Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Socially The City Of Tual

2 September 2012   08:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:01 323 0
Tema kali ini sangat sederhana dan mencengangkan, coba kita tengok minimal 5 tahun ke depan apa perkembangannya baik? Hah, mulai aja belom udah ngintip-ngintip masa depan.

Dan saya memulai dari sebuah cerita sederhana tentang cita-cita, cinta, dan embel-embelnya :

Berulang kali terpikirkan olehku apakah memang aku mampu merubah sebuah tatanan yang sudah 'fase' atau bisa jadi sangat 'paten' sehingga tak dapat lagi diubah. Banyak yang berkata bahwa "segalanya berawal dari mimpi" bahkan kata yang menurut saya ajaib ini sudah merasuki setiap jiwa dari kaum muda era ini, yah, ada yang menyajikannya lewat lirik lagu, ada yang menyajikannya lewan tulisan-tulisan singkat, dan, aarggh masih banyak dah pokoknya.

Ini bukan persoalan mimpi. Mimpi saja sulit, apalagi real-nya? kan begitu? jadi persoalannya berani or not? Saya jadi ingat seorang filsuf inggris pada masa ekspansi kerajaan spanyol, dia berkata "aku lahir bersama rasa takut dan rasa takut adanya saudara kembarku" kurang lebih seperti itu kata dia. Si filsuf inipun memprakarsai sebuah perlawanan besar akan rasa takut yang akut akan sebuah legenda kuno yang berhubungan dengan penguasa laut yang ternyata berwujud naga yang sangat besar, tapi saya tak yakin dia mampu menaklukannya.

Dan lagi-lagi saya masih berpikir, apakah saya berani? sekarang sudah agak naik sedikit levelnya dari sebelumnya "mampu?" menjadi "berani?"

Mari berpikir, kira-kira apa formula yang tepat untuk mengubah bahkan menghilangkan sebuah penyakit akut yang menggerogoti peradaban ini?

Saya berpikir, mungkin harus dimulai dari sebuah tatanan yang tidak terlalu besar. Ya, nampaknya benar sekali. Saya mulai dari diri saya dulu sebagai kelinci percobaan dan memang saya selalu memprakarsai diri saya dalam segala hal untuk menjadi kelinci percobaan alias mencobanya lebih dahulu, kemungkinan ada baiknya juga, hanya Tuhan yang tahu.

Dari sektor lokal (daerah), tepatnya daerah saya sendiri. Nampaknya berbagai macam pergeseran terus-menerus terjadi tanpa henti-hentinya. Alangkah lebih bijak jika saya perkenalkan lebih dulu daerah atau sektor lokal yang akan saya obrak-abrik kali ini.

Kota Tual, adalah salah satu kota diwilayah kepualauan Maluku, dengan kata lain Provinsi Maluku memiliki 7 kabupaten dan 4 kotamadya dan Kota Tual kampung saya adalah salah satu kotamadyanya. Dengan 4 kecamatan yang tersebar pada luas wilayah 254,39 km² dan jumlah populasi pada tahun 2005 sekitar 51.081 jiwa. Ya, ya, ya, cukup baik juga kampungku ini. Dan kampung saya ini pertama kali mendapat Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp. 196.885.900.000, kurang lebih itulah jumlah yang pada awalnya diberikan oleh Negara untuk digunakan dengan sebaik-baiknya, sekiranya berhasil saya ucapkan alhamdulillah. Oiya, Kota Tual sebelum di mekarkan, adalah Ibu dari kabupaten Maluku Tenggara, dan setelah UU RI No 31 Tahun 2007 disahkan maka anak dan ibu ini pun terpisah secara administratif, tetapi biar bagaimanapun mereka berdua tetap anak dan ibu, kiranya begitu.

Saya belum menyebutkan PAD-nya ya, waaah, gini aja, karena saya nggak tahu berapa penghasilannya bagaimana kalau saya petakan kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya, yaaaah, kiranya bisa diterka-terka berapa penghasilannya gitu. Tetapi saya lebih condong pada masyarakatnya, bukan pada pemerintahannya karena menurut saya sih, sebuah wilayah dinyatakan berkembang jika masyarakatnya (SDM) memadai. Kan begitu?

Masyarakat Kota Tual saya bagi dalam dua tingkatan termasuk dengan lingkup ekonominya.

1. Golongan atas (Politis)

2. Golongan bawah (A-Politis)

Mereka yang tergolong dalam kaum atasan ini adalah mereka yang memiliki kekuasaan politik baik ditingkat konvensional ataupun ditingkat tradisional. Pemetaan kejelasannya, seperti ini :

1. Kepala pemangku adat setempat (termasuk beberapa marga besar)

2. Pemerintah (Walikota, Wakil, beserta jajaran kroni yang mempunyai kekuatan politis dalam birokrasi)

3. Jajaran Keluarga dekat pemerintah

4. Pengusaha besar (umumnya kontraktor yang nilai projectnya berkisar antara 500 s/d 1 milyar keatas)

5. Pedagang (yang nilai asetnya lebih dari 1,5 milyar [range pendapatan perbulan sekitar 30 s/d 50 juta keatas])

Dan golongan berikut adalah golongan bawah atau golongan apolitis :

1. Marga kelas bawah dan starata 'ren' dan 'iri'

2. PNS berpangkat rendah

3. Pedagang kecil (warung makan, tukang sayur, toko pakaian, toko sembako [range pendapatan perbulan sekitar 10 s/d 30 juta] pedagang kaki lima)

4. Buruh

5. Nelayan

6. Penjual jasa (sopir angkutan, ojek, pertungan[umumnya pengagguran])

Sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor yang saya sebut 'kasar' seperti buruh kasar/halus, nelayan, tukang, petani, sopir angkutan, ojek. Sedangkan sisanya berada pada sektor yang sebut juga sebagai 'halus' yakni PNS, pedagang, pengangguran, pelajar.

Kemudian, Tual juga terkenal multikultur. Betapa tidak, kita lihat saja terdapat suku kei (suku asli), suku bugis, suku makassar, suku buton, etnis tonghoa, suku padang. Penyebutannya selalu menyamakan dengan asal muasal orang-orangnya, semisal, orang padang, sama saja dengan suku padang, kiranya seperti itulah tata cara orang mengindentifikasi orang di Tual ini.

Tual juga adalah pulau yang umumnya adalah terdiri dari satuan karang-karang yang membentuk pulau, ini mengakibatkan bercocok tanam di sini tidak terlalu bagus dan bisa jadi sangat buruk hasilnya karena struktur tanah yang tidak memadai standar kesuburan tanah. Adapun tanaman asli seperti 'enbal' atau sejenis singkong, kemudian untuk kategori buah adalah mangga dan kelapa lebih khusus kelapa karena memang kelapa adalah tumbuhan endemis diwilayah kepulauan.

Satu hal yang sangat penting dalam melihat kondisi kampungku ini adalah 'asupan bacaan' yang kurang. Bila kita 'buka mata' maka yang kita temui di seluruh Negeri ini sama adanya, tetapi ada standarisasi yang membedakan khususnya dalam hal SDM ini. Rasanya sangat naif bahkan bisa dikatakan gila, kalau saya mengatakan bahwa SDM Kota Tual setara dengan SDM Yogyakarta! Ini kan bohong! Jelas perbedaannya sangat jauh. Bukan berarti saya pesimis dengan ketertinggalan kampung saya ini.

Saya sangat bersyukur karena kesadaran 'melek-pengetahuan' telah tumbuh dengan baik dikalangan generasi muda di kampung saya ini, ini bisa ditunjukan dengan jumlah manusia yang terus mencari ilmu atau belajar diluar daerah. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pertahunnya jika saya coba hitung sekilas, berdasarkan kota-kota tujuan belajar :

1. Makassar (Sulsel) : 30 s/d 70 orang pertahun

2. Yogyakarta : 10 s/d 40 orang pertahun

3. Jakarta : 20 s/d 50 orang pertahun

4. Surabaya : 10 s/d 40 orang pertahun

5. Ambon : 35 s/d 70 orang pertahun

6. Manado (Sultra) : 10 s/d 25 orang pertahun

7. Bandung : 5 s/d 15 orang pertahun

8. Ternate : 5 s/d 15 orang pertahun

9. Papua Barat: 5 s/d 10 orang pertahun

10. Jayapura : 5 s/d 10 orang pertahun

Berdasarkan data yang saya himpun berdasarkan diskusi-diskusi lepas dengan berbagai orang Tual atau umumnya Kei ini (perlu penelitian komprehensif) dapat kita perkirakan setiap tahunnya gelombang pelajar yang keluar daerah mencari ilmu ada sekitar 150 s/d 200 orang. Jika kita tambahkan dengan yang belajar dalam daerah yang prosentasenya hampir sama, berarti setiap tahun ada sekitar kurang lebih 500 s/d 600 generasi muda yang menempuh pendidikan tinggi, dengan bidang ilmu yang bervariasi, seperti :

1. Ilmu Hukum

2. Ekonomi

3. Tenkik (Informatika, Arsitek, Sipil)

4. Ilmu Sosial & Politik

5. Pendidikan Guru

6. Perawat kesehatan

7. Kedokteran

Tetapi ada perbandingan terbalik pada kondisi real dilapangan. Alasannya menurut saya adalah Classical-Paradigma yang mana dengan sendirinya menganjurkan agar setiap sarjana menjadi Pegawai Negeri Sipil, seperti Guru, PNS pada Instansi-instansi pemerintahan lainnya. Alasannya mengapa banyaknya sarjana ekonomi dan hukum di kampung saya cenderung menyerah pada nasib yang tersistematisasikan oleh paradigma-lama atau classical-paradigma, ini tercermin dari kondisi historis kita yang secara tegas menegaskan bahwa setiap orang asli kei adalah konservatif. Merasa sudah baku dan nyaman sehingga tidak perlu perubahan lagi, inilah yang saya saksikan dari setiap kaum tua pada kampung saya, tak heran jika banyak kaum muda pun terpaku dengan keadaan yang dibentuk kaum tua ini. Padahal kita tahu bahwa kondisi dunia terus mengalami perubahan. Mungkin inilah alasannya mengapa konflik-konflik berskala kecil terus-menerus timbul pada kampung saya ini, selain alasan primordial yang bersifat otonom yakni 'batas tanah dan perempuan' yang tersaji dalam ketetapan hukum adat setempat.

Arus perubahan global memicu berbagai polemik pada kota kecil ini, mulai dari gaya hidup, bahasa, sampai pada prilaku seksual seseorang. Semuanya tersaji lewat media televisi yang tidak memfiltrasi berbagai tayangan yang berdampak konsumtif yang mengakibatkan setiap dari kaum muda terpelajar menjadi dilema dengan kondisi kekinian yang cenderung dipandang bertentangan dengan teori-teori efisiensi kehidupan yang dipelajari pada bangku kuliah.

Tak dapat dibendung, arus konsumsi menjadi tak terkontrol pada kampung saya ini, khususnya pada kaum muda. Saya beri beberapa contoh, pertama, konsumsi dibidang teknik, saya sebut 'motor'. Setiap rumah di kampung saya ini memiliki 2 s/d 4 kendaraan roda dua, bahkan ada yang 5 atau 6 unit. Rumah tangga yang memiliki 2 s/d 4 unit adalah mereka dengan latarbelakang pekerjaan sebagai PNS apolitis, buruh, ojek, pedagang kecil. Sedang yang memiliki 5 bahkan 6 adalah PNS politis, pengusaha, pedagang besar.

Kedua, konsumsi elektronik, khususnya dibidang perangkat telekomunikasi. Setiap orang di Tual dari semua kalangan memiliki minimal dua unit telepon genggam, saya ngga tahu apa alasannya yang jelas ini memperlihatkan sisi gengsi-ekonomis yang tinggi disetiap kalangan oleh setiap orang. Bahkan yang terkini adalah budaya BB (BlackBerry). BB ini pun tak lolos dari gaya hidup konsumtif masyarakat kota Tual umumnya kaum muda. Kebanyakan dari mereka tak mengerti cara penggunaan BB secara maksimal, bahkan ketika Kemenkominfo menerima kabar bahwa network blackberry yang berasal dari Rusia yang digunakan oleh pengguna BB diIndonesia akan dihentikan, para pengguna ini tidak risau dengan hal ini, dengan memperlihatkan angka penggunaa BB yang semakin meluas di Indonesia, termasuk salah satunya kampung saya ini.

Sungguh fenomenal kampung saya ini. Satu hal yang tidak diperhatikan oleh masyarakat kampung saya dan Indonesia secara umum, bahwa budaya kritis dalam segala hal termasuk konsumsi ini belum terlaksanan oleh setiap orang, alasannya saya kembalikan kepada institusi pendidikan, karena mereka yang membangun teori kritis pada masyarakat, dan ini telah diamanatkan oleh konstitusi kita bahwa "tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa."

Kemudian yang saya temui pada masyarakat kampung saya ini adalah sebagian besar dari mereka belum mempunyai kesadaran politik. Bukan politik partai ya.. Kesadaran politik yang saya maksud adalah menempatkan politik sebagai bagian dari landasan untuk membangun kehidupan yang aman, damai, serta sejahtera. Kesadaran sosial yang tertuang dalam perilaku tradisi atau adat-istiadat telah teraplikasi hanya saja saya merasa perlunya kesadaran politik yang berdampingan dengan kesadaran sosial dan agama agar mampu meraih sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, saling menghargai. Jika hal ini telah terpenuhi maka pertumbuhan ekonomi rakyat akan mengambil posisi pada landscape kota Tual kampung saya ini.

Dan, saya merasa bertanggungjawab untuk menghadirkan tatanan masyarakat yang hidup dalam balutan kesejahteraan, kesetaraan, keadilan, keragaman, dan saling menghormati. Saya bingung setelah mulai dari diri saya lantas saya harus melanjutkannya dengan apa dan bagaimana lagi? Mudah-mudahan jalan keluar segera hadir dalam upaya mulia ini agar dapat terlaksana.

Ini cita-cita semua orang, dan ini adalah bentuk cinta untuk semua orang dari orang perorang!

Hambali Tr

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun