa dana dan pembiayaan Perguruan Tinggi semata-mata dibebankan kepada mahasiswa.

    Berarti dengan Sumber Dana APBN dan APBD seharusnya tidak sulit menganggarkan agar UKT menjadi terjangkau demi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa untuk sanggup bersaing dengan bangsa lain dalam alam global.

    Jawaban ngeles dengan nada sumbang untuk mengubur mimpi orang miskin mengenyam bangku kuliah, terasa sangat kerdil karena ternyata pembiayaan dan pendanaan Perguruan Tinggi bisa diperoleh melalui APBN APBD.

    Kalau seandainya APBN dan APBD ternyata masih kurang untuk memenuhi "Azas Keterjangkauan" Pemerintah masih ada cara lain yaitu dengan cara partisipasi masyarakat (Pasal 84 UU PT).

    Metode pendekatan partisipasi masyarakat untuk memenuhi Azas Keterjangkauan biaya kuliah tentunya membutuhkan upaya yang kreatif bila dibandingkan dengan mengambil Dana APBN/APBD.

    Masyarakat tentunya tidak akan datang begitu saja dengan sukarela menyerahkan dana sumbangan untuk Pendidikan Tinggi.

    Pasal 84 UU PT memberikan metode-metode yang sangat leluasa bagi masyarakat untuk berpartisipasi untuk dunia pendidikan, asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

    Perguruan Tinggi bisa memilih metode partisipasinya antara lain dalam bentuk hibah, wakaf, zakat, persembahan kasih, kolekte, dana punia, sumbangan individu dan/atau Perusahaan.

  • Sumbangan Dana dari Perusahaan yang biasa terjadi adalah kerjasama dari Perguruan Tinggi dengan Perusahaan dan sekaligus menampung Dana Corporate Social Responsibility (CSR)nya.

    Para pembuat UU PT dulunya tentu tidak asal-asalan mencantumkan Azas Keterjangkauan, selain dengan tujuan mulia menciptakan manusia Indonesia yang  bermutu tentu juga telah memikirkan cara pendanaan dan pembiayaannya.

    Termasuk tentunya telah memikirkan jauh kedepan agar masyarakat miskinpun mempunyai kesempatan untuk merubah nasibnya melalui pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun