oleh Handra Deddy Hasan
Pembuatan dan/atau mengedarkan uang palsu merupakan tindak pidana yang melanggar aturan pidana dalam suatu negara. Di Indonesia membuat dan atau mengedarkan uang palsu termasuk tindak pidana kejahatan yang diatur pada pasal 244, 245 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jadi selain meniru, membuat uang palsu merupakan tindak pidana yang bisa dihukum, membelanjakannya atau mengedarkannya di masyarakat juga merupakan tindak kriminal yang bisa dikenakan sanksi penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.
Dalam pasal 36 ayat (3) Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan bahwa
"Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah)."
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya mengungkap kasus peredaran mata uang asing palsu senilai 392.200 dollar Amerika Serikat atau senilai Rp 5,85 miliar. Polisi saat ini masih menyelidiki kasus asal pembuatan uang palsu tersebut.
Pada penungkapan kasus pertama tanggal 28 April 2023, Polisi menyita 30 lak atau 2.822 lembar uang pecahan 100 dollar AS dan pada pengungkapan kedua tanggal 9 Mei 2023 Polisi lagi-lagi menyita 10 lak atau 1.000 lembar uang pecahan 100 dollar US, sehingga total jumlahnya 392.200 dollar US. (Kompas, Sabtu 20 Mei 2023).
Memang belum ada informasi yang mendukung klaim bahwa di Indonesia terjadi money politics dengan menggunakan uang palsu secara luas (masif). Namun menggunakan uang palsu untuk money politics merupakan keuntungan berganda bagi pelaku. Selain digunakan untuk membeli suara untuk keuntungan pribadinya secara curang, juga memperoleh imbalan lebih murah karena menggunakan uang palsu.
Money politics adalah merupakan praktik penggunaan uang secara tidak sah atau tidak etis dalam proses politik, seperti pemilihan umum, untuk mempengaruhi pemilih atau calon pemilih. Biasanya, ini melibatkan penyuapan atau pembelian suara.
Money politics termasuk tindakan yang dilarang dalam proses pemilihan umum yang demokratis dan fair, sehingga dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Apabila seorang kontestan dalam pemilihan umum terbukti menggunakan praktik money politics selain akan dijerat dengan pidana juga mempunyai konsekwensi akan didiskualifikasi oleh Lembaga Pemilihan sebagai kontestan. Dengan didiskualifikasi otomatis pelaku money politics akan tersingkir dari peserta pemilihan umum.
Meskipun dalam beberapa kasus mungkin terjadi praktik korupsi atau penyalahgunaan keuangan dalam konteks politik di Indonesia, termasuk dalam pemilihan umum, tidak ada bukti konkret atau laporan yang menunjukkan adanya penggunaan uang palsu dalam skala yang signifikan dalam praktik money politics di negara ini.
Walaupun dalam kenyataannya belum pernah terbukti modus menggunakan uang palsu dalam money politics secara masif bukan berarti tidak pernah terjadi. Penggunaan uang dalam money politics sangat efisien bagi kejahatan pemilihan umum. Selain mendapatkan suara ilegal dengan membeli suara juga mendapatkannya dengan harga murah, karena nilai uang palsu pasti dibawah nilai harga uang asli. Pihak yang menjual suarapun biasanya karena kurangnya pengetahuan tentang uang, biasanya telat menyadari bahwa uang yang diterimanya dalam transaksi jual beli suara adalah palsu.
Keuntungan lain bagi pelaku praktik money politics adalah ketika pihak penjual suara menyadari bahwa yang diterimanya uang palsu, biasanya tidak akan melaporkan bahwa dia menerima uang palsu. Penjual suara atau penerima suap cenderung diam karena transaksi penjualan suaranya merupakan transaksi yang dilarang dalam pemilu, apalagi bisa-bisa dituduh sebagai pihak yang mengedarkan uang palsu.
Dengan skenario demikian, praktik jual beli suara (money politics) menggunakan uang palsu dalam pemilihan umum merupakan lingkaran setan yang tertutup rapat dan sukar terendus oleh aparat keamanan. Makanya walaupun dalam skala kecil pernah ada money politics menggunakan uang palsu di Indonesia namun secara masif masih berupa dugaan sementara (berupa hipotesa).