Oleh Handra Deddy Hasan
Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia untuk Pemilihan Presiden/Wakil, Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat-DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah usai. Rakyat telah melaksanakan haknya untuk menentukan secara bebas pendapatnya berupa mencoblos/memilih dalam surat suara Pemilu pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024.
Hal ini merupakan pengejawantahan apa yang dimaksud dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan,
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.
Oleh karena itu Asas Pemilu di Indonesia adalah Luber Jurdil merupakan kependekan dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Asas Pemilu ini saling melengkapi, menciptakan fondasi yang kokoh untuk melibatkan masyarakat secara langsung dan menyeluruh dalam proses demokrasi.
Kebebasan berpendapat yang terlihat secara spesifik dengan memberikan hak suara dalam proses Pemilu merupakan refleksi hak setiap individu untuk menyatakan pendapat, gagasan, atau keyakinan mereka tanpa takut akan penindasan, penahanan, atau hambatan dari pihak lain, termasuk pemerintah.
Prinsip kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar utama dalam masyarakat demokratis dan dianggap sebagai hak asasi manusia yang fundamental.
Kebebasan berpendapat membuat seseorang memiliki kebebasan untuk menyatakan pandangan politik (memilih dalam Pemilu), agama, atau ideologi mereka tanpa takut akan represi atau ancaman dari pihak manapun.
Hal ini juga mencakup hak untuk mengkritik pemerintah atau institusi, serta untuk menyuarakan pendapat yang mungkin kontroversial atau tidak populer. Misalnya dengan mengawasi jalannya proses Pemilu, melihat dan mencatat kecurangannya, mengkritik dan mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hak-hak demikian juga dijamin oleh Undang-Undang melalui jalur legal dengan melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan/atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, perlu untuk diingat bahwa kebebasan berpendapat juga memiliki batas-batas tertentu, seperti larangan terhadap penyebaran kebencian (hate speech), diskriminasi, atau penyebaran informasi palsu (hoaks) yang dapat menyebabkan kerusakan atau membahayakan orang lain.
Di media sosial masih banyak kita lihat hak kebebasan berpendapat ini digunakan kebablasan dengan melakukan ujaran kebencian (hate speech), diskriminatif atau menyebarkan informasi palsu (hoaks).
Sebagaimana kita ketahui, dalam kebebasan berpendapat, terdapat tanggung jawab bersama untuk menggunakan hak tersebut dengan bijak secara bertanggung jawab.
Seharusnya siapapun menyadari bahwa kebenaran, bukanlah eklusif dimiliki oleh seseorang/kelompok/golongan. Oleh karena kebenaran itu relatif sifatnya, sehingga seharusnya kita juga membuka hati untuk mendengarkan, walakin ngotot merasa benar sendiri.
Memaksakan kebenaran sendiri dengan membabi buta dengan melampiaskan dengan caci maki, rasis dan menyebarkan hoaks bukanlah merupakan langkah bijak dan keluar dari prinsip kebebasan berpendapat.
Tujuan Kebebasan Berpendapat
Kebebasan Berpendapat yang kebablasan seperti memaki-maki dengan kata kasar dan tidak pantas terhadap Pasangan Calon (Paslon) yang bukan preferensi pilihan kita, bisa akan menjadi boomerang bagi yang melontarkan.
Menuduh Paslon pihak lain tanpa data konkrit dengan nada rasis, misalnya merendahkan etnis asal usul, memasalahkan agama yang dianut, bukanlah merupakan cara menyampaikan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.
Apalagi, apabila menyebarkan berita bohong (hoaks) seperti menyebarkan data hasil Pemilu (quick count, real count yang sedang berjalan) tanpa referensi yang benar, untuk hanya sekedar memuaskan nafsu takut dikatakan kalah, merupakan tindakan ilegal melanggar ketentuan.
Sehingga kebebasan berpendapat yang benar adalah kebebasan berpendapat yang patuh dengan batas-batas tertentu.
Batasan seperti larangan ujaran kebencian (hate speech), tuduhan diskriminatif, politik identitas atau penyebaran informasi palsu, merupakan batasan yang harus dipatuhi
Adapun kebebasan berpendapat yang dimiliki warga negara dan dilindungi oleh konstitusi senyatanya memiliki beberapa tujuan yang penting dalam sebuah masyarakat agar tercipta perdamaian.
Adanya batasan-batasan kebebasan berpendapat  tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak individu dari penyebaran ujaran kebencian (hate speech) atau tindakan yang merugikan, diskriminatif, atau berbahaya bagi kelompok atau individu yang dituju.
Dengan demikian, kebebasan berpendapat yang dibatasi ini membantu menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Batasan-batasan tersebut dapat membantu mempertahankan kedamaian dan mendorong toleransi di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Hal ini penting untuk mencegah konflik serta memupuk rasa saling menghormati di antara anggota masyarakat yang memiliki latar belakang, agama dan  keyakinan, serta identitas yang beragam.
Adanya batasan terhadap penyebaran informasi palsu bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran berita palsu, hoaks, atau disinformasi. Hal ini berguna untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang akurat dan dapat dipercaya serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, kebebasan berpendapat yang diiringi dengan batasan-batasan tertentu memiliki tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan umum, serta untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut digunakan secara bertanggung jawab demi kebaikan bersama.
Sanksi Hukum Bagi Pihak Yang Melakukan Kebebasan Berpendapat Yang Kebablasan.
Kebebasan berpendapat yang kebablasan selain tidak elok juga berpotensi bagi pihak yang melakukannya melanggar hukum dan bisa dikenakan sanksi hukum pidana penjara dan denda.
Melakukan ujaran kebencian (hate speech) merupakan pelanggaran hukum. Ujaran kebencian diatur dalam Pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A ayat 2 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Â tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pelanggaran terhadap aturan mengenai ujaran kebencian dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
UU ITE memberikan rambu-rambu untuk kebebasan berekspresi, sehingga perlu diperhatikan masyarakat untuk menggunakan hak-hak tersebut secara bertanggung jawab dan menghindari menyebarkan ujaran kebencian atau konten yang melanggar hukum.
Di Indonesia, larangan terhadap ujaran rasis dan politik identitas diatur dalam berbagai undang-undang.
Selain diatur dalam UU ITE juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU SARA).
Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi setiap orang dari tindakan diskriminasi ras dan etnis. Penyebaran ujaran rasis atau tindakan diskriminatif berdasarkan ras dan etnis dapat melanggar UU SARA.
Khusus bagi kalangan pers juga diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Peraturan ini mengatur tentang larangan terhadap konten yang memuat ujaran kebencian, rasis, atau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Sementara untuk aturan yang mengatur berita bohong atau hoaks selain diatur dalam UU ITE terdapat juga dan khusus bagi pers berlaku juga  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU PERS).
Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong antara lain ;
Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.