Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Evanesce

13 Oktober 2014   15:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13 52 0
Pagi hari adalah saat di mana aku bisa merasakan pelukan darimu. Ketika kehangatan itu menyatu dengan tubuhku, aku bernapas dengan begitu hikmat seperti asap yang keluar dari bekas korek api. Melayang-layang di udara seperti kebahagiaan yang menguap dengan cantik.

Tak ada alasan lain yang bisa membuat ia bahagia kecuali lelaki itu.Lelaki yang sudah bersamanya sejak tiga tahun belakangan ini. Lelaki yang berhasil membuat ia beranggapan bahwa dirinya tak sendirian.

Ketika persetujuan tidak mendukung hubungannya dengan lelaki itu, kenyataan pahit bernama perpisahan pun mengakhiri hubungan mereka.Rencana matang juga memperkuat perpisahan itu.

Lelaki itu bernama Cho Kyu Hyun. Kini ia berada di Amerika setelah pernikahannya dengan wanita cantik anak teman orangtuanya bernama Shin Ae Ra. Meninggalkan Young So Hwan dalam kesendirian. Dalam tangisan.

“Ayah, kapan pulang?”

“Aku juga tidak tahu kapan tepatnya.Pekerjaanku masih banyak.Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa.Sewajarnya ‘kan aku bertanya seperti itu?”

So Hwan menjauhkan ponselnya dari telinga kemudian mengakhiri teleponnya sepihak dengan kesal.Kemudian, dari sepasang matanya keluar buliran bening yang sekarang sedang menetes dari pipinya.

Malam ini, ingatannya tiba-tiba saja memutar semua kenangan indahnya bersama Cho Kyu Hyun. Padahal, seharian ini ia berhasil untuk tidak memikirkannya. Tetapi tetap saja, itu hal yang sulit ia lakukan, terlebih tak ada yang disampingnya sebagai penyemangat.

“Ibu… aku rindu padamu.Bisakah kau datang dalam mimpiku?” ucap So Hwan.Ia menyenderkan tubuh pada tralis pembatas balkon rumahnya. Dadanya yang terasa sesak tampak naik turun saat buliran bening itu keluar tanpa ampun.Tak mengizinkan gadis itu untuk terlepas dari hal menyakitkan bernama kesedihan.

***

“Boleh duduk di sampingmu?”

Seorang gadis dengan buku di tangannya mendongakkan pandangan.Menatap seseorang yang baru saja memberikan pertanyaan untuknya.Gadis itu tak memberikan jawaban tetapi hanya memberi persetujuan dengan isyarat.Melirik kursi kosong disampingnya.

Sang penanya menaruh tas di meja lalu menarik kursi kemudian mulai mendudukinya.

“Bagaimana kabarmu? Lama tak bertemu.”

“Baik.Kau pun begitu, kan?” balas gadis itu seraya mengalihkan pandangannya dari buku.

So… tatapan matamu begitu nanar.Serasa ada desiran di dadaku.“Seperti biasa, kau selalu bisa menjawab sebelum aku menjawabnya.”Kim Jong Woon bergumam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya. “Lalu bagaimana kabar… Kyu Hyun?”

Tangan kanan So Hwan yang hendak membuka halaman selanjutnya terhenti. Dalam beberapa saat, ia merasakan tubuhnya kaku. Setelahnya, ia menelan ludah kering saat tubuhnya merasakan reaksi yang aneh. Tubuhnya terasa panas, tetapi dalam batinnya, ia merasa lemah.

“Untuk apa kau menanyakannya padaku?Aku jelas tidak tahu jawabannya!”

“S-So...” Jong Woon menyentuh pergelangan tangan gadis itu. Berjaga-jaga jika saja ia pergi darinya begitu saja; karena pertanyaannya membuat mata gadis itu terbelalak.

“Tenang saja, aku tidak akan pergi.Aku masih ingin di sini.”So Hwan mengalihkan tangan Jong Woon dengan kasar. Teman duduk gadis itu pun kemudian membatin seraya mengeluarkan bukunya dari dalam tas.

Bagaimana memberikan perhatian yang benar padanya?Dari dulu aku selalu salah.Perhatianku selalu membuatnya tak senang. Padahal, Kyu Hyun adalah orang yang dingin. Kenapa dia begitu menyayanginya?Tidak ‘kah aku orang yang ramah dan hangat?

“Kau tadi memancingku untuk menceritakan tentangnya, dan kau akan menghapus air mataku, kan?Kemudian kau beranggapan bahwa kau telah perhatian padaku.”

Jong Woon langsung menutup bukunya kemudian menoleh ke arah So Hwan.“Karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya.”

Tanpa kedipan, mata mereka bertemu.Kekesalan hadir pada diri Yesung—sementara So Hwan merasa bersalah.Sekejam itu ‘kah dia?

“Baiklah So, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa bilang saja ke aku.Dengan begitu, perhatianku akan benar, kan?”Tak perlu jeda yang lama, Yesung menyembar tasnya kemudian pergi begitu saja.So Hwan tak kuasa menahannya.Ia hanya bisa melihat bahu lelaki itu menjauh.

***

You cannot protect yourself from sadness without protecting yourself from happiness—Jonathan Safran Foer.

Why do people have to be this lonely? What’s the point of it all? Millions of people in this world, all of them yearning, looking to others to satisfy them, yet isolating themselves. Why? Was the earth put here just to nourish human loneliness?—Haruki Murakami.

“Hai, kenapa kau ada di sini?” Buku tebal dengan cover berwarna biru kehijauan itu terjatuh. Sang pembaca terperanjat dari duduknya.Ia tampak gugup saat seorang lelaki yang memasang wajah penuh senyum berada tepat di hadapannya.

“Bukumu terjatuh.”Setelah mengambil benda yang jatuh tepat di dekat kaki kanannya, lelaki itu memberikannya pada seorang gadis yang sedang mengusap-usap tengkuk.

“Tidak, bukankah itu bukumu?”So Hwan mengklarifikasi seraya menyentuh buku itu dengan telapak tangan.Kemudian, lelaki berambut hitam itu mengalihkan tangan gemetar dari tangannya kemudian menaruh buku itu di genggaman tangan gadis berkuncir kuda itu.Ia tak dapat berkata apa-apa setelahnya. Menatap Jong Woon dengan tatapan malu-malu.

“Buku itu sengaja aku tinggalkan agar kau baca. Kau membacanya sampai selesai, kan? Seminggu sejak pertemuan kita di perpustakaan, dan kau baru mengembalikannya padaku? Bahkan kau rela menunggu di depan fakultasku?”Jong Woon tertawa geli di akhir kalimatnya.

“Ada dua quotes yang aku suka. Pada halaman sembilan dan dua puluh empat.”Tawa Jong Woon terhenti seketika.Dan, saat itu So Hwan sedang menatapnya dengan pandangan serius.

“Coba buka halaman tujuh belas,” perintah sang pemberi buku.Karenanya, buku itu terbuka kembali siang hari ini. Setelah menemukan halaman yang ia maksud tadi, sang lawan bicara membacakannya dengan suara yang cukup keras.

“Kesedihan yang mendalam bukan karena seseorang memikirkan masa lalunya, tetapi karena seseorang memaknai masa lalunya.”Tak ada perbincangan setelah itu.Semacam kebodohan kini hadir pada diri gadis yang baru saja mengeluarkan suaranya. Benar,ia tak memikirkan masa lalunya. Tapi, ketika ada hal yang membuatnya sedih, ia selalu menghubungkan dengan masa lalunya.

Masa lalunya yang indah dengan lelaki itu teringat lagi ketika ia merasa kesepian. Pun saat ia merindukan sosok ibu yang selalu menyayanginya. Ia terlalu larut dalam kesedihan barunya—sehingga ia mengorek-orek masa lalu dan menyalahkan keadaannya sekarang. Begitu seterusnya yang terjadi pada hari-harinya.Harinya yang selalu merasa sedih.

“Kau bilang, kau suka quotes pada halaman sembilan dan dua puluh empat? Biar ku tebak, sembilan adalah tanggal lahir Kyu Hyun, kan?”Jong Woon memasang wajah penuh intimidasi.

So Hwan mengangkat wajahnya.“Kali ini kau bisa menjawabnya sebelum aku menjawab.”

Jong Woon meletakkan tangan kanannya di pundak So Hwan dan menatapnya intens.“So, coba rasakan kebahagiaan yang ada di sekitarmu.Bukankah kau memiliki banyak teman?Kenapa kau memilih menyendiri?Apa karena kau takut melupakan Kyu Hyun? Dengan begitu, kau tak akan bisa merasakan sosoknya lagi?”

“Tidak, bukan begitu.Bahkan aku berusaha untuk tidak memikirkannya.Jika aku berada di antara teman-temanku yang menyemangatiku, aku merasa… masa lalu itu membayangiku.Ya, dulu Kyu Hyun memang selalu menyemangatiku.”So Hwan menundukkan pandangannya kembali.Tangannya pun merasakan adanya tarikan yang mengajaknya untuk terduduk di kursi kayu panjang bercat kuning.

“Apa hal yang kau sukai?”Jong Woon memulai perbincangan lagi.

“Pagi hari.Udaranya sangat sejuk.”

Jong Woon bergumam. “Besok hari minggu, bagaimana kalau kita jalan-jalan ke tamanDadohae Haesang? Bangunlah pagi, tepat jam setengah enam, aku akan menjemputmu.”

Kata ‘iya’ sebagai persetujuan tak So Hwan ucapkan.Ia hanya terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk. Yesung pun begitu.Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika meninggalkan gadis itu. Ia hanya mengambil tas ransel berwarna peach yang masih So Hwan kenakan, kemudian mengambil sebuah buku dari sebuah tangan yang terasa dingin dan memasukkannya ke dalam tasitu.

***

“Ayah, kapan kau datang?”Mata sayu yang beberapa saat lalu baru terbuka kini melebar.Melihat seorang lelaki yang membelakanginya sedang membuka kulkas. Dan, sebenarnya sang pemilik matapun ingin membuka kulkas itu juga.

Sang ayah membalikkan tubuh dengan sebuah gelas berembun yang berisi air.“Sekitar lima belas menit yang lalu. Hari ini, minggu, kan? Kenapa kau bangun pagi sekali?” tanyanya setelah melirik jam dinding di ruang tengah rumah berkonsep Elektik itu.

“Aku ada janji ke taman dengan temanku.”

Lelaki bermarga sama dengan So Hwan itu mengerutkan kening. “Dengan siapa?”

“Dengan… Jong Woon,” balas anak gadisnya.

“Ada acara apa, tiba-tiba kau pergi dengannya? Seingatku, kau tidak akrab dengannya.Atau jangan-jangan…”

So Hwan membelakkan mata dan sedikit meninggikan intonasi bicaranya.“Ayah… aku dan dia tidak ada acara khusus. Kebetulan saja, kemarin dia mengajakku ke taman. Lagipula, aku sudah lama tidak ke sana.”

Pria paruh baya itu mengangguk-angguk.“Baiklah, semoga harimu menyenangkan.Ngomong-ngomong, kau tahu tidak kata-kata ibumu yang membuatu ayah bisa bersemangat lagi?”

Sang putri hanya menggeleng dengan wajah polos.

“Masa lalu adalah sesuatu yang ajaib.Tidak ada bentuknya tapi bisa memengaruhi kehidupan seseorang.Boleh saja kau mengingatnya; karena kau tidak punya Alzheiemer.Akan tetapi, jika kau tidak bisa membedakan di mana masa kau hidup sekarang, masa lalu akan menjadi benalu yang menarikmu dalam kesedihan.”Young Sam Dong meneguk airnya dengan hikmat—hingga suara tegukan itu terdengar jelas di telinga So Hwan.Menemani keheningan yang diciptakannya saat sedang mencerna kata-kata ayahnya barusan.

“Jangan melamun, segera bersiaplah.Jangan buat Jong Woon menunggu,” Sam Dong mengguncang bahu anaknya pelan.Setelah menyetabilkan dirinya, So Hwan pun mengambil air dalam kulkas, dan setelahnya bergegas mandi.

***

Aku harus membicarakan tentang apa? Aku benar-benar tidak akrab dengannya.So Hwan terusmemerhatikan Jong Woon yang sedang memejamkan mata dan merentangankan kedua tangannya. Hidung mancungnya sedikit kembang kempis saat udara sejuk pagi ini keluar masuk dari sana.

“So, kau bilang kau suka udara pagi hari.Kenapa wajahmu tidak terlihat senang?”

Gadis itu sentak menghentikan ayunan tangannya.“Aku menyukainya.Hanya saja ada yang sedang ku pikirkan.”Ia memberikan cengiran di akhir kalimat.

“Apa?Jangan-jangan tentang masa lalu.”Tebakan Jong Woon sangat akurat–yang membuat So Hwan dengan berat menganggukkan kepalanya sekali.

“Kenapa kau memikirkan hal percuma itu pagi hari seperti ini, heum?”Jong Woon mengacak rambut yang berkuncir kuda itu.Sang pemilik mencelos dengan menjauhkan tangan jahil itu.

“Hentikan!Aku tidak membawa sisir, bodoh!”

Wait, Wait… jangan kesal dulu seperti itu. Ayo kita melihat sunrise di sana,” ucap Jong Woon seraya menunjuk arah depan. Tak perlu menunggu gadis itu untuk melangkahkan kakinya. Jong Woon menarik tangan gadis itu dan berlari menuju tempat yang ia maksud tadi.

***

“Bagaimana?Tubuhmu terasa lebih hangat, kan?”

“Tentu saja iya,” balas So Hwan ketus.

“Sekarang rentangkan tanganmu, hirup udara dalam-dalam, dan pejamkan matamu. Ya, sama seperti yang aku lakukan tadi. Setelah itu ceritakan padaku apa yang kau rasakan.”

So Hwan memicingkan mata.“Kau aneh-aneh saja.”

Jong Woon mencubit pipi apel gadis itu dengan gemas.“Cepat lakukan, bodoh!Kau akan merasakan keajaiban nantinya.” Oh, ayolah… ini keadaan yang memalukan saat banyak pasang mata memerhatikanmu; karena keramaian yang kau lakukan di tempat umum. So Hwan akhirnya melakukan apa yang Jong Woon katakan.

Merasa lebih tenang.Itu yang pertama kali So Hwan rasakan. Dadanya terasa sejuk sama seperti udara pagi ini. Semakin lama, ia seakan menyatu dengan keadaan itu dan tubuhnya terasa ringan. Pikiran-pikiran yang tadi sempat membuat dadanya terasa berat, sirna seperti asap yang keluar dari bekas korek api.

Seperti… menguap?

So, pasti ada kesempatan yang akan mempertemukan kita. Yakinlah… sekarang berjanjilah bahwa kau akan menjadi gadis yang kuat agar saat kita bertemu, aku tidak akan melihat dirimu yang menyedihkan tanpaku. Kau bisa, kan?”

“Hangat,” ucap So Hwan saat kedua matanya masih tertutup.Ingatannya saat ini sedang memutar kebersamaannya bersama Kyuhyun—sebelumnya momen perpisahan itu muncul terlebih dahulu.

Jong Woon ikut tersenyum saat melihat wajah seseorang di dekatnya yang juga tersenyum. Lantas ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Pandangannya mendongak.Melihat langit yang biru bersih.Aku bisa melihat kesedihan itu menguap. Lenyap ditelan sang langit. Kemudian, langit juga memancarkan kehangatan dari sinar matahari sebagai penenang, batinnya.

“Kyuhyun…” So Hwan membuka matanya kembali.

“Ada apa dengan dia?”

“Dia seperti ada di sini.Dia seakan memelukku dengan erat.Tubuhku terasa hangat.Inikah keajaiban yang kau maksud tadi?”So Hwan menoleh ke arah Yesung.Lelaki itu membalas tatapan gadis itu dengan eye smile-nya seraya berkata ‘iya’.

“Bagaimana?Kau sudah bisa menyikapi masa lalu?” Tanya Jong Woon.

“Sepertinya sudah. Dua quotes dari buku itu, kata-kata ibu yang ayah ucapkan tadi, dan ini yang konyol. Udara pagi hari dan juga sinar matahari.”So Hwan terkekeh.

“A.” Mereka—So Hwan dan Jong Woon secara bersamaan akan angkat bicara. Namun, So Hwan mempersilahkan lelaki itu berbicara terlebih dahulu; karena memang sudah gilrannya, kan?

“Aku senang sekali kita bisa sedekat ini.Seperti mimpi, ku pikir.”

Hening.

“Oh, ya, lalu apa yang ingin kau katakan? So Hwan membalikkan tubuhnya.Jaraknya dengan Jong Woon terbilang hanya sejengkal. Napas lelaki itu yang menguap lantaran udara dingin pagi ini jelas ia lihat.

“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.Terima kasih juga kau telah memberi buku itu.Aku sangat menyukainya.”

“Penulis buku itu memang hebat, ya,” sanjung Jong Woon.

“Tidak.Tapi, sangat hebat.Hmm, mungkin ini hanya perasaanku saja.Aku merasa jika salah satu yang menulis buku itu adalah kau.Kau bisa dengan baik menghapal isinya.Saat aku berada di suatu kejadian tertentu, kau dengan sigap menyuruhku untuk membuka halaman tertentu yang berhubungan dengan apa yang aku alami.”

Jong Woon tertawa geli—hingga menelan mata sipitnya. “Waktu akan menjawab semua teka-teki itu, So.”

***

The Philosophy of Sadness.Dalam kurun waktu enam bulan, buku itu menjadi bestseller di Korea, dan bahkan sudah diterjemahkan dalam enam bahasa.Buku yang mengupas tentang masa lalu, juga kesedihan.Ada tiga penulis di buku itu. Marcus, Jeremy, dan Dylan. Dan, ketiga nama itu sebenarnya adalah nama pena.

Waktu akan menjawab semua teka-teki. Jadi, seseorang tak harus bersusah payah memecahkannya?Tuhan sudah ‘menurunkan’ orang yang tepat dan saat yang tepat juga.Berarti, sejatinya teka-teki membuat manusia lebih sabar dalam menunggu.

“Benar ‘kan kataku, kita pasti ada kesempatan bertemu lagi. Ya, walau ini tak akan lama. Setelah talk show, aku harus kembali ke Amerika,” ujar seorang lelaki yang tubuhnya dibalut jas dan celana abu-abu senada.

“Aku sudah merasa cukup dengan pertemuan ini; karena semakin lama melihatmu, semakin sedih jika kau harus pergi dari hadapanku.”

“Kau mulai berpikir filosofis ternyata,” lelaki itu terbahak kemudian meraih seorang gadis dalam pelukannya. Dikecupnya pucuk kepala dengan tatanan rambut braid itu, dan tercium bau segar yang ditimbulkan dari shampo yang gadis itu gunakan.

“Hai, lima belas menit lagi kita on!”Seorang lelaki berseru beberapa langkah dari belakang Kyu Hyun. Sentak mereka melepaskan pelukan dan menatap sang penyeru.

Kyu Hyun tersenyum tipis.“Paman, kau baru saja datang?”

“Iya, tadi aku sempat terjebak macet.”Lelaki berkacamata plus itu menoleh ke putrinya.“So, itu mini dress yang Jong Woon pilihkan untukmu?Kau sangat pas memakainya.Dan, lihatlah… kau sangat serasi dengannya!”Sam Dong menarik tangan Jong Woon.Berniat mendekatkannya dengan So Hwan.Mereka pun tersipu malu.

“Jong Woon, So… kalian pernah memilih ubi di keranjang saat di pasar?”

Mereka menggeleng.

“Biasanya, ubi yang berada paling atas kondisinya paling baik. Tetapi, karena sifat penasaran dan kurang puas dari manusia, ia mencari ubi sampai ke tengah bahkan sampai dasar. Siapa tahu kondisinya lebih bagus dari yang paling atas.Saat kau berada di dasar, ternyata kondisinya sangat buruk.Dan, ketika kau kembali ke atas, ubi dengan kondisi baik tadi sudah diambil orang.”

So Hwan dan Jong Woon menanggapi.“Jadi kesimpulannya?”

“Kalian… pilihlah satu sama lain.” Kyu Hyun meraih tangan seseorang yang paling cantik saat ini.“So, aku tidak menjamin saat kau menungguku, apakah aku masih menjadi Kyu Hyun yang kau suka.Sekarang, Jong Woon berada di paling atas. Pilihlah dan jangan pilih yang lain!”

Mata So Hwan berkaca-kaca. Kyu Hyun… ia menyuruhnya untuk melupakannya? Itu tandanya lelaki itu sudah menyerah pada keadaan. Menjalani hari-harinya dengan cinta semu yang ia berikan pada Shin Ae Ra.

“Baiklah, akan aku lakukan,” ucap So Hwan setegar mungkin.Ia melirik jam tangannya sekilas sebelum melanjutkan perkataannya. “Ayo, kita siap-siap ke stage.”

Kyu Hyun tersenyum ke arahnya dengan penuh arti.Perlahan, dadanya yang tadi sempat terasa sesak menjadi ringan. Rasanya sama persis seperti saat itu. Saat Jong Woon mengajarkan keajaiban padanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun