10 Desember 2013 17:37Diperbarui: 15 November 2015 16:20880
Hamus Rippin
Satu ketika Mus duduk mengetik surat. Sebagai mana kerja sehari-hari Mus selaku pegawai kecilan dikantor tempat kerjanya. Ia mengetik dan membuat surat ‘laporan berkala’, begitulah nama dari term yang mereka gunakan dalam kantor waktu itu.
Laporan kegiatan Dinas mereka dalam periode tertentu; setiap tiga bulan dan setiap enam bulan yang dikenal dengan sebutan lain, laporan triwulan dan smester yang ditutup dengan laporan tahunan. Semua laporan ini tugas Mus menyusun dari data-data yang dilaporkan petugas lapangan. Mereka bekerja bersama baik dengan teman-tamannya, salah seorang dari teman dan sahabat akrab Mus adalah, Kelana.
‘Kamu ketik apa saja tu, Mus. Saya lihat engkau dari pagi berkelahi dengan mesin ketik Royal tua, mesin sebelum perang. Sekarang sudah siang belum juga selesai. Sudah sekarang waktu makan Mus, waktu makan siang. ’
Sebelum Mus menjawab tiba-tiba terdengar ‘kringk, kringk, kringk kringk’ suara klink dari penjual es lilin. Dia singgah. Anak laki-laki penjual es ini selalu singgah di depan kantor. Bunyi klink alatnya di ulang-ulang dan makin lama makin menengkin, meminta perhatian mereka. Karena biasanya, setiap hari ada diantara mereka yang membeli es jualannya pada siang-siang hari begini.
‘Mau es Mus? saya panggil masuk, tetapi kamu yang traktier.’ Kelana bercanda.
‘OK, ok, ok saya traktier tetapi kamu yang bayar dulu, dan jangan tagih aku kemudian. Satu lagi syarat tambahannya, kissah cintamu yang dulu itu, kau lanjutkan sekarang. Karena waktu itu tidak lanjut, terputus ditengah jalan di Babang. Ketika kita berada disebelah Timur Tobemba pada waktu itu. Kissanya terputus karena cintamu tersendat.’ Mus menukas.
Tiba-tiba muncul kepada Dinas, keluar dari pintu kamarnya ‘Kalian bikin apa?’ tanya dia.
Tidak ada suara terdengar dari mereka, tetapi tiba-tiba masuk dari pintu depan kepala tata usaha kantor mereka dan memanggil tukang jual es masuk.
Ia mempersilahkan mereka mengambil satu es lilin untuk setiap orang.
'Kalian ambil satu, satu per orang' ia menyampaikan kepada mereka.
Dia mentraktier untuk semua orang yang hadir dalam kantor hari itu, termasuk kepada Dinas.
'Itu dia, seorang kepala yang tahu kebutuhan hidup manusia, kalau panas butuh kesejukan, kalau lapar butuh makanan, kalau haus butuh minuman' Mus bicara sendari dalam hati.
Mereka masing-masing mengambil satu es lilin dari dalam thermos es penjualnya. Anak penjualnya tinggal menghitung jumlahnya, tetapi kurang satu. Kebetulah yang tidak kebahagian mengatakan sakit gigi, tidak tahan makan es lilin. Mereka masing-masing gigit es lilin, termasuk kepada dinas mereka drh A.M. Sucip tidak ketinggalan.
Tetapi nasib tak mujur baginya, karena baju safari dinasnya basah berwarna merah jambu karena tertitik air yang cobol waktu digigit olehnya, air es lilinnya menetes dibaju dan celana dinasnya tampa disadari, hingga dia terpaksa merogoh kocehnya, menarik sapu tangan, lengso yang dikeluarkan dari dalam sakunya langsung ia sekah warna merah, cairan es lilin.
‘Begini pak.’ Amier mulai bicara sementara mereka masing-masing masih sibuk mengusap air es lilinnya, ‘kami minta Kelana mengisahkan cintanya yang pernah -bertepuk disebelah tangan, katanya. Setelah cintanya tersambut, dirinya lagi jadi -tak tahu menimbang rasa.’ Amier meneruskan.
‘Apakah juru-vaksinasi yang berangkat ke Bastem minggu lalu sudah pulang? Apakah Mus sudah membikin laporan bulanan, triwulan untuk enam bulan terakhir?’ tanya drh A.M Sucip.
‘Sudah pak. Persis sudah selesai hari ini, yang saya ketik sekarang adalah lembaran terkhir.’ Mus melaporkan pekerjaannya.
‘Bagus.’ Sambil mengatakan bagus langkanya dibalik jalan masuk kedalam kamarnya.
'Masa mengetik sekarang? Kamu kan makan es lilin' Udin bebisik kepada Isa yang duduk dekat kursinya.
Kepala dinas langsung meninggalkan tempat, dan kepala kantor masuk kedalam ruangannya. Tinggal mereka yang bawahan duduk dikursinya masing-masing.
'Bagaimana janji Kelana akan meneruskan kisah cintanya' tanya salah seorang diantara mereka yang hadir dan disambung oleh lain mendukung usul dari yang meminta.
‘..... Dua bulan kemudian,’ Kelana memulai bicara ‘terjadi gempa dalam perkawinanku. Maksudku perkawin kami. Tiba-tiba terjadi kelainan pada isteriku Emy. Emy terlihat bertingkah. Ia berkilah memperlihatkan sikab yang tidak bersahat padaku, malah lebih dari itu, dari hari kehari bukan membaik, tetapi malah makin dingin menghadapiku.
Aku tenang saja, berkepala dingin menghadapinya, namun dia tidak mengungkapkan ada apa penyebabnya, apa gerangan yang ada dibenaknya, tetapi saya sendiri merasakan pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Entah apa, saya tidak tahu, sekurang-kurangnya belum tahu gerangan apa sebabnya. Apa penyebab hal ini, kalau saya tanya dia diam, tidak memberi jawaban dan saya tidak mendesak dia untuk mengungkap persoalannya.’
Â
‘Oh, cemburu, karena cemburu mungkin, perasaan wanita kadang-kadang aneh, karena rasa cemburu hingga dia relah menghacurkan rumah tangganya, karena rasa cemburu hingga dia bisa membabi-buta, yang akhirnya membawa penyesalan pada diri wanita itu sendiri, yang kelak akan menanggung akibat perbuatannya.’ Amier menukas ketika Kelana menarik napas.
‘Aku mencoba bicara dengan Emy secara terbuka, selain dari pada itu, juga saya sudah mencoba mengintropeksi diri, apakah ada perlakuanku yang salah, menyakiti hatinya. Tapi menurut saya tidak pernah saya sengaja melakukan hal-hal menyakiti hatinya. Tidak ada hal yang saya lakukan salah menurut perasaan saya dan demikian juga jawaban Emy bila kutanyakan kepada Emy halnya.
Aku masih ingat ketika itu, surat yang kuterima dari Mila, secara terbuka saya perlihatkan kepada Emy. Saya mau jujur pada isteriku, aku ingin setiap persoalan dibincangkan bersama. Aku ingin agar selalu terjadi keharmonisan dalam rumah tangga kami. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.’
‘Mingkin gara-gara surat, isi surat si Mila. Karena tidak semua wanita, senang kalau orang yang dicintai, dikasihi dan dikagumi, turut dikagumi wanita lain. Karena wanita semacam ini punya perinsif suamiku, untukku adalah milikku, apa urusannya dengan orang lain.’ Mus memotong bicara Kelana.
‘Pada satu ketika saya melihat Emy bersama seorang peria. Kebetulan, kebetulan saja saya lewat dan menoleh kedalam satu tempat, didalam warung. Mereka berdua makan semeja dalam restoran. Hati saya tidak menerima baik kejadian ini.
Tapi saya sendiri menggunakan akal sehat saya, hal ini bisa saja terjadi. Mungkin karena kebetulan kenalan, bekas teman sekelas yang lama baru jumpa. Kebetulan ketemu saling ajak makan traktiran. Karena Emy hanya saya lihat sepintas dari luar pada kaca dan saya lewat dijalanan.
Dirumah, saya pura-pura tidak tahu, apa lagi mau tanya siapa gerangan orang ini, pria yang ditemani Emy makan semeja direstoran tadi siang. Saya sengaja diamkan saja, pura-pura tidak tahu, tutup mata dan tutup mulut demi menjaga kebahagian rumah tangga kami.
Kalau sampai waktunya, mungkin Emy akan menceritakan halnya kepada saya siapa peria yang ditemani makan siang itu. Mungkin juga keluarganya yang datang mengunjungi orang tuanya. Karena keluarga Emy tidak berada di kota tempat kita tinggal ini. Orang tuanya selaku petugas yang berdinas dikota ini.’
‘Kau ber-otak dingin Kelana.’ Sambung Isah bicara dari tempat duduknya bersebelahan dengan meja dari Mus.
‘Apa maksudmu Isah?’ tanya Kelana kepada Isah.
‘Maksud Isah, mengapa Kelana tidak langsung tanya kepada Emy dirumah secara diplomatis malam itu juga. Kalau dia jujur padamu tentu berterus terang kepada suaminya mengatakan siapa orang yang ditamani itu.’ Amier menjawab pertanyaan Kelana.
‘Saya tidak sampai hati akan mempertegang situasi yang sudah tegang. Kalau api disiram benzin apa jadinya tentu apinya meluap dan membakar, tetapi lebih bijak kalau api yang mulai menyala dipadamkan dengan siraman dingin, maksud saya air dingin.
Luapan emosi harus dihadapi dengan perlakuan bijaksana. Karena saya tahu dan menyadari, kebenaran kata orang -setiap badai pasti berlalu. Panas dingin romantikanya alam, susah senang romatikanya hidup. Hidup penuh kedinamisan, hidup penuh tantangan, kalau tidak bersedia menentang hidup, lebih baik mengelak untuk hidup. Tetapi dapatkah kita mengelakan hidup ini?
Tidak lama setelah kejadian, yang dimana saya temukan Emy di restoran, Emy sering bermalam di orang tuanya. Begitulah jawabanya kalau saya tanya dia. Katanya ayah dan bundanya meminta Emy untuk tinggal bermalam. Saya memakai pengertian, karena adat dan kebiasaan kita disini, mungkin berbeda dengan teradisi di kampungnya. Saya tidak mau dikatakan laki-laki tidak tahu tata-tata adat.’
‘Tetapi seorang suami berkewajiban melindungi isterinya, kan?’ tanya Udin dari dekat pintu masuk sambil bediri melihat kejalan raya kearah Saokutae.
‘Saya tahu hal itu, saya juga akan melindungi isteri saya, kalau dia terancam, tetapi saya tidak akan larang isteri saya mengunjungi orang tuanya. Emy bilang ibunya minta dia bermalam. Begitu jawabannya kalau saya tanya, setelah ia tiba dirumah.’
‘Kelana percaya kata-katanya tampa menyelidiki kebenaran bicaranya?’ Mus bertanya.
‘Kalau tidak percaya kata-kata, tidak percaya bicara dari isteri sendiri, siapa lagi yang akan didengar bicaranya. Antara suami dan isteri kan tidak ada batas. Saya sudah bilang tadi, saya berperinsif berat sama dipikul, ringan sama dijinjin, dalam urusan rumah tangga. Saling pengertian, saling mendukung......’
‘Bagaimana kelanjutannya?’ tanya Amier.
‘......ternyata meleset perhitungan dan tak sampai pengharapanku, saya jadinya kecele. Atau tepatnya dikatakan kecolongan. Malah gigit jari. Setelah itu, akhirnya, pada satu hari saya pulang kerja, saya temukan Emy tidak ada dirumah, pakaian Emy yang diperlukan sehari-hari, semua tiada. Tidak sampai disitu saja. Selain itu, .... saya temukan sepucuk surat diatas meja makan bersama cincin kawin kami. Surat yang ada ini saya baca, surat Emy menyatakan ---saya pergi dan jangan cari aku. 'Jangan ditanya kemana aku pergi, jangan ditanya mengapa aku pergi, usah diharap ku kan berbalik lagi, usah dipintah ku kan bersedih hati. Putuslah rambut putus sudah ikatan, pecahlan piring hilang sudah harapan, hati yang rindu apakah obatnya, hati yang dendam apakah sebabnya.....’
‘Takdir, takdirmu, nasipmu Kelana. Orang sabar dan tangkas seperti kau, dienyahkan, ditipu oleh wanita.’ Amier menukas.
‘Saya protes, tidak semua wanita seperti isteri Kelana dan tidak semua wanita sama yang ditemukan Kelana. Saya seorang wanita, tetapi beda dengan wanita yang kalian duga. Wanita sejati bernilai seperti intan berlian.’ Isah membela sesamanya dari kaum hawa.* (Bersambung)
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.