link
Sebagai Etikawan, saya kira Frans Magnis harus bilang demikian. Kalau ada 10 atau 20 capres, satu persatu akan dinilai rekam jejaknya, tak peduli ada yg lolos memenuhi kriteria yg baik atau tidak. Bisa jadi ke-20 capres gugur. Kalau diminta menunjuk siapa yg patut jadi capres, bisa jadi ia akan memilih tokoh muda, seorang pemimpin yg baik tp sesungguhnya tidak banya dikenal. Tidak dikenal berarti tdk akan terpilih. Tapi itu bukan urusan etikawan, elektabilitas bukan wilayahnya. Frans Magnis menambahkan, popularitas saja tidak cukup. Blusukan tidak menyelesaikan masalah Indonesia. Perlu visi misi negara ini dibawah kemana.
Akhirnya kita sadar, tiap orang punya preferensi & cara pandang. Sebagai capres yg baru kemarin ditunjuk, masih berstatus gubernur aktif, sebenarnya terlalu dini utk terlalu mengumbar janji sblm pemilu 9 april. Suara Frans Magnis memang tdk perlu didengar seluruhnya. Hitungan & logika dia berbeda. Siapa tahu, sbg rohaniawan salah satu kelompok minoritas di Indonesia, dia merasa perlu menjaga jarak dg kekuasaan & bersikap netral. Selain semestinya, Ini citra yg bagus utk umatnya dan umat lain. Jangan sampai terlihat semua mendukung lalu nampak lebay.
Frans Magnis bukan politikus. Ia bisa menilai seorang pemimpin ingar janji, tentunya juga akan menilai pemimpin lain yg ingkar Sapta Marga & 8 wajib prajurit. Mestinya ia juga memberi komentar terhadap Capres yg ingkar setia pernikahan. Dia hanya bicara, apa yg semestinya tapi tidak bicara bagaimana semestinya dg pilihan yang ada.
Mengeluarkan visi misi bagi Jokowi saat masih aktif sbg gubernur bukan langkah politik yg bijak. Capres partai masih ditentukan pileg 9 april nanti. Untuk sekarang ini, rakyat lebih butuh rasa aman bhw di pilpres nanti ada tokoh yg mereka kenal dan percaya, sosok yg memberi harapan dan selama ini lebih banyak bekerja dibanding mengumbar kata-kata. Lain-lain bukan hal yg mendesak. Utk sebagian besar masa, kampanye adalah soal goyang ndangdut dan peraga pencoblosan yg sesekali ditimpali guruan nyrempet-nyerempet. Visi misi perlu utk segelintir kaum elit dan tentunya terbuka pada waktunya, sama seperti pilkada DKI lalu. Masing-masing bisa membaca dan membandingkan visi-misi antar cagub. Sekarang, itu bukan hal yg mendesak. Terlebih kita sudah kenyang dg janji, mimpi, visi-misi dari pemimpin yg bisa jd dinilai baik dalam ukuran Frans pd thn 2004, 2009 tp akhirnya semua itu dikangkangi, sambil terus beriklan di televisi & mengumbar janji untuk yg kesekian kali.
Namun, kunci artikel tribunnews di kalimat ini saya kira dipenggalan kalimat berikut "Kata seorang politisi juga harus bisa dipegang seperti janji dan komitmen. Tapi jika situasi berubah, maka semua bisa berubah," apakah munculnya Jokowi untuk mengantisipasi perubahan tsb? kalau ya, yg dbutuhkan adalah penjelasan.
Tentu kita bersyukur thd pendapat Frans Magnis. Pendapatnya membuktikan kita masih punya ketulusan hati nurani. Walau kalau cuma modal itu, politik sudah lama menemui jalan buntu.