Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Bukan Untuk Menjajah Namun Menjadi Rakyatnya

18 Agustus 2015   14:39 Diperbarui: 18 Agustus 2015   14:39 64 0
Handai taulanku orang Tionghoa Indonesia sekalian, nenek moyang kita datang ke negeri ini bukan untuk jalan-jalan namun menetap. Itu sebabnya sekali menginjak negeri ini tidak kambali lagi ke kampungnya. Mereka tidak datang untuk belanja namun mencari kehidupan yang lebih baik. Begitu mendarat mereka segera bekerja. Begitu uang didapat mereka segera membangun rumah. Ketika uangnya cukup mereka pun membeli tanah.

Kerabatku orang Tionghoa Indonesia sekalian, para pendahulu kita datang ke negeri ini bukan untuk menjajah namun menjadi rakyatnya. Bukan mengeruk segala kebaikan negeri ini untuk dibawa pulang ke kampungnya namun membangun negeri ini sebagai kampung halamannya. Itu sebabnya semua uang yang mereka kirim ke Tiongkok hanya untuk menolong handai taulan yang kekurangan bukan keuntungan dagang apalagi pampasan perang yang dibawa pulang. Makanya, meskipun banyak uang yang dikirim namun mereka tak pernah pulang.

Hai kerabatku sekalian, ketahuilah bahwa sejak purbakala orang Tionghoa bukan benalu yang hanya menyerap semua kebaikan negeri ini tanpa sumbangsih sama sekali. Sejarah mencatat bahwa orang Tionghoa tidak kekurangan andil dalam perjuangan Indonesia merdeka. Bahkan orang Tionghoa diakui sebagai yang paling rajin membangun negeri ini di alam kemerdekaan.

"Lahir di Indonesia, besar di Indonesia menjadi Putra-putri Indonesia" adalah semboyan yang dikumandangkan oleh Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI Semarang tahun 1933.

Tionghoa Hweekwan (zhonghua huiquan 中華 會館) adalah LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) pertama yang didirikan oleh orang non Belanda di Hindia Belanda dengan tujuan untuk membangkitkan semangat kebangsaan Tionghoa dan melawan penindasan kolonial Belanda.

Mungkinkah Tionghoa Hweekwan yang menginspirasi anak-anak muda Jawa mendirikan Boedi Oetaomo pada 20 Mei 1908? Saya tidak tahu.

Namun pata tahun 1904, Raden Muhamad Umar, seorang Kyai di Kendal menulis surat kepada Tionghoa Hweekwan Batavia untuk meminta keterangan tentang kegiatan-kegiatan mereka. Pada tahun 1919, Radja Sabarudin presiden Boedi Oetaomo minta izin untuk menghadiri rapat-rapat Tionghoa Hweekwan untuk mempelajari metode dan teknik organisasi mereka.

Untuk mencapai tujuan pendiriannya, Tionghoa Hweekwan yang didirikan pada 17 Maret 1900 mendobrak dominasi dan diskriminasi Belanda di sektor pendidikan dengan mendirikan sekolah Tionghoa Haktong (zhonghua xue tang 中華 學堂) dengan bahasa pengantar mandarin pada 17 Maret 1901. Sekolah ini merupakan sekolah swasta modern pertama di Hindia Belanda.

Pada 2 September 1901 Tionghoa Hweekwan mendirikan sekolah Tionghoa Haktong dengan bahasa pengantar Inggris. Pada tahun 1904 Tionghoa Haktong bahasa Mandarin dan Inggris digabungkan menjadi satu.  

Melalui sekolah Tionghoa Haktong orang Tionghoa menolak dominasi kolonial Belanda yang mengharuskan bahasa Belanda menjadi satu-satunya bahasa pengantar di sekolah dan Pemerintah Hindia Belanda yang berhak menentukan siapa saja yang boleh sekolah.

Kongzi berkata, “Youjiao wulei 有教無類, ada pendidikan tidak ada diskriminasi. Lunyu 15:39 - Weilinggong

Selain mengajarkan bahasa mandarin dan bahasa Inggris, sekolah Tionghoa Haktong juga mengajarkan bahasa Melayu. Orang-orang Bumi Putera tidak sekolah di sekolah Tionghoa Haktong bukan karena ditolak namun karena mereka tidak berminat. “Ada pendidikan tidak ada diskriminasi” adalah prinsip yang dipegang dan ditaati oleh sekolah-sekolah yang didirikan oleh Tionghoa sampai hari ini.

Mungkinkah sekolah Tionghoa Haktong yang menginspirasi Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada Juli 1922? Mungkinkah pengajaran bahasa Melayu di sekolah Tionghoa Haktong dan penggunaan secara luas oleh orang-orang Tionghoa yang mendorong bahasa Melayu menjadi lingua franka (bahasa pergaulan) di Hindia Belanda? Saya tidak tahu.

Faktanya, sekolah Tionghoa Haktong membuat orang-orang Tionghoa melek huruf dan haus akan bacaan. Itu sebabnya penerbitan dan pers Tionghoa pun muncul di mana-mana. Pada tahun 1931 ada 31 koran Tionghoa berbahasa Melayu di Hindia Belanda. Faktanya selama kurun waktu 1870-1960 ada lebih dari 3.005 karya sastra Melayu Tionghoa dari 806 penulis Tionghoa. Baik jumlah penulis maupun tulisannya jauh di atas karya sastra penulis Bumi Putera.  Sastra Melayu Tionghoa tidak diakui sebagai sastra  Indonesia Modern karena ditulis oleh orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu Pasar. Yang diakui hanya tulisan-tulisan Bumi Putera dengan bahasa Melayu Tinggi.

Tionghoa Hweekwan juga membangkitkan semangat kebangsaan Tionghoa. Pada tahun 1902, karena kesal dengan perilaku serikat dagang Belanda (HVA - Handels Vereeniging Amsterdam) yang mau menang sendiri maka 80 orang pengusaha besar Tionghoa Hweekwan yang dipimpin oleh Tjo Sik Giok dan Tjo Tjie pun membuat kesepakatan dan mengajak semua pengusaha Tionghoa untuk melakukan aksi menolak berdagang dengan HVA.

Atas permintaan HVA beberapa bank mengirim surat ancaman tidak akan memberi kredit bila boikot tidak dihentikan. Atas permintaan HVA Asisten Resident Surabaya memberi perintah agar boikot dihentikan. Para pengusaha Tionghoa menganggap ancaman-ancaman demikian angin lalu.

Karena putus asa, HVA lalu membawa kasus tersebut ke pengadilan namun sayang mereka kalah sehingga harus membayar denda sebesar 25.000,- gulden pada tahun 1906. Para pengusaha Tionghoa lalu menyumbangkan uang tersebut untuk membangun Klenteng Boenbio.

Msekipun pihak Orde Baru berusaha menghapusnya dari sejarah namun faktanya: Wage Rudolf Supratman pencipta lagu Indonesia Raya adalah wartawan harian Sin Po, harian Tionghoa berbahasa Melayu yang meliput dan memberitakan serta mendukung kongres pemuda II. Dalam kongres pemuda II itulah lagu Indonesia Raya dinyanyikan pertama kalinya. Di dlam kongres itu pula untuk pertama kalinya Sumpah Pemuda diucapkan. Itu sebabnya kongres ersebut dikenal dengan nama Sumpah Pemuda 1928.

Lebih lanjut, Sumpah Pemuda 1928 dilaksanakan di rumah Sie Kong Liong, orang Tionghoa. Pemuda Tionghoa yang hadir dalam pertemuan itu mewakili Pemuda Tionghoa Hweekwan
adalah: John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Kehadiran Kwee Thiam Hiong sebagai wakil Jong Sumatranen Bond adalah bukti bahwa keterlibatan pemuda Tionghoa dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terjadi di Batavia saja.

Perang Kemerdekaan adalah perang melawan Belanda dan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Siapakah yang membiayai TNI dalam perang tersebut? Dari mana TNI mendapatkan uang untuk membeli senjata dan amunisi serta logistik? Meskipun Orde Baru menghapusnya dari sejarah namun faktanya orang-orang Tionghoa secara sukarela turut membiaya perang tersebut.

Hari ini 17 Agustus 2015. Indonesia sudah merdeka 70 tahun. Dalam hal pendidikan, setelah pemerintah, siapa yang memberi sumbangsih terbesar? Orang Tionghoalah yang paling banyak mendirikan sekolah dan universitas di Indonesia. Setelah pemerintah, orang Tionghoalah yang paling banyak mendirikan rumah sakit di Indonesia.  

Sejak Merdeka sampai sekarang, persentase jumlah orang Tionghoa Indonesia hampir tidak berubah yaitu sekitar 4%. Ketiga terbesar setelah orang Jawa dan Sunda.

Tanpa tedeng aling-aling, dalam orasi kampanye di GBK (Gelora Bung Karno) Jakarta, Minggu 23 Maret 2014, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan. “Orang Tionghoa, yang nota bene adalah pendatang, menguasai 80% perekonomian Indonesia. Di mana 10 orang terkaya di Indonesia, sebagian besar konglomerat Cina. Mereka menghisap darah bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai parasit, tetapi sudah menjadi predator.”

Kenapa orang-orang Tionghoa bisa menguasai 80% perekonomian Indonesia padahal selalu dipaksa untuk membayar lebih mahal dan dipaksa membayar uang komisi bakan dipaksa untuk membayar upeti agar bisa menjalankan usahanya dengan tenang? Padahal tidak pernah mendapat fasilitas dari pemerintah?

Apa yang terjadi pada 700 orang pengusaha “pribumi” alias non Tionghoa yang mendapat kucuran dana pemerintah Rp. 4,7 miliar lewat program Gerakan Banteng tahun 1950-1957? Program Banteng direncanakan oleh Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo. Rp. 4,7 miliar tahun 1950-1857 itu setara dengan berapa triliun nilai sekarang ya? Sejarah mencatat bahwa mereka bukan bangkrut karena gagal dalam usahanya namun MENYELEWENGKAN dana yang diterimanya untuk bersenang-senang.

Handai taulanku orang Tionghoa sekalian, adalah FAKTA bahwa orang Tionghoa adalah yang paling bekerja KERAS untuk membangun perekonomian negeri ini. Penguasaan atas 80% perekonomian Indonesia adalah buktinya.

Alih-alih menyatakan hormat dan terima kasih Prabowo justru menuduh orang Tionghoa menghisap darah bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai parasit, tetapi sudah menjadi predator.

Alih-alih meneladani DR. Sri Bintang Pamungkas menuduh kelompok Cina ingin menguasai kedaulatan politik, dan ikut dalam usaha-usaha pengambil alihan kekuasaan melalui pemilu.

Kerabatku sekalian, apakah tuduhan Prabowo benar adanya? Apakah dakwaan Sri Bintang Pamungkas benar?

Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya bertanya, apa jadinya bangsa Indonesia pada ulang tahun kemerdekaannya yang ke 70 tanpa orang Tionghoa? Bagaimana cara rakyat Indonesia menjalani 70 tahun kemerdekaannya tanpa orang Tionghoa? Dengan dana berapa pembangunan negara ini selama 70 tahun tanpa orang Tionghoa? Kurangi saja dengan 80%. Apa jadinya bangsa Indonesia tanpa 80% perekonomiannya yang dikuasai orang Tionghoa?

Kalau orang Tionghoa adalah pendatang dan parasit bahkan predator di negeri ini kenapa Prabowo tidak menyebutkan jumlah yang digondol dan dibawa pulang ke kampung halamannya?   

Jumlah orang Tionghoa di Indonesia hanya 4%. Anak kecil juga tahu, mustahil menguasai kedaulatan politik dan mengambil alih kekuasaan lewat Pemilu.

Kerabatku sekalian, sebagai orang Tionghoa, sejak kecil saya menerima ancaman seperti anda, “Hai Cina, ingat elu cuman numpang di negeri ini. Hati-hati! Jangan blagu!”

Ketika nggak sanggup menahan kemarahan, terhadap anak-anak yang mengancam demikian saya berteriak, “Hai pribumi, ingat bapak elu kerja sama siapa? Tanya bapak elu, dia masih mau kerja nggak? Jangan blagu! Kalau bapak elu dipecat elu mau makan apa? Jangan adigung adiguna!”

Setelah dewasa, menghadapi ancaman demikian umumnya saya bertanya, “Bang kalau semua Cina minggat dari Indonesia elu mau kerja sama siapa? Elu mau pinjem duit tanpa bunga sama siapa? Elu pikir kalau nggak ada Cina elu bakal kaya-raya? Mimpi!”     

Handai taulanku Tionghoa Indonesia sekalian, saya mengungkapkan fakta-fakta sejarah di atas untuk mengingatkan agar kita tetap konsisten bahwa para pendahulu kita datang ke negeri ini bukan untuk menjajah namun menjadi rakyatnya. Bukan untuk mengeruk segala kebaikan negeri ini namun untuk membangunnya sebagai kampung halaman. Mari kita membangun negeri ini dan menjaganya untuk diwariskan kepada anak cucu generasi ini.

Kerabatku sekalian orang-orang non Tionghoa. Empat penjuru lautan adalah saudara! Saya menceritakan kisah-kisah orang Tionghoa di atas bukan untuk mencari nama apalagi untuk mengagul-agulkan Tionghoa Indonesia namun untuk menunjukkan kepadamu bila engkau belum tahu bahwa dalam hal mengabdi negeri ini orang Tionghoa tidak setengah-setengah. Dalam hal bekerja membangun negeri ini orang Tionghoa tidak mengenal lelah. Namun kita adalah INDONESIA! Salam MERDEKA!

“Tanah yang memberi engkau makan adalah negerimu! Bangunlah! Rawatlah! Pertahankan, bila perlu dengan mengorbankan nyawamu! Rakyat negeri ini adalah orang sekampungmu. Rukunlah! Saling menjagalah!” Itulah amanat kakekku kepada ayahku yang diwariskan kepadaku. Engkau mau MERUSAK negeri ini? Langkahi dulu mayatku!

Jakarta, 17 Agustus 2015
bila aku mati hari ini
kutitipkan anak istriku
untuk dijaga bangsa ini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun