Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Solilokui Secangkir Kopi

19 Juli 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 180 0

Sebuah sore dan secangkir kopi

Sore itu langit tak secerah biasanya. Udara seperti bercampur uap air yang menandakan mendung menegosiasi musim ini.

Seperti biasa, dua orang pemuda itu duduk berbincang di depan kamar kostnya. Melantunkan nadanada sumbang tentang nasib hidupnya. Tapi kembali lagi pada sore yang tak biasa ini. Suasana ceria yang dibangun dari nyanyian kedua pemuda tadi sepertinya tertutup kekalutan dan sunyi seperti menyayat dalam hening. Namun kedua pemuda itu seakan melawan takdir. Mereka semakin menyanyi dengan kerasnya, seperti menantang kenyataan. Mereka seakan lupa bahwa ;wayang takkan mampu melawan titah sang dalang-jika wayang melawan kehendah dalang: maka wayang itu akan robek. Kata itu seperti merasuk dalam hati pemuda itu. Alam bagaikan menghening dan sesaat nampak mati. Seorang pemuda tiba-tiba berkata “aku melihat kekalutan disini; didepan kita, atau mungkin dirumah ini”. Pemuda lainnya manyanggah “ah…mungkin mendung merenggut senyuman senja sore ini. Jadi kau merasa kalau mendung telah merampas sepotong senyumu”, memang di jaman modernseperti saat ini logika bertahta di atas Tuhannya. Dimana dunia dipandang objektif dan tuhan ditafsirkan subyektif dan seakan-akan hanya sebagai pelengkap saja.

Memang dalam hidup manusia hanya bisa menerima. Semua hanyalah titah sang dalang yang mengawali dan MAPAKKE wadag manusia.

Sekian.

Sepotong senja pada minggu 17 juli 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun