Di pojokan, Pak Bejo, yang biasa duduk sambil menyeduh kopi tubruk, tampak serius berbincang dengan Pak Man, pemilik warung. "Mas Man, RUU Pilkada lagi dibahas di Jakarta. Gimana menurut sampeyan?"
Pak Man mengelus jenggotnya yang mulai memutih. "Waduh, Pak Bejo, kalau soal itu saya nggak terlalu ngerti. Tapi, kayaknya bakalan ribet lagi, ya? Lha wong Pilkada yang kemarin aja, baru paham aturannya pas udah selesai."
Pak Bejo terkekeh. "Iya, Mas. Nanti Pilkada serentak berubah jadi serentak tapi tidak terlalu serentak. Mungkin biar nggak macet pas hari H, kali ya?"
Di meja sebelah, Mas Yono, mahasiswa yang lagi skripsi tapi lebih sering ngopi, ikut nimbrung. "Pak Bejo, ini lucu, lho. Jadi, tiap ganti pemerintah, aturan Pilkada juga bisa ganti. Udah kayak lomba inovasi."
Pak Bejo tertawa kecil. "Betul juga, Yono. Jadi kayak eksperimen. Siapa tahu nanti Pilkada dibikin mirip ujian skripsi, harus presentasi dulu di depan rakyat."
Mas Yono menimpali dengan semangat, "Wah, kalau gitu kan seru, Pak! Bisa pakai PowerPoint, terus ada sesi tanya jawab. Siapa yang jawabnya paling pede, dia yang menang."
Obrolan semakin ramai ketika Pak Ucok, tukang becak yang sering mangkal di depan warung, ikut bergabung. "Eh, ini RUU Pilkada apaan, sih? Kok dari kemarin semua orang ngomongin?"
Pak Man menjelaskan sambil menyeduh kopi, "RUU Pilkada itu aturan main buat Pemilu Kepala Daerah, Cok. Jadi, ini semacam resep rahasia biar pemilihan lancar. Tapi kadang ya, resepnya kebanyakan bumbu, malah jadi bingung."
Pak Ucok mengangguk-angguk, "Oalah, pantesan rame. Tapi bener kata Mas Yono tadi, kalau kayak skripsi, kayaknya seru tuh! Rakyat bisa kasih nilai langsung, terus ada revisi juga."
Pak Bejo menutup obrolan dengan senyum, "Kalau gitu, siap-siap aja. Nggak cuma para calon kepala daerah yang gugup, kita juga bakal sibuk ngasih nilai. Jogja bisa jadi kampus politik!"
Akhirnya, obrolan bergeser kembali ke hal-hal yang lebih dekat di hati warga Jogja. Tapi satu hal yang pasti, di warung kopi Jogja, topik berat seperti RUU Pilkada bisa terasa ringan, bahkan lucu, kalau sudah dibalut dengan canda dan tawa khas Jogja. Memang, di sini, politik bukan cuma urusan serius, tapi juga urusan ngopi.