Sebuah sms nyelonong masuk ke inbox ponsel di saku kemejaku yang terhimpit para penumpang krl ekonomi Jakarta Bogor yang take off dari Stasiun Bogor pukul 07.00. Tertulis identitas pengirim, ‘Bidadari Surgaku’. Hmm… rupanya sms dari isteri tercinta. ‘bi…adenya fathir sdh lahir td pagi jam 6. cowo lg hehe…alhamdulillaah’ (30.05.11,06:30). Terbersit kebahagiaan di hatiku atas berita sukacita ini. Proses kelahiran lancar dan normal dengan kondisi Ibu dan bayi selamat bin sehat wal afiat. Itulah yang menggerakkan kedua bibirku tuk berujar ‘Alhamdulillaah..!. Anganku pun melayang pada saat-saat kelahiran putra ketigaku, Zian Thoriq al-Mustanir, 28 Februari 2011 lalu. Masih lekat dalam ingatanku, proses kelahirannya yang ku monitoring setiap detiknya. Mulai dari teriakan sang istri yang merasa ‘kesakitan’ dengan kontraksi yang terus berulang dan berulang. Kondisi ini sempet membuatku shock. Tak tega melihat istri meraung-raung menahan sakit. Tak ayal, perasaan bersalah pun menyelinap di relung hatiku. ‘Gara-gara’ aku, istri jadi hamil lagi dan kembali merasakan perjuangan seorang Ibu seperti yang pernah dialaminya saat anak pertama kami, Ghozi Ahnaf al-Hafizh (7th) dan kedua kami, Fawwaz Haziq al-Anshar (3th) nongol ke dunia. Tapi aku coba netralisir perasaan ini. Bahwa apa yang tengah terjadi adalah bagian dari perjalanan sebuah keluarga yang Rasul contohkan sebagai jalan halal melestarikan jenis manusia. Jadi, bukan aku saja yang berperan, istri juga. Betul apa betul?! Beladiri.com! Balik ke proses kelahiran. Untuk pertama kalinya aku mengikuti detik-detik mendebarkan saat bayi keluar dari rahim. Subhanallaah..tak hentinya kalimat tasbih itu keluar dari mulutku berulang kali. Ada perasaan risau, ngeri, hingga mual. Yup, rupanya aku belum siap untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri darah, air ketuban, dan ari-ari yang keluar berbarengan dengan tangisan sang bayi. Hingga aku segera beranjak meninggalkan sang istri yang tengah mengatur napasnya dan bidan yang sibuk mencegah ari-ari agak tidak balik ke rahim yang akibatnya bisa mematikan. Aku terduduk di sofa menahan perasaan mual dan kepala pusing, seperti orang mau pingsan. Beneran. Kejadiannya jam 4 pagi. Ngerasa aneh juga. Kok bisa-bisanya mau pingsan?!
Cowok lagi euy! Kutuliskan impianku memiliki anak ke-3 berjenis kelamin perempuan di atas selembar karton putih saat kuikuti pembelajaran praktis Hidup Berlimpah Hidup Berkah (HBHB) di Bandung, bulan Mei 2010 lalu. Ternyata Allah swt belum mengizinkan kami untuk punya kompetitor yang bisa menyaingi kecantikan sang istri. Ketiga anakku (cucu ke-2, 3, dan 5 dari keluarga istri) terlahir normal dengan jenis kelamin sama dengan abinya. Dan kini, cucu ke-enam dari Bpk Sahroni alias bapak mertuaku cowok lagi. Padahal seperti halnya aku dan istri, keluarga kakak iparku juga merindukan tangisan bayi perempuan di rumahnya. Namun Allah berkehendak lain, tapi tentunya selalu ada kebaikan dibalik kehendak Allah. Belon waktunya kali yaaa… Jadi, kalo di itung-itung enam pejantan tangguh bakal kumpul di rumah mertuaku di sawangan lebaran ini. Hmm…kebayang deh gimana serunya. Baru empat aja yang ngumpul dan bermain bersama, neneknya berulang kali teriak dan tertawa menyaksikan tingkah polah cucu-cucunya yang unik satu sama lain. Kebayang kalo dua lagi udah bisa berjalan dan bermain bersama. Bukan cuman neneknya, bisa-bisa abah, umi, abi, ayah, dan mamanya juga ikutan teriak dan tertawa ketika perasaan risau, marah, geli, dan bahagia bercampur jadi satu. Meski sering kali menjengkelkan, nggak bisa bo’ong kalo para orang tua juga merindukan kehadiran seorang bocah-bocah kecil pengurai rasa jenuh penguntai rasa bahagia sebuah keluarga. Alhamdulillaah…Aku bersyukur kepadamu ya Allah karena Engkau telah mengamanahkan kepada kami tiga orang pejantan tangguh untuk kami bina menjadi para mujahid pejuang Islam penerus estafet perjuangan Muhammad al-Fatih dan pengobar semangat Sholahuddin al-Ayyubi.
Cowok/Cewek, Gak Papa Kok! Allah swt nggak pernah mempermasalahkan jenis kelamin hamba-Nya. Mau cewek apa cowok, di hadapan Allah swt sama aja. Yang bedain kelak di yaumul hisab, cuman ketakwaaannya. Allah swt berfirman yang artinya “
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (QS. Al-Hujuraat: 13). So, kita sebagai orangtua nggak akan disalahin karena jenis kelamin anak-anak kita. Tapi kita nggak bisa lari dari tanggung jawab untuk mendidik anak-anak menjadi para pewaris surga. Karena itu yang akan ditanyain kelak di yaumul hisab. Cewek-cowok emang sama dihadapan Allah. Tapi bukan berarti orang tua dilarang merindukan dua jenis kelamin sebagai ahli warisnya. Bukan juga karena sentimen jenis kelamin biar kita bisa berbangga di hadapan teman-teman. Macho seperti bapaknya atau cantik bin feminin seperti ibunya. Nggak kok. Karena anak adalah produk hasil kerjasama kedua belah pihak, secara biologis sangat memungkinkan sifat genetis dari kedua orang tua berkumpul di satu jasad putra/putrinya. Dalam pengamatanku, kerinduan akan dua jenis kelamin sebagai ahli waris lebih kepada keinginan orang tua menjalani dua pola pengasuhan. Seperti keinginan ‘Bidadari Surgaku’. ‘Kalo perempuan mungkin lebih pendiam dan ‘mudah dikendalikan’ ya bi..’ ujar istri saat menyaksikan Ghozi dan Fawwaz lagi ‘berselisih’ mainan yang berujung salah satu atau keduanya menangis berurai air mata. Bisa ya bisa tidak. Karena ada juga anak perempuan yang juga super aktif seperti laki-laki. Atau sebaliknya, anak laki cenderung feminin seperti perempuan. Dengan mengalami dua pola pengasuhan berarti orang tua memiliki tambahan ilmu dalam hal pendekatan terhadap putra dan putrinya. Sehingga bisa menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak-anak tercintanya. Tidak memanjakan, tidak juga memasungnya. Tapi disesuaikan dengan ‘jenis kelaminya’. Karena sifat dan karakter anak cewek-cowok sebagai manusia, sewajarnya ngasih respon yang berbeda terhadap intruksi dan pola kerjasama yang ditawarkan kedua orangtuanya. Yang perlu kita garis bawahi, setiap perilaku anak-anak adalah cerminan dari apa yang dipahaminya. Meski proses berpikirnya belum sempurna hingga mereka akhil balig, tapi mereka sudah bisa memilih apa yang disenangi dan apa yang dibencinya. Kita sebagai orangtuanya berperan penting dalam membenamkan keyakinan yang benar dan diridhoi Allah dan Rasul-nya tentang apa yang seharusnya disenangi dan dibenci oleh anak-anak. Bukan dalam hal selera, tapi lebih kepada sikap hidup. Sehingga perlahan namun pasti, terbentuk sebuah pemahaman yang benar tentang hidup yang akan menjadi bekalnya kelak saat mereka tumbuh dewasa dan mulai ‘menjauh’ dari orang tua. So, kami masih berharap Allah swt kelak mengizinkan tangisan bayi perempuan melengkapi canda tawa abang Ghozi, celoteh Abang Fawwaz, atau riang tawa abang Zian. Sehingga kami juga bisa ikut berperan dalam melahirkan generasi penerus Aisyah binti Abu Bakar atau Fathimah az-Zahra binti Muhammad. Kalo yang ke-empat cowok lagi, mungkin yang ke-enam, ke-tujuh, atau yang ke-sepuluh. Yang penting terus berusaha dan berbaik sangka. Amiin. [341]
KEMBALI KE ARTIKEL