Jika anda dari Perumnas Minomartani Sleman, misalnya, begitu masuk ke jalan Anggajaya kita “dihadang” berbagai sampah iklan. Disana terentang spanduk buruk rupa, tidak saja konotatif karena tanggal-tanggal teriklan yang sudah lewat, juga denotatif sebab spanduk-spanduk itu sudah robek di beberapa bagian. Antara lain “Jogja Book Fair” yang sudah lewat Agustus lalu. Bahkan masih ada poster kampanye untuk Pemilu lalu.
Begitu masuk ke jalan Affandi, suguhan kotoran serupa tersaji. Di samping sesak oleh polusi mata berupa reklame-reklame besar yang bersih, sisi jalan di Deresan dihiasi beberapa spanduk pancang bertema “Marhaban Ya Ramadlan”, dan beberapa alat advertismen lainnya. Beberapa ruang promosi strategis seperti “pojok iklan” perempatan seperti Sagan, sekitar Kotabaru, seputaran Kridosono, dan selingkungan Mandala Krida juga dikotori sampah yang sama.
Di tempat lain juga serupa. Di jalan Palagan Tentara Pelajar misalnya, hari sabtu kemarin (27/03) masih terlihat banner pancang iklan "XL paket Natal 2009".
Apa yang bisa dilakukan? Paling tidak ada dua hal prioritas untuk mengatasi sampah iklan tersebut. Pertama, melalui penegakan hukum secara preventif dan kuratif. Pencegahan bisa dilakukan dengan “penambahan bobot” dalam perizinan. Misal dengan menambahkan syarat perizinan iklan promosi di ruang-ruang publik berupa kontrak yang mewajibkan pemasang iklan mencabut barang-barang promosinya sendiri. Tindakan kuratif bisa diambil aparat melalui observasi dan monitoring lapangan. Bila ditemukan pemasang iklan yang telat mengangkat instrumen promosinya, yang bersangkutan dapat dikenai denda dan sejenisnya.
Kedua, melalui legalisasi “pembersihan” iklan-iklan promosi kadaluarsa. Alat promosi berupa spanduk bentang, banner kain, dan sejenisnya sebenarnya bukan benar-benar tak berharga. Barang-barang itu bisa dimanfaatkan, baik di daur ulang (recycle) atau digunakan lagi (reuse): sebagai pembatas warung-warung makan, alas lesehan dan sebagainya. Hanya saja, selama ini warga tidak berani memanfaatkan sampah-sampah itu, karena dapat dikategorikan pencurian dan bisa dipidana. Untuk itu, diperlukan Perda Kota/Kabupaten yang menghalalkan pemanfaatan sampah iklan tersebut oleh warga.
Persoalan sampah iklan harus diatasi. Kecuali berkenaan dengan hak individual warga atas ruang publik yang secara substantif sehat, Wajah ruang publik kita sebenarnya cerminan peradaban kolektif kita. Sampah iklan merupakan dampak ekoran dari ekspansi pasar ekonomi di dunia modern yang—meminjam Baudrillard (1967)—memaksa orang untuk beranjak dari mode of production ke mode of consumption. Namun demikian, semakin modern kita mestinya semakin beradab. Artinya, seberapapun besarnya ekspansi itu harus diimbangi dengan etika untuk tak melanggar hak individual dan kolektif orang lain. Jika tidak, jangan-jangan benar kata Bruno Latour (1993), we have never been modern.