Pada masa lalu, kalau seseorang kehilangan pekerjaan dia mungkin harus menjual rumahnya. Tetapi tidak di jaman sekarang, apalagi kalau orang itu tinggal di Jakarta, atau kota besar lainnya di Indonesia. Jika ia kehilangan pekerjaan dia hanya perlu membeli rumah karena dia akan mendapatkan penghasilan tambahan.
Lima tahun yang lalu, seorang kawan menutup usahanya. Aneh tapi nyata, kehidupannya malah tampak lebih makmur sesudah itu. Foto jalan-jalan di dalam dan luar negeri, nonton bola, makan-minum di restoran, ketawa-ketiwi, semuanya terpampang di halaman media sosialnya. Apa gerangan yang terjadi pada dirinya? Tidak ada cara selain mengajaknya makan sambil korek-korek rahasia kesuksesannya.
Rupanya jaman telah berubah. Dahulu kala, seseorang harus punya pekerjaan dan kerja keras untuk mampu memiliki rumah. “Itu kuno, sekarang, kalau lu punya rumah, lu ga perlu kerja,” katanya saat itu. Lebih hebat lagi, dia bisa membeli rumah menggunakan uang orang lain. Menurutnya, sudah jarang orang yang membayar 100% tunai atas sebuah properti. Kebanyakan orang membeli properti tidak menggunakan uang miliknya. Malahan, sebagian orang bisa membeli tanpa panjar, asal tahu seluk beluknya.
Garis besarnya saja. Atau secara kasarnya begini, investasi di properti menyediakan kesempatan untuk memfinasir bagian besar dari harga pembelian. Hal ini memberi kesempatan kepada investor untuk meningkatkan daya investasinya, dan seseorang dengan modalnya dapat mengendalikan sebuah properti yang mempunyai kisaran nilai jauh di atas uang yang ia miliki di awal investasi. Semisal anda memiliki uang Rp.300 juta untuk diinvestasikan dan bank bisa membiayai hingga 70% nilai taksir sebuah properti, maka anda berkesempatan memperoleh sebuah properti senilai Rp. 1 milyar. Hal ini berakibat pada potensi pendapatan investasi anda menjadi sangat besar.
Mari kita membanding-bandingkan. Jika anda menginventasikan Rp. 300 juta pada sekelompok saham dan portfolio anda naik 10% maka anda akan mempunyai portfolio saham sehargaRp. 330 juta. Jika anda membelanjakan Rp. 300 juta pada sebuah properti bernilai Rp. 1 milyar dan nilai propertinya meningkat 10% anda akan memperoleh investasi berharga Rp 400 juta. Selain itu juga pajak penghasilan anda bisa berkurang pada investasi properti, sedangkan bertambah pada investasi portfolio saham.
Alhasil, banyak yang berjudi di properti. Apalagi ketika mereka berkesempatan merengkuh keuntungan lebih besar lagi. Ketika media-media massa, beberapa tahun terakhir, memberitakan kenaikan harga properti yang gila-gilaan dan meramalkan kenaikan paling tidak 20% setiap tahun ke depan. Itulah yang mereka harapkan. Mereka percaya bahwa rumah seharga Rp. 500 juta akan menghasilkan investasi berharga Rp. 3 milyar dalam 10 tahun. Itulah yang akan mereka nikmati di depan dengan cara berutang sebesar Rp. 3 milyar dalam kurun 10 tahun.
Mereka tidak peduli dengan harga jual kemudian, yang penting bisa kaya raya saat itu. Yang perlu dilakukan hanya membeli rumah dan mereka akan menjadi kaya. Tidak usah khawatir berapa cicilan yang harus dibayar karena rumah itu yang akan menyelesaikannya. Malahan, penghasilan yang diharapkan orang-orang ini dari kenaikan harga rumah melebihi harapan penghasilan mereka dari pekerjaannya. Tidak ada biaya rumah, semua gratis, karena apabila anda mempunyai rumah seharga Rp. 500 juta dan mengalami apresiasi nilai sebesar Rp. 100 juta atau Rp. 200 juta per tahun, tidak ada masalah. Anda menjadi kaya raya, yang penting koneksi dengan bank terjaga baik. Anda tidak perlu menjual rumah untuk mendapatkan uang, karena anda dapat meminjam nilai apresiasi tersebut dan tetap tinggal di situ.
Tampaknya spekulasi-spekulasi ini berjalan baik hingga kini. Tidak ada yang tergesa untuk menjual kembali segala properti ini. Buat apa menjualnya kalau harga terus naik, malahan bisa membeli properti baru dengan putaran utang yang ada. Kegiatan ini kelihatannya yang ingin dikendalikan Bank Indonesia dengan aturan rasio pinjaman terhadap nilai aset (loan to value/LTV) yang dikeluarkan Bank Indonesia pada Juni 2012. Kelihatannya tidak efektif. Tidak ada yang menjual, semua masih ingin membeli.
Beberapa hari yang lalu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, "Aturan tentang LTV yang lalu sudah kita keluarkan di bulan Juni tahun lalu. Nah, setelah kami amati kami memang memiliki perhatian terhadap pertumbuhan kredit properti khususnya untuk tipe-tipe tertentu." Ujarnya dengan wajah dan suara sedikit gelisah.
"Jadi, kadang ada bank terlalu agresif bukannya hanya membiayai 70 persen, tapi uang muka juga dibiayai dengan pola dan cara tertentu. Itu kami mau yakini tidak dibiayai," ujar Agus. Selanjutnya, BI juga akan mengatur tentang rumah tinggal termasuk rumah susun dan apartemen, namun tidak termasuk rumah toko (ruko) dan rumah kantor.
Kalau diterjemahkan maka masalah terbesar akan menimpa pada bank sebagai kreditur. Apa yang terjadi apabila harga properti jatuh? Kita tahu appraiser (penaksir) rumah terus saja meningkatkan nilai rumah, karena kalau tidak ditaksir tinggi maka mereka akan kehilangan pekerjaan. Debitur yang spekulan tidak takut akan hilangnya aset mereka yang pada dasarnya bukan modal mereka. Jadi, kalau pemilik utang tidak mau bayar, lalu aset-aset yang ada nilainya tidak setinggi yang dibayangkan, maka artinya bank-bank berada pada posisi undercapitalized.
Sebenarnya hal yang terbaik terjadi adalah turunnya harga-harga properti, karena misi pemerintah adalah kepemilikan rumah yang terjangkau. Keadaan menjadi berubah. Sekarang, misinya adalah mempertahankan harga rumah yang tidak terjangkau, memastikan kita sepenuhnya berutang. Meningkatnya harga-harga rumah sudah bukan jadi masalah melainkan solusi perbankan saat ini. Inilah akibat dari juragan properti dadakan. Siapa yang menghadirkan mereka? Ya, siapa lagi kalau bukan kebijakan BI juga.