Ayah Ragil adalah seorang petani, penggarap sawah milik keluarga bekas kepala desa setempat, yang sejak 2017 lalu, sudah beralih kepemilikan.
Berpindah tangannya lahan yang biasa digarap Pak Slamet ini, membuatnya sudah tak lagi diperkenankan menggarap lahan tersebut. Konon, lahan bekas sawah tadi, rencananya akan dijadikan villa berikut tempat wisata.
Oleh sebab itu, Pak Slamet kini hanya mengandalkan kemampuannya mengajar mengaji, sebagai satu-satunya mata pencaharian.
Murid-muridnya adalah anak-anak dari lingkungan setempat, totalnya ada 15 anak, dengan iuran yang ditarik sebesar lima ribu rupiah per-anak setiap minggu.
Cerita dari Ragil mengenai sang ayah, entah mengapa justru mengingatkan saya terhadap situasi dari salah seorang pemain depan Juventus yang memiliki nasib serupa. Namanya Mario Mandzukic.
Selama musim 2019-2020, Mario, sapaan akrabnya, belum sekalipun dimasukkan ke dalam skuad Il Bianconeri di ajang manapun. Jangankan sebagai pemain cadangan, nama Mario bahkan sudah tak lagi diikutsertakan dalam sesi latihan klub, sepanjang musim ini berjalan.
Situasi yang tengah menimpa Mario memang sangat bias. Baik pihak klub, maupun dari pihak Mario sendiri, sama-sama enggan bersuara mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Media seolah dibiarkan berspekulasi mengenai nasib penyerang bernomor punggung 17 ini.
Padahal, di musim-musim sebelumnya, ujung tombakTimnas Kroasia ini merupakan salah satu pemain kunci dan kerap menjadi pembeda di lapangan.
Saat bergabung pertama kali di musim 2015-2016, misalnya, lini depan Juventus nyaris hanya diisi oleh para pemain muda yang minim jam terbang. Dybala, yang antara lain itu, masih sangat 'hijau'. Sementara Alvaro Morata, masih sulit menemukan konsistensi.
Tetapi berkat kematangan dan pengalaman Mario, lini depan Juventus menjadi tetap begitu ditakuti. Mengingat, klub asal Turin itu baru saja ditinggal oleh Carlos Tevez dan Fernando Llorente. Kehadiran Mario terlihat sekali telah menambah kepercayaan diri bagi rekan-rekan mudanya di lini depan.
Memasuki tahun keduanya di Juventus, Mario kembali dihadapkan dengan kedatangan salah satu striker terbaik di Italia, Gonzalo Higuain.
Keberadaan Higuain memang sempat membuat Mario kerap dibangkucadangkan. Meski peran yang dimainkannya tetaplah krusial. Mario kerap membuat gol-gol penting yang memecah kebuntuan. Tak jarang. menjadi penentu kemenangan. Terutama saat Higuain mendadak 'hilang' di laga-laga besar.
Pada tahun itu juga, Mario berhasil membawa Juventus berlaga di partai puncak Liga Champions melawan Real Madrid. Meskipun berakhir dengan kekalahan, namun Mario tetap bisa berbangga hati, sebab di antara rekan-rekannya yang lain, hanya dirinya lah yang bermain dengan sangat spartan. Bahkan gol salto yang dicetaknya kala itu, dinobatkan sebagai gol terbaik di musim 2016-2017.
Di musim berikutnya, Juventus terus didatangi beberapa tenaga baru di lini depan. Nama-nama seperti Douglas Costa, Frederico Bernardeschi, serta Marko Pjaca, menjadi deretan nama yang kian berpotensi menggusur posisi Mario. Dan lagi-lagi, Mario tetap berhasil menjawab tantangan, dengan terus tampil konsisten setiap kali ia diturunkan.
Musim tersulit Mario di Juventus, justru datang di musim 2018-2019. Ketika itu, Juventus baru saja kedatangan sang mega bintang, Cristiano Ronaldo dari Real Madrid.
Sempat diisukan akan dijual ke klub Bundesliga, di luar dugaan, Mario justru dipertahankan di skuad besutan Massimiliano Allegri. Sementara rekan setimnya, Gonzalo Higuain, harus rela dipaksa angkat kaki, bergabung dengan AC Milan.
Kehadiran Ronaldo membuat sang juru taktik Juventus ketika itu, Massimiliano Allegri, terpaksa bereksperimen dengan mengubah-ubah posisi pemain, guna mengoptimalkan peran Ronaldo. Tak terkecuali posisi Mario.
Mario yang biasa ditempatkan sebagai penyerang tengah, terpaksa digeser posisinya menjadi penyerang sayap. Ketika Juventus tengah melakukan serangan, Mario bertugas sebagai pemantul bola ke lini tengah, maupun melakukan direct passing ke Ronaldo.
Ketika Juventus dalam posisi bertahan, Mario diharuskan turun ke belakang, melakukan pressing sampai ke tengah, sehingga memudahkan rekan-rekannya dalam merebut bola kembali.
Peran ganda yang baru pertama kali dijalani Mario itu, rupanya tak membuatnya kikuk sama sekali. Justru sebaliknya, ia tampak begitu lugas menjalani perannya yang baru.
Berkat performa apiknya sepanjang musim, Juventus bisa sukses mempertahankan gelar juara liga yang ke-8 secara berturut-turut. Bahkan lewat andilnya pula, Cristiano Ronaldo, berhasil meraih torehan predikat top skor klub di musim pertamanya.
Bukan Mario yang kehilangan Juventus. Tetapi sebenarnya Si Nyonya Tua-lah yang akan kehilangan Mario.