Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kedamaian itu ada diantara "mengetahui" dan "menyebutkan"

16 Oktober 2012   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:46 140 0
Dimana ada kehidupan disitu ada kedamaian. Itu adalah sebuah tesis klasik dambaan ideal semua umat manusia. Namun sayangnya realitasnya konflik bak jamur di musim penghujan, baik itu konflik antar and intra agama maupun konflik yang sifatnya tribalistik.

Sering saya terusik ketika ada beberapa teman yang pernah berbicara kepada saya dan menggunakan kata “kafir” untuk menyebut mereka yang berbeda agamanya dengan kami. Saya kemudian berhenti menghela nafas sebagai rasa simpati kepada mereka yang menjadi objek dari istilah tersebut. Sesaat setelah itu saya bertanya ke teman tersebut, “mengapa kamu menyebut mereka kafir?,” dia menjawab karena mereka mempersekutukan Tuhan yang kita percayai”. Kutanya lagi, apa dasarmu menyebut mereka kafir? Trus dia menjawab “di dalam kitab suci kita dijelaskan seperti itu bahwa mereka yang mempersekutukan Tuhan kita termasuk golongan orang-orang kafir”.

Sejenak kuterdiam meratapi pemahamannya tersebut terhadap ayat-ayat Tuhan dalam kitab suci. Memang setiap agama punya konsep sendiri dalam menyebut mereka yang berbeda kepercayaan dengannya. Salah satu agama menyebut mereka yang tidak mempercayai Tuhan yang mereka percaya sebagai “domba-domba sesat”, yang kuterjemahkan sedikit sinonimous dengan kata kafir tersebut walaupun terdapat perbedaan substansial pasinya (mohon dikoreksi jika pemahamanku mengenai “domba-domba sesat tersebut diluar dari konteks yang seharusnya).

Kujelaskan dengan tenang tentang pemahamanku bahwa kita sesama ciptaan Tuhan tidak punya hak menjudge siapa kafir dan siapa yang bukan. Kitab suci memberi kita gambaran tentang apa dan bagaimana itu kondisi “kafir” untuk kita ketahui dan tidak mengikutinya tanpa harus kita gunakan menjudge mereka yang tidak mempercaya Tuhan kita sebagai “kafir”. Antara mengetahui dan menyebutkan atau memberi label adalah 2 kegiatan yang berbeda dan tidak harus saling mengikuti satu sama lain. Dalam konteks diskurus mengenai “kekafiran” cukup untuk kita ketahui saja apa dan bagaimana itu orang-orang “kafir” tanpa harus menjudge atau melabeli melalui lisan orang-orang yang termasuk dalam kategori tersebut sebagai “kafir”.

Saya meminta teman tersebut untuk membayangkan dirinya berada dalam posisi mereka yang tidak mempercayai Tuhan kita dan mendengar orang-orang dari salah satu agama menyebut dia atau melabelinya “kafir”. Spontan dia menjawab “itu tidak mungkin”. Saya bilang ke dia, “membayangkan saja kamu tidak rela apalagi mau berempati ke orang-orang yang berbeda, bagaimana kita mau hidup dalam satu sama lain????? Bukankah salah satu tujuan kehidupan adalah menciptakan kedamaian?

Kemudian saya menambahkan. Jika saya seorang cacat dan ada seseorang yang memanggil saya cacat maka sungguh pasti saya akan marah besar. Tapi ketika ketika orang mengetahui (dalam pikiran) bahwa saya cacat maka saya akan baik-baik saja karena saya memang cacat pada hakikatnya, tapi bukan berarti orang-orang berhak menyebut saya cacat. Jadi antara mengetahui dan menyebut adalah dua kegiatan yang tidak harus saling mengikuti satu sama lain. Sungguh marahnya saya ketika ada yang tiba-tiba datang dan berkata seperti ini, “Cacat, kamu tahu dimana kantor kelurahan?” bukan jawaban yang akan kuberikan kepadanya melainkan sesuatu yang lain..

Dalam konteks kafir dan cacat ini, hendaknyalah kita hanya berbuat hanya dalam batas ranah mengetahui dan harus menahan diri untuk berpindah ke ranah penyebutan karena ada beberap hal yang dimana yang dibutuhkan adalah hanya kemampuan kita untuk tahu tanpa diikuti oleh kemampuan kita menyebut atau memberi label. Bukankah hidup damai adalah dambaan semua agama tanpa terkecuali???? Yakin dan percaya bahwa didalam kondisi kompleks dan multikultur seperti saat ini yang menjadi dambaan kita semua adalah kedamaian, dan kedamaian itu berada diantara kondisi mengetahui dan menyebutkan..

Terima kasih....

Salam

HH

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun