Ceritanya, kemarin saya mendapat tugas menonton seni tradisi ketoprak di Taman Ismail Marzuki (TIM). Serunya, pertunjukan kali ini dimainkan oleh para bankir dan pejabat keuangan. Tentang pertunjukkan ini mungkin akan saya ceritakan lain waktu.
Selesai menonton pertunjukan, saya pulang naik KRL menuju Pasar Minggu. Jam di Hp saya menunjukkan sudah sekitar pukul 24.00 WIB. Saya beruntung mendapatkan KRL terakhir malam itu. Namun, saya tidak beruntung untuk mendapatkan angkot pulang ke kos.
Angkot 36 yang saya tunggu tidak juga datang. Sempat terpikir untuk naik ojek, namun saya takut salah pilih dan dapat begal. Kebetulan, beberapa waktu lalu sempat ada kasus begal di Pasar Minggu.
Sembari menunggu angkot datang, saya memutuskan berjalan kaki dulu. Namun, angkot yang saya tunggu tidak juga datang. Karena hari semakin mendekati pagi, saya memutuskan naik taksi. Taksi apapun, seadanya, pikir saya.
Saya menghampiri satu di antara beberapa taksi yang mangkal. Taksi putih berlambang huruf E. Track record-nya lumayan lah. Saya sudah masuk, taksi berjalan cukup pelan. Mungkin salah saya di sini. Saya seharusnya menyepakati harga dulu di awal.
Setelah taksi berjalan sekitar dua meter, pengemudi taksi berkata, “Tarif biasa aja ya mbak?”
“Oh nggak pakai argo, pak?”
“Biasa mbak taksi mangkal,”
“Kalau nggak pakai argo jadi berapa pak ke Pedjaten Barat?”
Saya menyebutkan lokasi tempat saya berhenti. Saya perkirakan tarif argonya tak lebih dari Rp 10 ribu.
“Cepek,” kata dia.
Walau lumayan lama di Jakarta dan sudah sering mendengar istilah mata uang di sini, saya tidak juga hafal. “Cepek tu berapa, Pak?”
“Mbaknya orang mana?”
“Jawa Pak,”
“Oh dari Jawa? Cepek mbak,”
“Iya cepek tu berapa? Rp 10 ribu?”
“Seratus ribu, mbak,”
“Ah becanda bapak ini. Cuma sampai situ doang masak Rp 100 ribu?”
“Udah biasanya segitu mbak,”
“Ah becanda. Nggak-nggak. Saya turun aja Pak, saya cari taksi lain aja yang pakai argo,” kata saya sembari membuka pintu.
Ia tak tampak hendak menghentikan saya. Saya pun melambaikan tangan ke taksi biru bergambar burung yang lewat tepat waktu.
“Woi woi woi,” teriak teman-teman pengemudi taksi beberapa meter di belakang saya. Saya jadi merasa diteriaki preman. Saya pun buru-buru masuk ke taksi biru.
“Selamat malam, mbak.”
“Malam, Pak. Pakai argo kan?” Tanya saya memastikan.
Setelah yakin, saya pun masuk. Pengemudi itu sempat menanyakan kenapa saya keluar dari taksi sebelumnya. Saya pun bercerita bahwa mereka meminta tarif seratus ribu sampai ke tempat yang saya minta.
Alhamdulillah, pengemudi ini mengantarkan saya tanpa banyak cing-cong. Hingga turun, argo menunjukkan angka Rp 9.100. Sembilan ribu seratus dibandingkan seratus ribu jaraknya bagaikan kos ke stasiun Gambir!
Saya jadi berpikir ada beberapa kemungkinan dalam cerita itu. Pertama, pengemudi taksi itu tidak tahu tempat yang saya maksud dan asal menentukan harga. Aneh juga sih, sebab tempat yang saya tunjuk lumayan dekat, seharga argo taksi Rp 9.100. Kemungkinan kedua, dia hendak menempeleng saya sebab mengira saya tidak tahu daerah sekitar situ. Apalagi saya mengatakan berasal dari Jawa. Ketiga, pengemudi itu memang tidak tahu aturan.
Walau banyak yang menyarankan untuk naik taksi tanpa argo, sampai sekarang saya lebih nyaman menggunakan argo. Pertama, sesuai aturan. Semua yang sesuai aturan cenderung lebih mudah diselesaikan jika terjadi perkara, sebab sudah ada standard of procedure alias SOP-nya. Halah malah bahas SOP. Kedua, saya tidak terlalu pintar negosiasi. Saya tidak tegaan. Menawar sandal atau buah di pasar saja tidak tega kalau penjual sudah bilang tidak boleh. Karena itu saya tidak bakat dengan ketentuan harga yang tidak pasti. Ketiga, tentu saja seperti cerita di atas. Banyak pengemudi taksi tidak jelas dan menentukan tarif asal-asalan, apalagi jika ia tahu kita bukan orang yang familiar dengan tempat itu.
Itu salah satu cerita saya naik taksi. Cerita kamu bagaimana?