Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

5 Hal Tentang Sinetron di Indonesia

5 Januari 2012   22:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 459 3
Bertahun-tahun saya hidup di Indonesia, salah satu hal yang membuat saya kesal adalah adanya sinetron. Waktu kecil, waktu zamannya film “anak ajaib”, “pernikahan dini”, “Jin dan Jun” saya masih sempat nonton karena memang jarang ada tontonan lagi di televisi swasta waktu itu. Tapi sekarang kelihatannya sinetron di Indonesia semakin ngawur, baik dari sisi cerita dan pesan moralnya. Berikut ini yang saya pikirkan mengenai sinetron di Indonesia.

1. Cerita monoton dan tidak berkualitas
Keluarga saya banyak yang hobi nonton sinetron. Jadi ketika makan malam, kami melakukannya sambil nonton sinetron. Mau tidak mau saya harus menelan nasi ditemani oleh artis yang menangis. Ketika sekilas melihat, saya menebak-nebak akhir episode ini. Banyak yang sesuai dugaan, bahkan dugaan yang ada di kepala saya lebih seru dibandingkan dengan cerita aslinya. Ceritanya yang monoton dan tidak berkembang sebenarnya membuat saya merasa aneh, karena keluarga saya serius sekali menontonnya. Adegan yang paling membuat saya ingin menjitak pemainnya adalah ketika pemain sedang berbicara dalam hati, atau ketika memperlihatkan wajah pemain begitu lama, tanpa dialog, yang ada hanya musik menegangkan (musik ini sebenarnya ada dari awal hingga akhir sinetron).

2. Banyak adegan kekerasan
Ditampar – nangis- ditampar lagi – nangis lagi – berlari – ditabrak mobil. Adegan menampar ini sebenarnya saya khawatirkan untuk perkembangan anak-anak yang menonton acara ini. Mereka mungkin akan menganggap menampar sebagai salah satu solusi yang bisa dilakukan ketika kesal. Pernah saya komplain kepada Ibu agar tidak menonton sinetron bersama anak-anak. Beliau berkilah,”ya, biar adegan kayak gini gak diikutin” (palm face!). Kenapa tidak nonton yang bisa diikuti aja, instead of nonton yang tidak harus ditiru. Kan anak-anak belum bisa mencerna apa yang dilihatnya.
3. Mendidik anak-anak untuk berkata yang tidak baik
“Dasar wanita mur**a**ha**n!”. waduh, ketika adegan ini terjadi, dan anak-anak nonton, saya juga ikutan khawatir. Jangan-jangan di sekolahnya, kalau dia sedang kesal dia akan melontarkan kata-kata ini.
4. Tidak realistis dan berlebihan
Pasti kita semua tahu, kalau hampir tidak ada adegan dalam sinetron terjadi di kehidupan nyata. Satu hal yang perlu jadi sorotan adalah, kebanyakan dari adegan sinetron ini menampilkan kemewahan dan keangkuhan. Hal ini tentunya memberikan pengaruh kepada (terutama) Ibu-ibu untuk mengikuti gaya hidup seperti ini. Meskipun uangnya tidak ada, yang penting angkuhnya masih ada..
5. Masih ada yang mau nonton
Nah, ini dia yang paling saya herankan. Banyak yang suka dengan sinetron. Tapi kalau dilihat-lihat, penontonnya tidak jauh dari kalangan orang tua, atau orang yang benar-benar tidak ada kerjaan. Untuk orang-orang berpendidikan, jarang saya lihat yang menonton sinetron.
Apa yang saya tulis di sini merupakan kekhawatiran saja terhadap masyarakat yang terus dihadapkan pada pembodohan setiap hari. Banyak hal yang bisa dilakukan selain menonton sinetron. Toh tayangan di televisi sekarang bukan hanya sinetron saja. Banyak acara-acara berita, ya walaupun harus disaring juga beritanya, yang bisa dilihat untuk membuat masyarakat yang lebih cerdas dan bisa “think globally, act locally”.

Semoga apa yang saya pikirkan ini bisa diambil manfaatnya. Untuk Indonesia yang lebih baik.

“Bukan masalah ketika kita jatuh, yang penting adalah seberapa cepat kita bangkit kembali”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun