Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Jumat di Cut Mutiah, Betawi Punya Gaya

27 Mei 2011   11:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 180 0
[caption id="attachment_112492" align="aligncenter" width="684" caption="Suasana hiruk pikuk pasar dadakan Cut Mutiah usai ibadah jumat (foto : hamzah palalloi)"][/caption] Bila Anda ingin menikmati nuansa ibadah Salat Jumat sekaligus ingin shooping ‘dadakan’, maka pilihannya adalah Masjid Cut Mutiah. Masjid yang terletak di kawasan Menteng Jakarta Pusat ini, memang setiap hari Jumat ramai di padati pengunjung. Ya, tentu saja mereka ingin Shalat Jumat, dan setelah itu berbelanja sepuasnya dengan harga yang sangat terjangkau. “Percaya deh, barangnya paling murah se Jakarta, ini pasar dadakan, Betawi punya gaya,” sergah Pak Tasirah, warga yang berdomisili di kawasan Gondandia . Alasan Pak Tasirah menyebutnya sebagai sebagai gaya Betawi, sebab suasana pasarnya serba dadakan, penjualnya dari berbagai multi etnis, barangnya pun segala bentuk merk dan harga, pembeli dan penjual ala kampung, suasananya riuh rendah, dan paling unik, usai prosesi Jumat selesai, bak dapat perintah, hanya sekitar 10 menit dagangan siap di gelar. Memang, beberapa masjid di Jakarta usai salat Jumat berlangsung ada saja pasar dadakan, namun di kawasan Cut Mutiah ini terbilang paling ramai se Jakarta. Jika Anda punya kendaraan roda empat, maka berpikirlah untuk melintas di kawasan ini, sebab setelah Salat, pasti macet total. Ada baiknya, Anda datang cukup meggunakan roda dua, atau bagi yang suka jalan kaki, maka itu lebih baik, sebab Anda bisa beribadah dan setelah itu berbelanja sepuasnya. Apa saja yang terjual di sana? Ini mungkin yang terbilang unik. Sebab meski hanya dadakan dan paling lama berlangsung 2 jam tapi barang jualannya sangat variatif. Mulai dari tawaran Mobil Baru, motor, kebutuhan elektronik semisal handphone, radio, tv, aksesories hingga Celana Dalam semuanya tersedia disini. Bahkan bagi yang sekedar ingin relaksasi dengan pijatan kampung juga ada. Yang paling asoy lagi, kalau Anda ingin  memperbesar ukuran kelaki-lakian Anda, jangan ragu disini juga ada, bahkan terang-terangan menuliskan ‘for sale’ hehehehe….Kalaupun Anda ingin menikmati kuliner, cukup banyak penjajanya, terbentang dari pertigaan Menteng-cikini hingga stasiun Gondandia. Pokoknya seru deh! [caption id="attachment_112477" align="aligncenter" width="350" caption="Suasana di halaman Masjid Cut Mutiah, menteng (foto : Hamzah Palalloi)"][/caption] [caption id="attachment_112478" align="aligncenter" width="350" caption="Aneka dagangan ada di sini (foto : hamzah palalloi)"][/caption] [caption id="attachment_112480" align="aligncenter" width="350" caption="Motor pun ada di jual...(foto: hamzah palalloi)"][/caption] [caption id="attachment_112482" align="aligncenter" width="350" caption="Macet setiap jumat di Cut Mutiah. Ini biasa Bung! (foto : hamzah palalloi)"][/caption] Soal harga? Ini mungkin yang menjadi daya tariknya, sebab harganya sangat murah dan variatif. Pakaian bermerek  paling mahal Rp 50 ribu, sepatu kulit saja bisanya terjual di mal-mal dengan harga selangit, Anda bisa dapatkan disini di bawah Rp 100 ribu. Apalagi aksesoris pria maupun wanita, sungguh sangat menggiurkan. Pokoknya, setiap Jumat buruan deh.. Boleh jadi ramainya kunjungan di pasar dadakan ini, karena di kawasan ini merupakan pusat perkantoran dan lokasinya sangat strategis, selain itu terbilang sangat aman. Apalagi barang yang dijajakan bukan ‘loakan’ tapi langsung dari pabriknya. Pantas! Gaya Perlawanan Kaum Urban Maraknya pasar dadakan yang mengitari sarana peribadatan di sejumlah kota di Indonesia, khususnya di Kota Jakarta adalah sebuah fenomena baru. Dalam kajian sosialogi komunikasi, bisa dikatakan bentuk perlawanan pada sistem kapitalis yang dilakukan kaum urban yang memandang Jakarta sebagai pusat kegiatan perekonomian. Mereka membutuhkan suasana pasar yang sederhana, merakyat dan interaksi sosialnya berjalan tanpa skenario, seperti yang terjadi di kampung halamannya. Tidak terkecuali etnik Betawi, etnik asli Jakarta yang secara perlahan dgerus oleh kuatnya arus kapitalisme. Tentu sebuah kewajaran, sebab Jakarta dan sejumlah kota metropolitan lainnya di Indonesia memang telah menggerus sarana-sarana interaksi sosial masyarakat. Pasar-pasar telah menjelma menjadi mal-mal elit dengan fasilitas yahud, tentu dengan harga yang menjulang. Warung-warung kecil pun harus punya ‘banyak nyawa’ untuk melawan mini market yang kini menggurita. Selayaknya pemerintah mencermati kondisi ini. Rakyat Indonesia umumnya masih berpikir sederhana, tak ingin dikekang dengan batasan tembok-tembok gedung dan pendingin AC, juga aneka merk dengan tawaran diskon. Rakyat Indonesia, masih suka ‘tawar-menawar’ yang merupakan bentuk harmonisasi dari sebuah interaksi sosial. Memang tidak perlu menyalahkan tumbuh dan berkembangnya mall dan mini market, tapi pemerintah perlu membuka ruang-ruang pasar yang berkarakter ala rakyat, yang menghibur dan penuh canda. Tidak seperti Pasar Senen atau pasar lainnya yang panas, gerah, berbau, rawan aksi kriminal. Lalu kapan itu terjadi? Ya! Pasar dadakan Masjid Cut Mutiah   adalah sebuah pelajaran berharga. Sampai ketemu di Jumat depan!  (**) Jakarta Jelang malam, 27 Mei 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun