Mapag Sri adalah salah satu adat/budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Mahaesa dan juga penghormatan kepada kaum perempuan sebagai wujud lain dari penghormatan kepada Dewi Sri yang dikenal sebagai representasi dari tanaman padi. Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen. Meskipun panen ini berlangsung setiap tahun, Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan setiap tahunnya Ada beberapa faktor yang menyebabkan upacara ini tidak bisa selalu dilaksanakan seperti faktor keamanan, dan faktor buruknya hasil panen sehingga upacara ini tidak dapat dilaksanakan. Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Mahaesa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan. Sebelum melaksanakan upacara, biasanya kepala desa mengadakan musyawarah/rempugan dengan sesepuh desa atau pemuka masyarakat. Maksud rempugan tersebut untuk menentukan hari dan dana yang diperlukan untuk upacara. Usai musyawarah, para pamong desa melakukan pengecekan ke sawah-sawah. Bila benar padi telah menguning, segera mengadakan pungutan dana secara gotong-royong. Besarnya pungutan bergantung kemampuan masyarakat.
Dalam Upacara Adat Mapag Sri, terdapat 4 (empat) rangkaian yang mengalami proses komunikasi yaitu Bogbogneng, Sedekah Bumi, Mapag Tamba, dan Mapag Sri. Komponen komunikasi melibatkan media tradisional yaitu penggunaan bahasa Indramayu, dan pamong desa serta masyarakat terlibat dalam peristiwa upacara adat Mapag Sri. Keterkaitan antar komponen menimbulkan perilaku yang khas seperti temohan, adang-adangan, irim-irim, dan rombongan.
Selain itu ada hal menarik yang perlu diketahui yaitu mitos mengenai upacara adat Mapag Sri ini, banyak orang yang beranggapan dan percaya bahwa jika upacara adat Mapag Sri ini tidak dilaksanakan maka akan terkena bencana alam dan mengalami gagal panen bagi para petani. Telah disebutkan diatas bahwa upacara adat Mapag Sri merupakan penghormatan ketika menjelang musim panen padi dan juga kaum perempuan. Hal tersebut merupakan pertanda yang ada di dalam sosok Dewi Sri dalam upacara adat Mapag Sri. Pertanda ini bersifat abstrak dan bisa disebut pertanda ini merupakan ideologi dari Dewi Sri dalam upacara adat Mapag Sri. Menurut (Warren, 1997) mengacu kepada pandangan ecological feminist atau biasa disebut ecofeminist, adanya hubungan penting antara perempuan dan alam. Hubungan ini menurut Mies & Shiva, sebagaimana dibahas Priyatna (2017) bahwa lingkungan dan feminisme tidak terlepas dari adanya kesamaan situasi dan posisi perempuan  dan alam yang selalu ditindas oleh  sistem  patriarkal.  Selain  itu,  peran  perempuan  yang  secara  biologis  dapat "melahirkan" dianggap memiliki kesamaan dengan alam. Di beberapa kebudayaan seperti Indonesia, acuan terhadap alam hampir selalu bersifat feminin. Salah satunya Mapag  Sri yang  merupakan  perayaan  terhadap  keberhasilan  atau  kesuburan  alam  dalam "melahirkan" padi. Mitos Dewi Sri dalam upacara adat ini tidak saja mengenai  bentuk rasa syukur menjelang masa panen namun juga sebuah bentuk representasi dari peduli lingkungan dan menghormati perempuan yang ditandai oleh sosok Dewi Sri. Dalam tulisannya, Heryana (2012) menyebutkan bahwa mitologi perempuan khususnya pada Suku Sunda salah satunya Dewi Sri, sangat berhubungan erat dengan kehidupan pertanian. Tipikal tokoh Dewi Sri merupakan simbol spiritual perempuan, yang tercermin dalam sifat-sifat teguh pendirian, bijaksana, pengayom, dan pendidik. Upacara adat Mapag Sri merefleksikan feminimitas Dewi Sri. Citranya sebagai perempuan diangkat, diistimewakan dalam setiap rangkaian upacara adat.