Penulis berkesempatan bertamu ke rumah Kang Tohari pada Sabtu, 17 Juni 2023. Ditemui di rumah budaya Carablaka, pria yang belum lama genap berusia 75 tahun ini asyik diajak berdiskusi beberapa problem sosial. Di antaranya politik uang. Berikut hasil wawanacara penulis (P)Â dengan Ahmad Tohari (AT).
P : Sejak kapan politik uang mulai menjangkiti masyarakat kita?
AT : Politik uang dimulai dari Pilkades. Pilkades sangat dipengaruhi oleh uang, baik uang dari calon kades maupun uang dari luar, yakni dari para botoh. Akhirnya pemilihan itu tidak murni, palsu. Dengan demikian juga keterwakilan rakyat oleh kekuasan desa jadi palsu bukan keterwakilan yang sebenarnya.
P : Lalu bagaimana pandangan Kang Tohari terhadap praktek politik uang?
AT : Setelah terjadi di desa, politik uang terjadi juga di tingkat yang lebih tinggi. Misalnya pilkada (pemilihan kepala daerah) dan terus ke atas, yakni pemilihan legislatif tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Sampai ke pilpres juga terjadi politik uang.
P : Apa dampak praktik politik uang bagi kehidupan demokrasi?
AT : Praktek politik uang merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Demokrasi berjalan prosedural, namun hakikatnya bukan demokrasi. Betul ada pemilihan, betul ketewakilan, ada partai politik, tapi itu semua seperti terputus dengan rakyat, dengan jiwa dan nurani rakyat terputus. Ya kasian, apalagi sekarang ini kita masih terbelenggu oleh feodalisme.
P : Praktik feodalisme seperti apa?
AT : Feodalisme yang saya maksud adalah banyak pejabat negara atau wakil rakyat kita seharusnya menjadi abdi rakyat, tetapi justru menjadi abdi kekuasaan. Jadi menurut saya, masih perlu beberapa kali proses pemilu untuk betul-betul menghasilkan pemilih dan pemimpin yang betul-betul berkualitas.
P : Apa saran Kang Tohari untuk menyudahi praktik politik uang?
AT : Menurut saya, untuk mengikis praktik politik uang adalah melalui jalur pendidikan, baik pendidikan umum, maupun jalur pendidikan politik. Harapannya, makin banyak orang terpelajar makin memahami esensi demokrasi. Juga dimulai menanamkan praktik berdemokrasi dari rumah. Dimulai dari orangtua tidak memaksakan kehendak terhadap pilihan sekolah terhadap anak, memberikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat atau berargumen. Dengan demikian, ada penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Bukan memaksakan pilihan. (*)