Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Himpunan Ini Sudah Tua, Sehingga Seringkali Sakit-sakitan

5 Februari 2021   17:16 Diperbarui: 5 Februari 2021   17:28 328 0
Oleh Iqbal Hanafi
Anggota Biasa Himpunan Mahasiswa Islam


5 Februari 1947 adalah penanggalan Masehi paling dikenang oleh para kader maupun alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga sekarang, baik itu kader atau alumni dari pihak HMI DIPO maupun dari pihak HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).

HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam pertama dan tertua di Indonesia dan saat ini sudah menginjak usia 74 Tahun serta juga telah melebarkan sayapnya dengan membuka cabang internasional yang diperuntukkan bagi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa Islam Indonesia yang berada di luar negeri. Juga tak sedikit pula kita kenali tokoh-tokoh besar di Indonesia saat ini seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Mahfud MD yang disegani karena kehebatan mereka dalam percaturan politik Indonesia sampai kepada aktivis HAM yang dikenal akan keberaniannya membela hak-hak buruh Indonesia sampai ajalnya tiba, Munir Said Thalib. Lalu, juga ada tokoh pembaharu Islam seperti Nurcholis Madjid yang juga dikaderkan di organisasi ini. Tak pelak, hal ini merupakan sebuah prestasi dan penghormatan sebesar-besarnya kepada organisasi HMI.

Berawal dari janin pemikiran seorang Lafran Pane yang sangat menaruh perhatian terhadap kemajuan Islam dan menginginkan kembalinya kejayaan Islam yang pernah ada di masa lampau dengan menghimpun seluruh mahasiswa-mahasiswa Islam Indonesia (tak perduli apa aliran Islam-nya) ke dalam suatu bentuk kesatuan ide yakni: Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia; Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, HMI terbukti mampu bertahan dan masih eksis di zaman sekarang ini hingga menjadi organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia.

Siapa yang tidak kenal HMI?

Kader-kader HMI dan alumninya itu sangat terkenal dengan julukan 'Singa Panggung'-nya disebabkan budaya-budaya dan kajian-kajian intelektual mereka baik di internal organisasi maupun di dalam kelompok masyarakat tempat mereka bernaung.

Para kader HMI juga dikenal akan militansi mereka hingga tak jarang sering dipercayakan sebagai motor penggerak suatu usaha mulai dari kepanitiaan kegiatan tingkat paling rendah sekalipun sampai pada motor penggerak dalam kontestasi tingkat tinggi seperti menjadi konseptor dalam pertarungan politik, menjadi ketua-ketua dalam setiap lembaga negara di Indonesia dan tidak lupa juga kerap ditunjuk untuk mengisi kursi-kursi menteri di pemerintahan.

Begitu kompleksnya dinamika dan sistem perkaderan di organisasi ini membikin orang-orang diluar sana kepincut dan memuji prestasi yang dimiliki oleh kadernya. Tidak berlebihan narasi ini karena memang sangat sering saya temukan orang-orang di luar HMI yang banyak belajar dan bahkan sampai mengaku-ngaku sebagai kader HMI sebab orientasi tertentu.

Slogan-slogannya juga konkrit dan mudah pula untuk diingat-Yakin Usaha Sampai- biasa para kader menyingkatnya Yakusa.

Tapi, prestasi tinggal-lah prestasi!

Organisasi ini sudah amat tua dan usang. Banyak peristiwa yang dia saksikan dari masa orde lama sampai masa reformasi sekarang ini. Tentu banyak juga yang dia pelajari. Banyak pula strategi yang diterapkannya. Satu lagi, juga banyak pemikiran-pemikiran yang diserap oleh kader-kadernya.

Seperti yang saya singgung di awal, ada HMI DIPO dan MPO. Saya tidak ingin panjang lebar membahas sejarah dua HMI ini dikarena tidak terlalu hafal dan terliterasi rapi pengetahuan saya mengenai sejarah keduanya. Namun, yang ingin saya tekankan adalah dualismenya yang memecah kesatuan ide awal keberadaannya.

Sampai saat sekarang, kita sebagai kader HMI sangat sering mendengat diksi-diksi 'dualisme' baik itu di tingkat komisariat sampai pada kepengurusan pusat.

Sebagai guru di HMI, saya tidak bermaksud mencampuri wilayah struktural yang bukan merupakan ranah saya. Akan tetapi, saya perlu menyampaikan bahwa saya amat kecewa dengen efek 'domino' yang ditimbulkannya. Diksi-diksi semacam itu amat berpengaruh bagi kondisi psikologis perkaderan HMI saat ini hingga menyebabkan terdegradasinya budaya intelektual yang dulu begitu melekat pada diri kader HMI.

Diksi itu lantas menjadi doktrin tersembunyi yang paling diingat oleh kader kemudian melahirkan budaya baru alih-alih dinamika dalam lingkup organisasi lalu mengesampingkan budaya alaminya. Himpunan ini menjadi sering sakit-sakitan dan terlunta-lunta dalam perjalanannya.

Penjabaran 'Yakusa' pun juga mengalami dikotomi dalam maknanya. Hal ini adalah suatu ironi ketika manusia di luar sana sudah berbicara pada tataran global sementara kita kader "intelek" masih saja begitu tendensiusnya melakukan diskursus kekuasaan internal.

Tradisi intelektual di HMI saat ini sudah menjadi abstrak, diremehkan dan mulai bertahap ditinggalkan. Forum-forum jenjang training-pun juga hanya dijadikan sebatas formalitas belaka.

Saya memahami betul adalah suatu kewajaran jika sudah tua maka akan banyak nikmat yang hilang. Mungkin saja nikmat yang hilang itu adalah nikmat pemikiran. Tetapi, jika pemikiran itu masih berada ditempatnya lalu ditinggalkan begitu saja, maka perlu dipertanyakan. Apakah kita sedang memakai suatu bentuk entitas yang lain?

Saya jadi teringat dengan warning tersirat yang diucapkan oleh Lafran Pane. Umat Islan seringkali terlena dengan kejayaan mereka di masa lampau sehingga lupa bahwa pemikiran mereka sudah sangat jauh tertinggal dan terbelakan dengan kondisi zaman.

Kita kader HMI saking seringnya berbicara kontribusi dan bergontok-gontokkan di internal organisasi, sampai-sampai lupa tujuan awal dari organisasi ini. Materi-materi HMI juga hanya dijadikan sebagai panggung eksistensi untuk suatu kepentingan.

Terakhir, di momen Dies Natalis HMI ini saya ingin mengatakan bahwa: "Saya Bangga Menjadi Kader HMI". Karena bangga, maka tulisan ini saya buat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun