Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Membakar Rokok Membunuh Kehidupan

19 Agustus 2014   18:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:08 71 0
Negara adalah sebuah rumah, dimana pemerintah adalah orang tua dan rakyat adalah anak-anaknya. Sebagai sebuah keluarga, sudah barang tentu  orang tua harus sekuat tenaga bekerja keras demi kesejahteraan anggota keluarganya, dalam wujud kesehatan dan pendidikan yang layak. Selain itu, pemerintah sebagai orang tua harus seoptimal mungkin mengupayakan keselamatan rakyat sebagai anggota keluarga dari bayang-bayang berbagai ancaman bahaya.

Sebagai isu kontemporer, selain penjajahan modal asing, kemiskinan, kebodohan, terorisme, dan korupsi yang merajalela dan kini menggerogoti Indonesia, rokok adalah sebuah fenomena unik yang layak dikedepankan.

Sedikit menyitir penyair Ceko, Milan Kundera, “perjuangan melawan rokok adalah perjuangan melawan kegilaan dan kebodohan”.

Bagaimana tidak, dengan kandungan lebih dari 4000 bahan berbahaya seperti nikotin (pembunuh serangga), tar (bahan aspal), karbonmonoksida dan hidrogen sianida (gas beracun), ammonia (bahan pembersih), arsenic (racun mematikan, yang dipakai untuk membunuh pejuang HAM: Cak Munir), dan senyawa radio aktif; tembakau atau asap rokok telah menabhiskan dirinya sebagai sebuah mesin pembunuh terbesar pada milenium ini.

Sejarah  dunia telah mengabadikan Adolf Hitler sebagai si gila Nazi yang melakukan kejahatan genosida terbesar; sedangkan sejarah bangsa ini, walau masih samar-samar, sudah mulai menyuarakan borok Orde Baru yang membantai jutaan kaum progresif di medio tahun 1960-an, kasus Talangsari, kejahatan rasial di masa-masa akhir kekuasaan Orde Baru, dan kejahatan-kejahatan HAM lainnya.

Namun, di sinilah letak kegilaan sekaligus lelucon terkonyol dalam sejarah umat manusia. Berbeda dengan kejahatan-kejahatan lainnya, rokok justru dilanggengkan, dan seolah-olah bukan sebuah masalah atau bahaya yang harus secara serius dan sungguh-sungguh diantisipasi. Bahkan, muncul para pembelanya, dan itu tak sedikit. Berbagai rasionalisasi ilmiah dan gaul (trendi) dilontarkan untuk melegitimasi peredaran rokok. Oleh berbagai macam kalangan, mulai dari profesor hingga para pengedar di tingkat terbawah. Padahal, anak SD pun tahu apa itu rokok dengan segala macam bahayanya.

Wilhelm Heinrich Posselt dan C.I. Reimann, ahli kimia tanaman Jerman, sejak tahun 1829 telah melaporkan bahwa tembakau (nikotin) bersifat toksik (racun) dan adiktif. Selain masalah ekonomi, bermacam-macam penyakit pun siap menyerang para perokok, baik aktif maupun pasif, antara lain; kanker, stroke, katarak, kebutaan, paru, lambung, ginjal dan ureter, rahim, kandung kemih, usus besar, pankreas, leukimia myeloid akut, trakhea, bronkhus, esofagus, orofaring, laring, periordontitis, aneurisma aorta, penyakit jantung koroner, pneumonia, aterosklerosis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asthma dan gangguan pernafasan lain, patah tulang panggul, gangguan reproduksi dan kesuburan.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa, tentu menjadi pasar yang masuk dalam kategori prioritas utama. Belum lagi ditambah dengan tak adanya regulasi yang ketat seperti pelarangan iklan ataupun penetapan cukai tinggi.

Berbeda dengan dedengkotnya negara kapitalis seperti Amerika Serikat yang membuat pelarangan iklan rokok di media, baik cetak maupun eletronik, dan di papan-papan bilboard. Sebaliknya di Indonesia, justru rokok bebas diiklankan di televisi, koran, papan reklame hingga ke desa-desa, dan bahkan di konser-konser musik.

Kapitalisme rokok telah menghegemoni ruang kesadaran publik bahwa rokok adalah kebebasan, petualangan, ataupun gaya hidup. Laki-laki yang tidak merokok akan dicap ‘banci’, sedangkan perempuan yang merokok akan dianggap sebagai modern, gaul, emansipasi, dll. Adapula yang berpendapat bahwa industri rokok adalah tentang kedaulatan dan keberpihakan pada industri lokal.

Padahal yang terjadi di lapangan adalah, pajak dari industri rokok sekitar 70 triliun, tetapi negara menghabiskan 250 triliun per tahun untuk pelayanan kesehatan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Ditambah lagi data meningkat pesatnya impor rokok, yang di tahun 2004 sekitar 44.000 ton (167 juta dolar), naik menjadi 81.000 ton (313 juta dolar) di tahun 2007. Sementara produksi lokal Indonesia Cuma 2,7 ribu ton.

Miriam de La Croix dalam Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer mengingatkan sahabatnya; “inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru, menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal”.

Toh tulisan maupun gambar peringatan bahaya akibat merokok sama sekali tak berpengaruh. Malah telah melekat sebagai sebuah paket kemasan identitas rokok. Tak lebih dari sebuah pencitraan dari industri para pembunuh.  Negara, sebagai orang orang tua justru ‘bermain dua kaki’ di sini. Di satu sisi seolah-olah menolak rokok, tapi di sisi lain menerima upeti dari industri rokok yang tentu saja merelakan rakyat atau anak-anaknya dibunuh di dalam rumahnya sendiri.

Sambutan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 29 September 2011 saat menerima kunjungan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau; “Goal kita sama. Spiritnya sama. Rakyat Indonesia harus selamat dan sehat. Jika tidak, mau jadi apa bangsa ini lima atau sepuluh tahun mendatang?” Tak lebih sebagai sebuah untaian kalimat diplomatis dan pertanyaan retorik khas politisi, sehingga tentu saja tanpa aksi. Cuma sebatas khotbah ritmis nan plastis minus praksis. Hal ini terbukti, di antara negara-negara Asia, Indonesia adalah negara yang tidak menandatangani atau mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), meskipun awalnya ikut menyusun rancangan FCTC.

Tentu saja regulasi tak serta merta mampu membunuh industri rokok ataupun pertanian tembakau. Namun, pemerintah harus mulai secara sungguh-sungguh mengupayakan kualitas kesehatan ratusan juta anggota keluarga Indonesia untuk mendapatkan udara bersih dan bebas dari asap racun nikotin.

Ajakan dari World Health Organization (WHO) pada negara-negara anggotanya untuk menerapkan strategi MPOWER sebagai upaya pengendalian tembakau, bisa dijadikan rujukan, antara lain; monitor prevalensi penggunaan tembakau dan pencegahannya, perlindungan terhadap asap tembakau, optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok, waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau, eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta raih kenaikan cukai tembakau.

Sayup-sayup seruan Tan Malaka seabad silam kembali berdengung; “kita tak boleh berunding dengan maling di rumah kita sendiri!”

Beranikah Presiden baru mengendalikan tembakau atau bahkan melarang peredaran rokok?

*******

Hancel Goru Dolu [Dante Che], 19/08/2014

@HancelGoruDolu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun