Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Benih Perubahan, Politik Citra dan Anti-Perubahan

13 Agustus 2012   17:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:50 296 0
Sekian lama kita merasakan ; kenapa sih pendidikan mahal; kok berobat di rumah sakit jadi sulit ya; harga sembako naik terus, BBM juga ikut-ikutan. Beberapa kondisi real dalam masyarakat yang saya garis bawahi pokok-pokok persoalannya yang kemudian saya tuangkan dalam beberapa keluhan diatas, adalah indikator ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jelas saja, pemerintah (mulai dari pusat sampai daerah) mengambil kebijakan yang bertentangan dengan amanat konstitusi:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Untuk memajukan kesejahteraan umum.

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Coba kita perhatikan, bagian mana dari amanat UUD 1945 ini yang dijalankan dihari ini? Pemerintah kita bertindak tidak lagi konstitusional. Kita bisa lihat bukti nyata dari banyaknya persoalan yang tidak berkurang jumlahnya, malah semakin bertambah jumlahnya.

Awalnya saya sangat tertarik dengan sebuah artikel pada IndoProgress : "Jokowi dan Proyek Kekuasaan Yang Pro-Rakyat".

Artikel ini kemudian memicu saya untuk sedikit berkomentar tentang hal terkait ini. Tentunya tentang "revolusiophobia" anti-perubahan yang menonjol pada perilaku jajaran penguasa dan kroni kapitalisnya, kemudian saya mencoba menuangkannya dalam beberapa poin, berikut :

1. Dengan dicalonkannya Jokowi alias Joko Widodo sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, adalah langkah untuk mematikan gerakan Pro-Rakyat. Betapa tidak, kita lihat sepak terjang Jokowi pada wilayah Pemerintahannya di Solo ketika dia belum di tarik untuk fight di pusat. Beberapa statemen dan Kebijakan Jokowi terhadap tindakan pemerintah pusat melalui regulasi dan prmbatasan investor asing pada Negara ini khususnya pada wilayah pemerintahannya Kota Solo. Jokowi kemudian menyatakan : para pemimpin pusat kurang berpihak kepada rakyat dan cenderung mementingkan kapital asing. Hal ini kemudian ditunjukan dengan penguasaan 52% Bank dan 76% Pertambangan oleh pihak asing*.

Langkah tegas yang diambil Jokowi dengan meminimalisir pasar modern (supermarket, swalayan) pada wilayahnya. Kemudian pada sektor pendidikan dan kesehatan yang secara tegas diperhatikan olehnya, ini kemudian yang membuat Jokowi kembali terpilih menjadi Walikota Solo. Dan inilah alasannya mengapa Jokowi harus meninggalkan tanggungjawabnya, oleh partai kemudian ia diharuskan bertarung memperebutkan posisi '01' pada DKI dan kemudian dibungkam sikap Pro-Rakyatnya itu secara perlahan oleh orang-orang pro-pasar di pusat.

2. Jokowi sebagai tokoh politik yang menunjukan perbedaan atau tokoh yang melawan arus dari setiap kebijakannya yang Pro-Rakyat. Mengindikasikan Jokowi sebagai tokoh progresif yang dipandang sebagai 'duri' oleh kalangan elit politik dan pemodal, dan oleh sebab itu, menurut saya Jokowi akan dibungkam untuk bersikap Pro-Rakyat oleh penyakit "revolusiophobia" elit politik dan pemodal. Tindakan pro-rakyat yang tinjukan lewat kebijakan-kebijakan Jokowi kepada rakyat Solo, salah satunya adalah kebijakan terhadap salah satu alat represi pemerintah : Satuan Polisi Pamong Praja. Sat Pol PP inilah sasaran utama dari Jokowi karena menurutnya tindakan kekerasan yang dilakukan Sat Pol PP harus cenderung dehumanisasi, oleh sebab itu perombakan besar-besaran ia lakukan terhadap polisinya pns ini.

Dua poin mendasar ini kiranya layak dikatakan sebagai alasan bagi pencalonannya Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta. Secara substansial tindakan Jokowi bertentangan dengan cita-cita neoliberal yang sedang dalam masa pengawasan ketat oleh imperialis barat, dengan berbagai intervensi di sektor ekonomis. Olehnya itu saya mengharap Jokowi tetap kekeh mempertahankan sikap pro-rakyat yang ia realisasikan pada Kota Solo dan semoga ketika ia terpilih menjadi Gubernur DKI, ia lantas mampu menerapkan sistem pro-rakyat dan mampu menahan bahkan membendung intervensi yang pasti akan datang bertubi-tubi.

Elit politik kita sepertinya tidak bisa terlepas dari alienasi atau keterasingan dari amanat konstitusi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, mereka terus diintervensi oleh imperialis-imperialis, negara-negara industri maju yang notabene adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi-organisasi multinasional dan lembaga-lembaga internasional. Yang kemudian mengintervensi setiap gerakan progresiv-revolusioner yang di Negara ini. Mereka mengalami "revolusiophobia".

Oleh : Hambali Tamher

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun