Setelah beberapa kali daerah-daerah sekitar diterjang air bah, sore tadi kampungku mendapat giliran. Banjir yang berbeda dari banjir-banjir sebelumnya. Kali ini air tidak bercampur lumpur semata. Pasir halus mengiringi air menerjang segala yang ada di hadapannya. Tak ayal daya dobrak air bah menjadi semakin kuat. Tanggul sungai di depan rumah yang selama ini berdiri kokoh, ambruk diterjangnya. Seolah penggalan lirik lagu "Bengawan Solo", air pun mengalir sampai jauh. Memasuki perkampungan, tegalan, sawah dan ladang. Bahkan tanpa permisi memasuki beberapa rumah warga. Bahu jalan dan halaman tetangga tergerus, meninggalkan lubang besar. Jembatan-jembatan kayu penghubung rumah warga dengan jalan raya yang belum sempat diikat kuat hanyut terbawa banjir.
Di tengah hujan rintik-rintik, gemuruh air terdengar dari arah selatan sejak sekira pukul 15 WIB. Tak lama kemudian air sudah memenuhi sungai yang berposisi sejajar jalan arteri Surabaya-Banyuwangi di depan tempat tinggalku. Warga heran melihat air naik begitu cepat. Padahal sungai itu sudah di-backhoe sedalam 2 meter. Arah aliran yang biasa ke barat berubah mengarah ke timur. Tak lama berselang, air pun meluap, menutupi jalan aspal yang tahun lalu ditebali dua lapis. Di beberapa titik arus air sangat keras dengan kedalaman hampir mencapai 1 meter. Karenanya lalu lintas pun dialihkan.
Kendati tidak sampai merobohkan rumah seperti belasan tahun silam, banjir sore tadi adalah terbesar dalam kurun 10 tahun terakhir. Selain itu, banjir ini amat mengagetkan warga. Maklum, sudah lama kampungku 'merdeka' dari ancaman banjir. Konon penyebab banjir ini disebabkan adanya tanggul yang ambrol di daerah hulu. Sedangkan penyebab tanggul ambrol -menurut analisis warga yang tentunya tidak berdasar teori akademis yang njlimet- adalah terjangan air yang semakin kuat oleh karena bercampur pasir hasil hujan abu Gunung Bromo. Analisis yang logis juga menurutku.
Namun demikian, semua tahu salah satu penyebab utama banjir adalah hutan yang semakin berkurang. Penebangan hutan baik yang liar maupun legal sekalipun, mengurangi peresapan air ke dalam tanah. Tidak ada lagi akar-akar penahan laju air. Air leluasa mengalir, berkumpul dan menerjang. Air yang mestinya bersahabat beralih rupa menjadi marabahaya yang mengancam harta benda bahkan nyawa. Maka dari itu, STOP PEMBABATAN HUTAN.
Probolinggo,Ujung Januari 2011
ketikabanjir sudah benar-benar surut.
HAMZET