Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

REPORTASE KEBEJATAN TAMBANG "Seri anak Pedalaman Halmahera"

27 Maret 2012   16:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 173 0
Senandung nyiur.

Bersimbah darah, pelepah sagu kami pun berwarna merah.

Asap hitam,

Kabut berkabung.

Tanah kami di jarah sang penyamun asing.

Emas, Nikel, Pasir besi di tilang Dolar.

Kami tetap terjajah.

Warga pedalaman Halmahera bersatulah.

Usir mereka yang rakus.

Bakar imperium imperalisme demi masa depan anak cucu kita.

Kita juga harus berdaulat

Pada tanah kita, kekayaan alam yang ada.

***********************************

Setelah menuntaskan malam, bersama sebuah penisi tua sampailah kami di tanah pedalaman, tanjung Barnabas yang terkenal. Sejujurnya sudah sekian lama, aku dan teman-teman memimpikan sebuah perjalanan khusus kesini. Banyak hal yang akan kau temui, menikmati pegunungan hijau atau sejuta cerita hebat, tentang tanjung eksotik nan melegenda ini.

Masih terasa subuh tadi, sejuk mendamaikan. Ketika kaki-kaki kecil kami menyentuh daun diatas tanah hitam. tampak masih basah, mungkin embun baru saja turun mengadakan pesta selamatan, menyambut kedatangan tim ekspedisi Barnabas 66. Di timur matahari belum juga pecah, itu berarti kita akan menikmati jingga paling awal, semoga fajar pagi tak telat hadir,! Tapi mustahil berharap seperti itu, bukankah saat fajar adalah moment paling setia tanpa akhir,? tak peduli musim, di gurun terganas atau taman bunga. ia tak lekang oleh masa ribuan abad sekalipun. Para pecinta yang bercinta di medan cinta, mungkin harus banyak belajar dari cara matahari mengusik pekat. Tak sedikitpun ia lupa, akan titah Tuhannya yang telah ia emban ketika proses penciptaan bumi mulai bergulir.

Penisi kami tenang di dermaga kecil, berbahan dasar bambu dan batang-batang kelapa. walau sederhana kontruksinya tetap terlihat kuat, bagian yang satu dengan lainya saling mencengkram mesrah. dan harus di jaga seperti itu, sebab jika salah satu bagianya bermusuhan (rusak) maka akan binasalah siapapun yang hendak mengawali hidup dari atas badan dermaga tersebut. Dermaga ini sudah ada sejak 1 abad lalu, lokasinya tak pernah berpinda, mungkin karena kedalaman lautnya paling cocok untuk disinggahi kapal, sampan, atau rakit. Dibandingkan dengan kontur sekitar pesisir lainya. Selama itu Dermaga ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk, hanya bahan dasar Dermaganya memang tak pernah berubah mengikuti perubahan bentuk berulang-ulang tersebut, maka bisa di tebak mana yang paling setia menyanggah dermaga tua ini, sebanding dengan cahaya pagi mungkin. terserah, kalian semua yang akan menyimpulkan itu semua nanti.

Aroma tanah sunyi langsung menyeruak, menohok batok kepala kami yang masih kacau oleh permainan genit sang ombak. Lumayan besar hasratnya, 2,5 m, sebelum menyentuh bibir pantai. Pasir hitam berminyak, bekas jajahan limbah tambang-tambang emas dan nikel milik orang bule. Dasyatnya kerusakan yang di timbulkan jika proses eksploitasi hasil perut bumi itu tak segera dihentikan. Bencanalah dimana-mana,! sementara yang merasakan penderitaan panjang ini adalah mereka, warga lingkar tambang. Bukan bapak-bapak yang ongkah-ongkah kaki di serambi belakang istanah, di temani brangkas baja milik orang-orang dusun. Siapa peduli pada rintihan dan kesakitan yang telah ditimpahkan oleh penyamun asing itu,? arsen dan mercury asik bermain di sungai-sungai, sama gembiranya dengan anak-anak gembala yang memandikan kerbau mereka di sungai tersebut. Petaka telah di depan mata, hampir setiap 3 bulan sekali, pipah tailing bocor, atau sengaja sampai terjadi kebocoran. Berton-ton limbah mengalir mendangkalkan sungai warga dengan lumpur hitam penuh racun,! Miris kami melihatnya, kenyataan kalau korporat asing itu tak peduli dengan lingkungan, kelestarian hutan disini.

Tim ekspedisi bergerak cepat berkejaran dengan matahari, dalam samar, gelap belum mengabu-abu, papan nama penanda lokasi pertambangan kami terobos. Pikirku di tanah ini banyak uang, dan pastinya banyak juga nyawa yang telah melayang. Langkah dipercepat, ketua regu kami sesekali memberi isyarat, mungkin ada tentara atau aparat lain melintas, ronda di tengah belantara seperti petugas pos ronda di kompleks kami. saat itu aku berada di belakang ketua regu, di sebelahku ada seorang kawan yang memikul kamera besar, bunyi nafasnya menderu, berkejaran dengan rasa takut dan rasa ingin mengungkap misteri kebejatan yang disembunyikan sejak puluhan tahun. Jumlah kami semuanya 7 orang, dan 2 orang perempuan, sepertinya mereka gerah hanya tinggal di dapur, sementara saudara yang tinggal di Dusun di bodohi dan direcoki dengan kehiduan tak sehat tiap detik. satu tangan ku saat itu memegang sangkur pemberian seorang kawanku aktivis lingkungan, dan sebelahnya lagi menenteng kamera lensa panjang milik sendiri, baru aku beli dari hasil royalti Novelku beberapa hari lalu, sebelum ekspedisi ini dimulai.

Tiba-tiba langkah kami tercekat, sebuah isyarat yang sangat mengagetkan. tak biasanya ketua regu mengangkat tangan dengan suara yang menurut kami semua begitu keras. "Berhenti,.!!"

Seluruh anggota bertanya-tanya, masing-masing dengan kebingungan sendiri.

Saat itu di depan kami ada sebuah bukit, jalannya lumayan menanjak, 9 menit berselang satu kompi pasukan berseragam hitam-hitam melintas beberapa meter dari tempat kami bersembunyi. Benar adanya apa yang sempat dikatakan oleh pemandu kami sebelum berangkat, jam 05.30. akan ada sekelompok orang berseragam lengkap sambil berlari mengitari bukit kecil ini, hampir saja kami semua lupa! Sepertinya kami tak salah memilih ketua regu, karena selain genius beliau cukup berhati-hati menjaga keselamatn anggotanya. kesalahan kecil sekalipun mampu merusak misi ekspedisi ini, beliau sangat paham. sehingga apapun yang diucapkan sang pemamdu, seperti menjadi kompas kedua bagi beliau untuk menuntaskan perjalan yang sangat mendebarkan ini. 15 menit berlalu, 17 menit berlalu, sang ketua regu belum juga memberikan tanda untuk bergerak. berkecamuk tanya dalam batok kepala kami, ku lemparkan pandangan pada Anton yang berdiri agak ke depan disebelahku, ia hanya mengeleng sambil membuka telapak tanganya. kepada Dik Narti apalagi, Dia malah hanya tertawa bisu melihat tingkah ku yang kacau dalam perhentian kali ini. "Sial,.!!" gerutu hatiku yang sebenarnya sudah tak tahan untuk melanjutkan perjalanan.

"Pram,.!" Aku dengar ketua regu memanggil namaku, serunya setengah berbisik.

"Kenapa,?" Tanyaku, sama persis dengan suara beliau saat memanggilku tadi.

Beliau mengisyaratkan dengan tangan kananya, agar aku merapat lebih dekat kearahanya.

"Pram sepertinya kita harus kembali,!" Ucap beliau ketika aku berdiri sangat dekat dengan wajahnya. sangat dekat, mungkin karena tempat persembunyian kami yang terlalu kecil untuk 7 makhluk ini.

Mataku menatap beliau lekat, usai beliau mengatakan sesuatu seperti tadi. "Kenapa harus,.!" tak sempat kuselesaikan pertanyaanku.

"Pasukan penjaga di lokasi ini terlalu banyak dan sangat ketat, kita tak mungkin menerobos sementara matahari sebentar lagi akan muncul. bukankah akan sangat membahayakan jika harus kita paksakan. Kau lihat Pram, di gardu timur dan selatan. bedil yang mereka pegang itu sungguhan.,!!" Penjelasan yang sangat serius.

Coba ku betulkan letak berdiriku, agar lebih tepat menerima perintah darinya. "Tak ada jalan lain,.?" tanyaku kali ini agak kuat, biar semua teman-teman bisa mendengar situasi yang sedang kami bicarakan.

"Ada jalan lain,.!" Jawaban itu aku dengar dari arah belakang. rupanya sang pemandu perjalanan menyimak pembicaraan kami.

"Lewat mana,.?" tanya kami serempak pada beliau. sepertinya anggota ekspedisi yang lain juga tak ingin secepatnya pulang.

"Mengitari bukit ini, lamanya perjalanan 12 jam, lewati beberapa bukit terja,l dan 2 buah sungai besar. kita akan masuk lagi ke lokasi ini lewat belakang jika berhasil."

12 jam,??! sungguh bukanlah perjalanan pendek. Benar adanya, alternatif memang selalu ada, tapi tak pernah mudah. Jalan di depan kami adalah satu-satunya akses terdekat untuk masuk kedalam jantung perusahan langsung, -+4 jam perjalanan saja. Tapi mustahil akan lolos melewati brikade lumayan rapi di depan. pasti para aparat itu di bayar dengan upah sangat tinggi. kalau tidak,! mana mungkin berseragam rapi hanya untuk menunggui hutan yang sepi ini, bukankah banyak aparat militer yang masih genit-genitan, tak mungkin tahan berteman dengan pohon dan nyamuk sungai. sementara jalan kedua, jika memutar kita harus melewatkan menit sebanyak ribuan kali, medannya juga tak main-main, perlu pertimbangan logis kayaknya.

Angin mendesir tenang, embun tak lama lagi akan menguap. Seluruh anggota ekspedisi saling berpandangan, menyimpulkan jawaban masing-masing kami dalam bisu. tapi harus segera beri jawaban, jika tak mau tertangkap basah disini.

"Hhmmhm,..kita kembali saja besok, tadi mungkin kita semua berangkat agak telat jadinya sepeti ini." Pak Albert ketua regu menyimpulkan kegamangan kami.

Semua mata tertuju pada beliau, sambil mencerna solusi untuk kebaikan semua anggota. "Iya kita cari rumah warga untuk istirahat dulu, besok labih pagi kita coba lagi,!" Hatifa perempuan dan anggota termuda dalam tim ekspedisi ini akhirnya angkat bicara juga. Selama perjalanan tadi aku menggodanya tapi tak sedikitpun ia mau menanggapi, penolakan ketus juga tak aku dengar. Ia hanya berusaha menghindar dan tetap diam.

"Saran Hatifa sepertinya logis,.!" aku cepat menimpali, maksudnya bersayap. Agar dia mau bicara padaku.

"Iya pak ketua, kita kembali saja,!" Anton memberi suara.

Sial bukan Hatifa yang menimpali, tapi Anton. Wajah perempuan itu masih saja ketus seperti awal perjalanan tadi kepada ku. Tanpa harus merumuskan kesepakatan lebih lama lagi, para anggota tim mulai bergerak melawan arah pertama perjalanan kami, setelah mendapat isyarat cepat dari pak Albert. Langkah pulang ku percepat agar bisa sejajar dengan Hatifa, perempuan yang sempat ku buat menangis di atas penisi tadi. Dia berbeda dengan wanita kebanyakan, dia berani meninggalkan adatnya yang latah demi sesuatu yang ia perjuangkan. Dia berani terasing dari gaya hiduo hedon perempuan metropolitan, tempatnya bukan di Mall, di pub, atau di anjungan kapal pesiar. Bukan juga di taman bunga romantis, roterdam. Ia malah betah disini, di belantara,! Hidup bersama warga lingkar tambang yang tak pernah manja. Menikam hari sungguh berat, karena tuan-tuan mencuri emas, nikel, dan batubara mereka untuk kesenangan keluarga. Juga gundik-gundik kalian. Sementara racun kekayaan itu pun kalian sebar dimana-mana, pada semua sungai mereka, pesisir laut mereka, juga pada ikan-ikan yang mereka santap setiap hari. Bisakah tuan-tuan dan bandit-bandit biadab negeri ini bayangkan,? kerasnya pergulatan hidup mereka melawan kepunahan generasi, yang telah kalian hadiahkan pada setiap pagi mereka, siang mereka, dan malam-malam mereka,.?! penuh kesakitan begitu menyiksa.

Wanita yang sebenarnya telah menjadi kebanggaan rembulan, "Dik Hatifa", Berkelana dari satu desa ke desa lain. Mencari makna hidup hakiki, mungkin hanya dia yang tahu dimana tempartnya kebahagian. Percayalah Aku tak bermaksud mengusik hidupmu, hanya saja perjuangan yang kau dengungkan telah mencemari ruas hidupku juga. Lalu haruskah meminta kau menghapusnya serbuk noda tersebut,? sangat tidak mungkin. Sebab yang datang padaku sejak perkenalan kita, adalah sesuatu sangat indah dan mendamaika. Bagaimana mungkin aku lepaskan! sementara hal itulah yang telah kucari sepanjang hidup ini.

Tak bisakah kau diam sejenak untuk menghitung getar-getarnya,? Getar yang merangkaikan asmara begitu tentramnya dalam jiwa ini dengan namamu. Sungguh luar biasa keindahan itu, hanya saja kau menganggap lelaki ini sedang bergurau, hanya mencari sensasi karena telah terlalu lama sendiri. Duhai dewa amor,.bisikan padanya tentang cinta yang tumbuh dari bejana kebencian dan kenistaan, tentang kasih yang lahir dari kemiskinan dan kemelaratan. agar aku bisa memanggilnya Dia "sayang", atau menyebutnya kekasih ketika ingin menemui Tuhan setiap akhir perjalanan yang panjang. Beritahukan padanya, agar wajah ayu itu tak lagi menyimpan amarah, tak lagi ketus pada lelaki malang ini. Lekas Dewa amor, jika tak mau aku meminta padamu serupa kata-kata makian seorang nestapa, pengelana yang sedang nelangsa menyemai bunga kambojanya seorang diri.

Biarlah Hatifa tetap ketus, biar lebih panjang dan berliku cerita kami. Perjalanan pulang yang sangat sepi, aneh saja rasanya. nafas anggota tim tak lagi berkejaran seperti awal pertama tadi. mungkin karena kami tak lagi sedang berlomba dengan matahari, atau karena kami semakin menjauh dari sarang penyamun (Perusahan Tambang asing), ataukah karena imaji nakal ku tak sedang bersama dengan derap teman-teman lain, tapi hanya menghitung langkah-langkah kecil Dik Hatifa yang tenang.?? Rumah pemandu yang kami tuju, habis jalan kecil di antara pohon-pohon kelapa, kami belok kiri. Tepat di sebuah rumah, beratap rumbia, dindingnya dari bambu-bambu kecil dianyam, kami masuk. lantainya masih asli, tanah hitam berundak-undak keras. Orang pedalaman memang hidup tak manja, mereka selalu pandai berterimakasih pada apa yang telah mereka miliki. Jangan lagi kalian curi apa yang menjadi hak mereka, sungguh penderitaan ini begitu berat mereka telan. sampai ke generasi keberapa lagikah hidup mereka akan kalian jajah seperti ini,? Dimanakah negara,? dimana kami disini seperti tak memiliki satria. sang pejuang mulia yang berani mengusir para imperalis biadab ini. Damai kami tak tentu hari, sementara damai kalian (Penguasa) berhari-hari. Tuhan kami tidak buta, dan kita memiliki Tuhan yang sama...Salam Revolusi.

Bersambung : reportase besok H-2.

Art : PjG alone66

Tanah Para Sultan..24/03/12..."07.00' Wit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun