BRI Menjadi Target Rush Money
Oleh Handra Deddy Hasan.
Momok dan hantu yang paling ditakuti dalam operasional perbankan adalah Rush Money.
Tidak peduli sesehat apapun suatu bank dan mau punya reputasi International sekalipun apabila dilanda Rush Money bank tersebut lambat laun akan tumbang.
Istilah Rush Money atau Bank Run atau ada yang menyebut Panic Bank adalah tiga istilah yang berbeda namun mempunyai arti yang sama dan sangat terkenal sekali dalam dunia perbankan di dunia.
Istilah-istilah yang berbeda tersebut menggambarkan kondisi yang terjadi.
Istilah Rush Money sangat kental menggambarkan dimana secara tiba-tiba dan serentak nasabah Bank secara masif melakukan penarikan uang dari tempat banknya menabung secara besar-besaran.
Biasanya, Rush Money terjadi ketika nasabah khawatir akan kebangkrutan atau ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban keuangan mereka.
Dalam situasi Bank Run, Panic Bank menggambarkan ketakutan dan kepanikan yang terjadi diantara nasabah bank dan menyebar dengan cepat.
Akibatnya semakin lebih memicu lebih banyak orang untuk menarik uang dari bank, yang pada gilirannya dapat menyebabkan bank kekurangan likuiditas dan bahkan ambruk sama sekali.
Bank Run seperti menciptakan lingkaran negatif di mana penarikan besar-besaran uang oleh nasabah membuat bank semakin tidak likuid dan rentan terhadap kebangkrutan, yang pada gilirannya juga sekaligus memperburuk kepanikan di kalangan nasabah lainnya.
Beberapa bulan terakhir, ada tren penarikan uang tunai besar-besaran terjadi di beberapa cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) seluruh Indonesia.
Hal tersebut dipicu dan diprovokasi oleh konten-konten media sosial yang beredar di masyarakat berisikan informasi uang hilang di tabungan beratus juta rupiah. Informasinya berlanjut dengan adanya ajakan kepada masyarakat untuk menarik dananya dari BRI.
Padahal kalau memang ada uang raib tanpa diketahui oleh pemiliknya, bukan selalu salahnya bank. Bisa saja merupakan kesalahan pemilik akun bank itu sendiri tanpa disadari. Pada saat masyarakat berada dalam pusaran revolusi komunikasi saat ini ada yang dinamakan kejahatan cyber.
Salah satu andalan penjahat cyber dalam melakukan penipuan adalah dengan cara social engineering, salah satu tekniknya menggunakan rekayasa phishing.
Dalam pidana cyber yang canggih ini penjahat akan membuat korban terlena sehingga tanpa sadar memberikan info sensitif data perbankannya.
Berdasarkan data hasil penipuan tersebut, penjahat cyber menguras isi tabungan korban tanpa disadarinya.
Kembali kepada kasus BRI, dimana BRI telah mencatat dan mendeteksi bahwa sejumlah konten yang cukup meresahkan masyarakat dan merugikan BRI tersebut memiliki kemiripan salah satunya yaitu diunggah oleh akun-akun yang tidak kredibel.
Salah satunya, pada 23 April 2024, akun media sosial (Instagram, Tiktok, Facebook) Rama News (@ramanews) mengunggah sebuah video yang diambil dari akun TikTok widia_pengamatpolitik dengan narasi bahwa adanya kejadian nasabah BRI yang kehilangan uang merupakan efek dari Pemilu untuk serangan bansos.
Ternyata konten tersebut setelah ditelusuri kebenarannya terklarifikasi merupakan kabar bohong alias hoaks. (Kompas.com 7 Mei 2024).
Adanya berita hoaks tersebut BRI tidak tinggal diam dan berusaha untuk mengatasinya agar keadaan tidak semakin memburuk.
Terkait "Uang Hilang di BRI adalah efek dari Pemilu Untuk Serangan Bansos", BRI memastikan video yang viral di media sosial itu tidak benar dan tidak berdasar. Sehingga masyarakat tidak perlu panik dan tidak perlu menarik uangnya dari BRI.
Agar aksi Rush Money tidak berlanjut, BRI menenangkan masyarakat dengan menghimbau agar memanfaatkan sosial media secara positif dan tidak mudah termakan informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya. (Kanal Liputan6, 8 Mei 2024)
Sebab-sebab Terjadinya Money Rush.
Aksi Rush Money adalah merupakan suatu akibat dari kondisi atau keadaan.
Adapun keadaan atau kondisi yang dapat memicu timbulnya Rush Money biasanya apabila terjadi krisis keuangan.
Krisis ekonomi atau keuangan secara luas dapat memicu Rush Money di mana orang berbondong-bondong untuk menarik dananya dari sistem keuangan karena kekhawatiran akan ketidakstabilan ekonomi.
Misalnya ketika tahun 1998, ketika Indonesia mengalami krisis dimana inflasi melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.
Krisis pada waktu itu memicu terjadinya Rush Money atau pengambilan uang kontan secara besar-besaran dari bank.
Ternyata tidak hanya krisis saja yang bisa membuat terjadinya Rush Money.
Ketakutan akan kegagalan bank juga dapat menyebabkan orang untuk menarik uang.
Apabila ketakutan itu terjadi secara masif akan menyebabkan terjadinya Rush Money dan akan menyebabkan bank kekurangan likuiditas dan berpotensi bank tersebut akan collapse.
Ketakutan masyarakat muncul dari hal-hal yang masuk akal, tapi bisa saja muncul dari berita buruk atau rumor negatif.
Berita buruk atau rumor negatif yang berupa hoaks seperti yang dilakukan oleh akun-akun yang tidak kredibel menyerang BRI bisa merusak reputasi bank.
Berita hoaks tersebut menyebar luas di media sosial dan dapat memicu kepanikan di pasar keuangan dan mendorong orang untuk segera menarik dananya.
Selain hal tersebut Pemerintahpun tidak steril dan dapat memicu dan menjadi pihak penyebab terjadinya Rush Money.
Secara logika tidak ada Pemerintah di dunia yang sengaja menjadi pelaku pembuat Rush Money, karena bank merupakan pilar pendukung ekonomi suatu negara. Collapsnya suatu bank karena rush money akan berakibat kepada memburuknya kondisi ekonomi negara tersebut.
Hal tersebut bisa terjadi apabila pemerintah membuat keputusan yang tidak hati-hati dengan drastis atau tidak terduga dalam kebijakan ekonomi, perpajakan, atau regulasi keuangan.
Kebijakan demikian dapat memicu ketidakpastian dan kepanikan di pasar finansial.
Terakhir yang bisa memicu terjadinya Rush Money adalah adanya gejolak politik.
Gejolak politik dalam negeri atau konflik internasional juga dapat menyebabkan kepanikan finansial dan memicu Rush Money karena ketidakpastian yang dihasilkan dari gejolak tersebut.
Pelaku Rush Money Dapat Dituntut Baik Secara Pidana Maupun Perdata.
Pihak BRI seperti yang telah disampaikannya kepada media akan melakukan langkah-langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarkan hoaks.
BRI nampaknya sudah mempunyai bukti yang kuat bahwa akun-akun yang menyebarkan hoaks dan menyerang reputasi perusahaan akan diseret pertanggungan jawabnya secara hukum.
Walaupun dalam hukum positif Indonesia tidak diatur secara khusus tentang Tindak Pidana Rush Money, tapi perbuatan menyebarkan berita hoaks merupakan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan perubahan kedua berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal 28 ayat 1 UU ITE menyatakan bahwa menyebarkan berita hoaks termasuk yang dilarang dilakukan masyarakat, yaitu perbuatan ;
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Sehingga perbuatan menyebarkan berita hoaks di media sosial diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) - Pasal 45A UU ITE.
Sebagaimana kita ketahui bahwa fokus tuntutan pidana adalah menyengsarakan pelaku pidana agar kapok dengan hukuman fisik berupa pidana penjara.
Sedangkan denda dalam hukuman pidana hanya berupa tambahan hukuman saja.
Sehingga kalau BRI akan menuntut ganti rugi atas kerugian perusahaan karena adanya berita hoaks tersebut dapat mengajukan Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri.
Perbuatan menyebarkan berita hoaks melalui media sosial yang berdampak kepada kerugian finansial bagi BRI merupakan perbuatan melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPERDATA BRI dapat menuntut ganti rugi baik secara materil maupun immateril.
Ganti rugi materil adalah sejumlah nilai uang yang nyata-nyata merupakan kerugian yang diderita oleh BRI karena hengkangnya beberapa nasabah simpanan sehingga membuat berkurangnya keuntungan yang akan diperoleh BRI dengan didukung oleh bukti-bukti yang sah.
Sedangkan kerugian immaterial merupakan kerugian yang tidak real, misalnya rusaknya reputasi BRI sebagai bank terpercaya, sehingga nilainya bisa tanpa batasan dan hanya pihak BRI yang bisa menentukan sendiri besarannya untuk diajukan agar dikabulkan Hakim di persidangan.
Buzzer dan Actor Intellectual
Selain menuntut secara Pidana dan Perdata, khusus dalam kasus pidana, BRI harus mendorong penyidik untuk menemukan kebenaran materil, misalnya dengan membuka wawasan bahwa pelaku penyebar berita hoaks bukanlah pemain tunggal.
Artinya Polisi jangan berhenti dan puas dengan hanya menangkap pelaku penyebaran hoaks.
Harus digali lebih dalam apakah ada motif lain, dimana harus dibuka kemungkinan pelaku merupakan orang bayaran yang disuruh oleh pihak lain.
Dalam hukum pidana, terdapat konsep "actor intellectual" dan "pelaku".
Actor intellectual merupakan pihak atau orang yang merencanakan atau mengatur suatu tindakan kejahatan, meskipun dia sendiri tidak secara langsung melaksanakan tindakan tersebut.
Dalam praktiknya, actor intellectual bertanggung jawab atas perencanaan atau pengaturan suatu kejahatan, meskipun pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan oleh orang lain.
Sedangkan pelaku atau eksekutor adalah orang yang secara langsung melakukan tindakan kejahatan atau melaksanakan rencana kejahatan yang telah dirancang oleh actor intellectual.
Bisa saja penyebar hoaks merupakan pelaku yang dibayar dan bertindak sebagai buzzer, sedangkan dibalik hal tersebut ada skenario besar yang ditentukan oleh actor intellectual.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada waktu kontestasi Pemilihan Presiden yang telah berlalu banyak buzzer yang dipakai secara diam-diam untuk menyebarkan black campaign (kampanye hitam) yang dilakukan kontestan.
Tidak menutup kemungkinan buzzer yang semula banyak dipakai dalam dunia politik mulai merambah ke dunia bisnis.
Hal tersebut bisa terjadi dan masuk akal melihat reputasi BRI sebagai bank semakin mentereng dan mendunia.
Akibatnya kompetitor semakin ciut nyalinya dan iri melihat prestasi yang dicapai BRI.
Misalnya salah satu prestasi BRI adalah menjadi satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang berhasil masuk dalam Brand Finance Global 500 2024.
Dalam laporan Brand Finance Global 500 2024, BRI menempati peringkat 446 dunia.
Ketika ada kompetisi dan kompetitor ingin berbuat curang maka dibutuhkan black campaign.
Berita hoaks yang ditujukan kepada BRI dapat saja diartikan sebagai black campaign untuk menjatuhkan BRI oleh kompetitor bisnisnya.
Istilah "buzzer" biasa digunakan untuk menunjuk kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara aktif menyebarkan informasi palsu, provokatif, atau negatif secara massal melalui media sosial atau platform online lainnya.
Buzzer biasanya digunakan dalam black campaign untuk menyebarkan pesan-pesan yang bertujuan merusak reputasi lawan politik, perusahaan, atau individu tertentu.
Buzzer sering kali digunakan untuk mempengaruhi opini publik atau menghasilkan persepsi yang negatif terhadap target tertentu.
Mereka dapat menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau menyesatkan, menciptakan konten provokatif atau berbau kebencian, serta menggunakan berbagai taktik manipulatif lainnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Tentunya praktik menggunakan buzzer dalam black campaign merupakan pelanggaran etika dan hukum, terutama jika informasi yang disebarkan bersifat fitnah atau merugikan pihak lain.
Oleh karena itu tidak akan gampang mengungkapkan adanya konspirasi dan kontrak legal antara buzzer dan pihak penyewanya (actor intellectual).
Apabila memang bisa membuktikan bahwa akun-akun yang menyebarkan hoaks terhadap BRI merupakan buzzer yang disewa kompetitor BRI, berarti dalam hal ini telah terjadi praktik persaingan usaha yang tidak sehat di bisnis perbankan.
Pihak yang menggunakan buzzers untuk persaingan yang tidak sehat bisa dijerat juga dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli).
Kompetitor busuk seperti itu bisa dikenakan sanksi berat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), termasuk mensuspense izin-izin usaha perbankan yang dimilikinya.
Atau alternatif lain, ini merupakan modus jahat dari spekulan saham dengan cara menyewa buzzer.
Sebagaimana kita ketahui saham BRI listing di Pasar Modal Indonesia. Dengan adanya issue bahwa ada Rush Money di BRI maka saham BRI Menjadi jatuh nilainya, sehingga saatnya para spekulan membeli saham BRI.
Kemudian pada waktunya ketika setelah masalah mereda karena ternyata Rush Money terhadap BRI hanya merupakan hoaks, saham BRI naik lagi, maka saatnya spekulan menjual saham yang dimilikinya.
Modus demikian tentunya merupakan cara curang untuk mendapatkan keuntungan capital gain dari Perdagangan saham di Pasar Modal.
Pihak-pihak yang terkait, harus mengamati modus-modus yang bisa saja dilakukan para spekulan dan harus memikirkan bagaimana cara mengatasinya agar semua Lembaga keuangan bisa dipercayai untuk bisa menyokong ekonomi Indonesia tumbuh dengan benar.