Salah satu negara bagian dari Britania Raya yaitu Inggris merupakan negara yang beribukota di London. Inggris menjadi salah satu negara di Eropa yang tergolong maju yang merupakan negara bagian terbesar dan juga terpadat dalam negara-negara bagian yang membentuk Britania Raya. Inggris menjadi negara dengan penduduk imigran terbesar di Britania Raya.
Penyebab Britania Raya Keluar dari Uni Eropa
Inggris yang merupakan bagian dari Britania Raya resmi menjadi bagian dari Uni Eropa pada 1 Januari 1973. Pada saat itu terjadi krisis minyak yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara Inggris mengalami penurunan. Bergabungnya Inggris dengan Uni Eropa memiliki tujuan untuk memperbaiki kondisi perekonomian negaranya. Hal yang menyebabkan Inggris menjadi tertarik untuk bergabung dengan Uni Eropa adalah karena Inggris melihat kesenjangan pendapatan yang cukup jauh antara Inggris dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Dengan diterimanya Inggris menjadi bagian dari Uni Eropa, maka Inggris harus melakukan penyesuaian tentang kebijakan-kebijakan yang diatur oleh Uni Eropa dan harus tunduk dengan kebijakan-kebijakan Uni Eropa. Salah satunya adalah kebijakan tentang imigran, di mana dalam kebijakan ini Inggris harus membuka dengan lebar dan bebas garis perbatasannya sehingga imigran bisa dengan mudah memasuki dan menetap di wilayah Inggris. Namun, hal ini membuat Inggris kehilangan kontrol atas wilayah perbatasannya dan menyebabkan peningkatan yang sangat drastis dalam kasus arus imigran.
Pada perkembangannya, kebijakan yang diatur oleh Uni Eropa tidak selalu membawa pengaruh yang positif. Sistem pasar tunggal Uni Eropa memiliki dampak negatif di bidang ekonomi, yaitu terjadi resesi besar pada tahun 2008 sampai 2011 yang menunjukkan kerentanan negara-negara dalam zona euro terhadap kebijakan moneter umum. Selain itu, dengan diterapkannya visa Schengen justru menyebabkan keamanan negara menjadi terancam, diataranya yaitu meningkatnya kasus kriminalitas, dan krisis imigran.
Mudahnya akses imigran untuk masuk ke wilayah Inggris, baik dari wilayah Uni Eropa itu sendiri atau dari luar Uni Eropa yang diakibatkan oleh kebijakan imigrasi dan free movement persons memberikan dampak yang merugikan Inggris, karena hal tersebut membuat kian bertambahnya imigran dari negara anggota Uni Eropa ke Inggris yang disebabkan oleh adanya peluang yang besar dan bagus di Inggris.
Salah satu penyebab paling besar dalam masalah imigran adalah Belgia yang mengharuskan negara anggota Uni Eropa untuk membantu dalam penanganan imigran yang telah masuk ke Eropa. Sebagian imigran yang telah berada di Belgia dan Perancis, diberi perintah untuk dipindahkan ke Inggris dengan menggunakan jalur kereta api yang membuat jumlah imigran di Inggris semakin melampaui batas. Hal ini membuat kelompok pendukung Brexit berpendapat bahwa Inggris dapat mengatur perekonomian dan masalah domestiknya sendiri, termasuk masalah imigrasi.
Dalam kebijakan yang diterapkan Uni Eropa, imigran berhak untuk mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang sama dengan masyarakat di negara penerima, hal ini kemudian menyebabkan kecemburuam sosial bagi masyarakat Inggris. Masyarakat Inggris juga khawatir akan berkurangnya lapangan pekerjaan bagi warganya, serta peningkatan tindakan kriminal karena adanya latar belakang yang heterogen dari para imigran. Sehingga pada akhirnya terjadilah referendum untuk mengetahui opini masyarakat Inggris terkait keanggotaan Inggris dalam organisasi Uni Eropa.
Inggris mengadakan referendum terakhirnya pada 23 Juni 2016 setelah sebelumnya juga pernah mengadakan referendum pada 1975. Hasilnya 52% masyarakat Inggris setuju untuk keluar dari keanggotaannya sebagai bagian dari Uni Eropa.
Dampak Brexit Terhadap Imigran di Inggris
Pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa, pemerintah Inggris di bawah pemerintahan Perdana Menteri Theresa May merevisi kebijakan lama dan membuat kebijakan baru, khususnya tentang masalah imigran. May dan beberapa menteri kabinet mengatakan bahwa Inggris akan mengadopsi kebijakan yang mirip dengan kebijakan Australia tentang imigran. Beberapa dampak Brexit terhadap imigran di Inggris yaitu:
1. Akses imigran untuk masuk Inggris menjadi terbatas.
Seleksi terhadap imigran yang akan memasuki kawasan Inggris akan dilakukan dan harus melewati beberapa tahap uji jasmani maupun rohani atau psikis. Seperti di Australia, para imigran yang akan bekerja di Inggris harus memiliki visa kerja dengan berbagai kriteria seperti penilaian pengalaman lama waktu kerja, kualifikasi kapabilitas individu, dan juga seleksi umur. Bagi imigran yang memiliki tujuan untuk menetap secara permanen, wajib memiliki visa tinggal permanen dan harus lulus tahap uji kesehatan serta bebas dari virus seperti HIV dan AIDS. Apabila para imigran melakukan tindakan kriminal yang mengancam keselamatan jiwa warga negara Inggris, maka Inggris berwenang untuk mendeportasi imigran tersebut ke negara asalnya.
Imigran juga harus bisa berbahasa Inggris dengan lancar dengan score IELTS minimal 7.0 untuk semua bidang (speaking, listening, reading, writing). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para imigran yang masuk ke negaranya sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh industri pekerjaan yang sedang dibutuhkan oleh Inggris, sehingga tidak menjadi pengangguran yang ditakutkan nantinya akan menjadi awal dari tindak kriminalitas.
2. Skema Visa Berubah
Selama menjadi anggota Uni Eropa, warga negara dari sesama Uni Eropa dapat masuk ke wilayah kedaulatan Britania Raya, termasuk Inggris, tanpa visa dan begitu juga sebaliknya, karena adanya kebijakan kewarganegaraan bersama. Namun setelah Britania Raya keluar dari keanggotaannya sebagai bagian dari Uni Eropa, sistem pengecekan visa sebagai syarat masuk para imigran bukan bagian dari Uni Eropa, kemungkinan akan diterapkan juga kepada warga negara Uni Eropa yang masuk ke Inggris.
3. Imigran mengalami sasaran rasisme
Selain akses imigran yang menjadi terbatas, imigran yang merupakan kelompok minoritas di Inggris juga menjadi target rasisme. Imigran Polandia menjadi salah satu imigran yang mengalami rasisme, mereka di teror dengan lambang dan simbol yang berbau rasisme yang berisi ujaran kebencian. Bahkan Kantor Asosiasi Budaya dan Sosial Polandia dirusak dan ditempeli dengan slogan yang mengarah ke rasisme. Umat muslim yang menjadi imigran di Inggris juga merasakan rasisme, khususnya yang tinggal di kota Southampton ketika mereka akan melakukan Shalat Ied bersama namun harus dibatalkan. Mereka khawatir akan adanya demo dari sekelompok anti-imigran.
Inggris pada dasarnya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pengakuan atas HAM. Keputusan masyarakat Inggris untuk melakukan referendum dengan tujuan agar negaranya keluar dari keanggotaan Uni Eropa merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi, di mana rakyat memberikan hak suaranya untuk menentukan kebijakan yang akan digunakan di negaranya.