Agaknya, kebencian Ze pada keju sudah pada taraf fobia. Maklum saja, ia pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan dengan makanan olahan susu itu. Entah karena lapar, yang membuatnya sembrono, ia langsung mengambil sepotong keju yang ada di dalam lemari makanan tanpa mengecek kondisinya terlebih dahulu, dan lalu memakannya. Yuck! Keju yang waktu itu ia makan sudah lewat jauh tanggal expired-nya. Alhasil, setelah itu, perutnya terasa tidak enak. Dan, seolah-olah ada yang bergerak-gerak di dalamnya.
Jika kau pergi ke Psikolog dengan tujuan untuk menyembuhkan fobia atau mungkin waham, hal pertama yang ia ucapkan adalah, "lawan rasa takutmu sendiri!" Karena, sejatinya, mereka adalah penyakit mental yang obat sendiri tidak bisa menjamin kesembuhannya.
Tekad Ze untuk sembuh dari fobia sangatlah kuat. Pada awal usahanya, ia langsung memaksakan diri untuk memakan keju! Tetapi, belum sampai ditelan, ia sudah mengeluarkannya lagi. Dan, begitu seterusnya sampai dua minggu lamanya.
Pada acara ulang tahun kampus, Ze dikenalkan temannya dengan seseorang. Gadis berambut panjang nan hitam legam layaknya kayu Ebony itu sukses membuat hatinya tidak keruan bahkan pada pertemuan pertama. Dan, tidak disangka-sangka, Jime, nama gadis itu, ternyata juga menaruh hal yang sama pada Ze. Ah, memang tidak ada yang lebih membuatmu bahagia kecuali orang yang kau suka, ternyata juga menyukaimu.
Tidak perlu pendekatan lama-lama yang terkesan malu-malu kucing dan sok menunjukkan perhatian masing-masing, Ze dan Jime akhirnya berpacaran terhitung lima hari setelah pertemuan mereka. Ze merasa sangat bahagia. Selain mendapatkan sosok kekasih idamannya, setidaknya ia bisa melupakan sejenak usahanya untuk sembuh dari Tuorfobia.
"Kamu lapar, nggak?"
"Lumayan. Kamu mau makan apa?" tanya Ze pada Jime.
"Karena aku nggak lapar banget, aku mau makan cheese cake aja, lah. Tuh, kebetulan ada outlate-nya Breadtalk," ujar Jime seraya menunjuk.
Ze menelan ludah kering. Bagaimana ini? Duh, bisa rusak imejnya kalau Jime tahu ia punya fobia keju. Ia tampak gelisah mencari akal.
"Hei, hei, kamu mau ke mana, sih?" Jime menarik lengan Ze. Pasalnya, kekasihnya itu masih saja berjalan linglung. Padahal, mereka sudah di depan Breadtalk.
Jime menatap Ze dengan pandangan mengintimidasi. Terlihat sekali ada yang aneh. Perasaan, sebelum ia bicara ingin makan cheese cake, Ze masih kelihatan baik-baik saja. Tapi, lihatlah sekarang... Keringat seukuran jagung menyembul dari dahi Ze. Wajahnya yang putih bersih, kini sudah seperti hantu Ju On saja. Sangat pucat.
Jime memastikan keadaan Ze. Awalnya, ia berkilah kalau ia baik-baik saja. Tapi, kau tidak berlama-lama menyembunyikan bangkai, kan? Pasti akan tercium. Jime terus mendesak Ze agar berkata jujur. Dan, akhirnya Ze buka mulut juga.
"Hm, aku... Aku fobia keju," kata Ze dengan menambahkan cengiran di akhir perkataan.
"Astaga! Aku bahkan sangat menyukainya." Jime tertawa pecah. Ze merasa pipinya memerah. Masih mending kalau semisal fobia ketinggian. Lalu, bagaimana fobianya? Sungguh tidak keren...
"Kau sudah pernah ke Psikolog?" tebak Jime tepat sasaran. Ze mengangguk sekali.
"Ingat apa yang pertama kali disarankan?"
Ze kembali mengangguk. Jime bergumam, kemudian tanpa tedeng aling-aling, ia menarik paksa kekasih barunya itu masuk ke Breadtalk.
Kalau semisal ada penghargaan pasangan kekasih terbaik di universitasnya, mungkin Ze dan Jime bisa masuk nominasi. Pasalnya, mereka kerap terlihat bersama dan begitu manis dengan tingkah mereka yang apa adanya. Terkadang, juga terlihat konyol saat Jime menggoda Ze dengan keju kesukaannya. Ze seperti seorang gadis yang ketakutan pada binatang malang yang dibenci banyak orang saja, Kecoa. Hahaha!
Tapi, suatu hari yang tidak pernah Jime bayangkan, Ze tiba-tiba menjadi sangat marah padanya ketika digoda dengan makanan yang digemari tokoh Jerry si tikus itu.
"Cukup! Kalau aku benci keju, ya, benci!" Ze menyingkirkan tangan Jime dengan kasar lantas melayangkan tatapan tidak bersahabat. "Selama ini, aku sudah banyak mengalah. Menemanimu makan makanan olahan keju, memaksaku untuk memakannya, lalu saat kau membawanya pulang, membuat mobilku bau. Sudah cukup! Biarlah aku tidak bisa sembuh!" Ia lantas pergi begitu saja dengan langkah lebar.
Jime memerhatikan Ze sampai menghilang dari pandangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia yakin, Ze hanya sedang ada masalah saja. Tapi, sungguh... Ini waktu yang tidak tepat. Satu minggu lagi Ze ulang tahun, dan hubungan mereka sedang tidak baik.
Ya, meski kamu marah, aku nggak akan batalin rencanaku selama ini. Today you hate me, but, someday, you will love me, Jime membatin.
Benar saja, setelah kejadian itu, Jime dan Ze sama sekali tidak berkomunikasi. Jime sendiri juga enggan menanyakan masalah apa yang sedang Ze hadapi. Toh, kalau waktunya sudah tepat, kekasihnya itu juga akan kembali padanya untuk cerita. Lagi pula, Jime yakin kalau kado spesial darinya yang akan diberikan pada Ze besok, akan membuat Ze luluh.
"Selamat ulang tahun, Ze," kata Jime yang tiba-tiba hadir di hadapan kekasihnya itu. Ia nekat menemui Ze di fakultasnya.
Ze sendiri masih malu bertemu Jime. Kekhilafannya waktu itu memang sudah kelewat batas. "Nggak usah repot-repot," kata Ze kikuk setelah Jime meletakkan benda berbentuk persegi panjang yang terbalut kertas kado.
"Buka, Ze!" kata Jime tegas.
Mereka saling beradu pandangan sebelum akhirnya Ze membuka, yang dari bentuknya sepertinya lukisan itu.
"Bagaimana? Mirip tidak?" tanya Jime.
Ze tidak menjawab. Tapi, dari diamnya itu, sudah cukup menunjukkan kalau ia takjub. Sungguh, lukisan yang dipegangnya saat ini, mempunyai kemiripan 90 persen dengan lukisan Ida Skineves, pelukis dari bahan-bahan tidak lazim asal Norwegia.
"Kamu tahu alasan kenapa aku sering beli keju sama kamu? Ya untuk aku buat lukisan ini!"
Dada Ze serasa berdesir, hadir penyesalan. Ia yang sempat menganggap Jime egois, ternyata tidak seperti itu. "Membuat hal yang aku suka dengan apa yang aku benci." Ze bangkit dari duduk dengan menundukkan kepala. Ia lalu menempelkan pucuk kepalanya ke kening Jime. Sebagai sentuhan akhir, ia membelai lembut pucuk kepala gadisnya.
"Aku akan sangat merugi jika kehilanganmu. Mintalah apa pun agar kau memaafkanku."