Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[Cerpen] Para Pelempar

2 Desember 2019   22:47 Diperbarui: 2 Desember 2019   22:52 22 0

"Mobil dinas yang saya tumpangi sempat kesulitan melintas di jalanan Desa Mancur. Jalannya sempit, penuh bebatuan, berlubang, dan lumpur, jadi terlambat rapat."

Begitu twit pak bupati kesal. Mantan Kepala Desa Mancur dua tahun lalu itu kurang mampu membendung emosi dinginnya.

Jagat negeri alam twitter seketika riuh. Bersimpati pada pak Bupati. Twit-twit memojokkan Kepala Desa Mancur membanjiri layar pecinta dunia maya.

"Kades ora becus. Tidur mulu!"

"Suruh aja Kades tuh yang gendong bapak supaya gak telat."

"Terharu dengan pak bupati, bela-belain dateng telat, biarpun jalan penuh taburan rintangan. Pak Kades hayo tanggung jawab!"

Begitulah, kira-kira isi twit yang meramaikan pandangan hape netizen twiterian.

**

Sebagian besar orang receh jadi bingung. Paradoks. Media online dan cetak kompak mengharu-biru menceritakan kegigihan pak bupati yang terpaksa terobos jalan jelek Desa Mancur demi hadiri rapat. Frame di lembar utama malah Kepala Desa Mancur yang baru menjabat dipojokkan sampai compang-camping.

Gelisah. Masyarakat yang kewarasannya masih stabil tiba-tiba labil. Terguncang.

**

"Den, kamu liat sepanjang jalan jelek nan bobrok ini?"

Mbah Kimin menarik perhatian salah seorang pelanggan kedai kopinya.

"Ya mbah"

"Ini jalan statusnya jalan kabupaten. Pak Bupati yang berkewajiban membenahi kalo ini jalan bobrok tak terurus."

"Loh, iya toh mbah? Baru tahu."

"Lha, iya. Mesti begitu!"

"Tapi mbah, kok Pak Kades Mancur yang jadi bulan-bulanan, dibuli melulu?"

"Hahaha..."

"Lho, malah tertawa sih mbah?"

Setelah menuang beberapa sendok kopi campuran arabica dan robusta plus geprekan jahe merah, mbah Kimin menepuk pundak pelanggannya itu.

"Den, mereka yang membuli pak kades itu analoginya seperti para pelempar. Ya, mereka para pelempar kotoran sapi."

Kling..kling..kling
Adukan sendok mbah Kimin menyeduh kopi menyela pembicaraan.

"Sedangkan pak Kades itu kalem dan cerdas. Sabar. Itu bagaikan tanah, den. Jadi kalau tanah dilempari kotoran sapi, ya bakalan semakin subur."

"Lha, tambah bingung aku mbah"

"Hahaha...  Ya ya ya. Nanti ada saatnya kamu paham den."

**

Mastur. Dia pelanggan kopi yang diceramahi mbah Kimin pagi tadi.

Di depan Kantor Desa dilihatnya beberapa belas orang bersorak membawa karton bertuliskan turunkan kades bego, copot kades tak becus. Semacam itu.

Menjelang siang ini ia baru paham pembicaraannya dengan mbah Kimin.

Sialnya, justru kepahaman itu membuatnya bimbang bingung bengong.

Mastur yang seorang jurnalis yunior ini dititahkan pimpinan redaksi untuk menulis artikel berita dengan frame mengorek kebodohan pak Kades Muncar. Bahkan menjelek-jelekkannya di artikel disebut sunnah oleh pimrednya.

Di dalam hati, ia tidak mau ikut-ikut menjadi pelempar kotoran sapi.

Di pikirannya yang terlintas adalah jalanan jelek itu warisan tugas dari pak Bupati yang dulu menjabat kepala desa tapi baru setengah masa menjabat malah minggat dan mengadu nasib menjadi bupati. Kenapa dua tahun dulu menjabat jalanan itu tidak dipersoalkan harus dituntaskan kepala desa?
Jawabannya kembali pada penuturan mbah Kimin. Itu jalanan kabupaten, tanggung jawab Bupati. Tapi Bupati malah memojoklan Kades. Edan pikirnya.

**

Mastur kembali ke ruang redaksi bersama artikel berjudul para pelempar. Terbit. Sehari berikutnya surat pemecatan memenuhi kantong kemeja kotak-kotaknya. Seperti serbet dibuatnya. Satu-satunya cara untuk menghibur diri dari arus kuat para pelempar.

***


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun