Namanya Raeni, wisudawati dari fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi Universitas Negeri Semarang (UNNES), IPK nya tak main-main, 3,96. Raeni menjadi pusat perhatian ketika wisuda ia diantar oleh ayahnya, bukan karena diantar ayahnya Raeni mendapat sorotan luas, baik media lokal di Semarang serta beberapa media nasional, Media tersebut membuat Raeni menjadi berita dihadapan publik karena prestasinya dan riwayat ayahnya, ya, Raeni wisuda dengan diantar ayahnya yang tukang becak.
Orang tua Raeni bekerja sebagai tukang becak yang setiap hari mangkal tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Langenharjo, Kendal. Pekerjaan ini dijalani Mugiyono setelah ia berhenti sebagai karyawan di pabrik kayu lapis. Sebagai tukang becak, penghasilan Mugiyono tak menentu, antara Rp10 ribu – Rp 50 ribu. Karena itu, ia juga bekerja sebagai penjaga malam sebuah sekolah dengan gaji Rp450 ribu per bulan.
Meski dari keluarga kurang mampu, Raeni berkali-kali membuktikan keunggulan dan prestasinya. Penerima beasiswa Bidikmisi ini beberapa kali memperoleh indeks prestasi 4. Sempurna. Raeni juga menunjukkan tekad baja agar bisa menikmati masa depan yang lebih baik dan membahagiakan keluarganya.
Apa yang dibuktikan Raeni menjadi contoh sukses bagaimana berhasilnya program keluarga berencana yang dilakukan oleh seorang tukang becak. Pemahaman yang sedehana akan keluarga berencana dibuktikan pertama karena dengan memiliki dua anak, ayah Raeni dapat fokus membesarkan anaknya walau hanya menjadi tukang becak. Bisa dibayangkan bagaimana jika ayah Raeni memiliki banyak anak. Anak-anaknya mungkin akan kehilangan perhatian dan juga pendidikannya nanti.
Investasi itu adalah keluarga berencana
Apa yang dialami Raeni mungkin saja dialami banyak keluarga di Indonesia. Penghasilan yang pas-pasan menjadi tidak karuan jika tak mampu membuat program keluarga berencana. Karena sejatinya keluarga merupakan pilar dari sebuah bangsa. Dari dalam keluarga generasi penerus sebuah bangsa dilahirkan, disiapkan dan dididik. Bagaimana pembangunan sebuah bangsa terlihat dari sejauh mana pembangunan keluarga dijalankan.
Hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun. Sebuah angka yang mengkhawatirkan Jika angka tersebut tak mengalami penurunan hingga tahun 2045, maka jumlah penduduk Indonesia akan meledak menjadi 450 juta jiwa. Sementara menurut World Population Data Sheet 2013, angka fertilitas di Indonesia sebesar 2,6 yang berarti lebih tinggi dibandingkan rata-rata ASEAN sebesar 2,4.Berdasarkan data BPS tahun 2013 ada 64 juta keluarga di Indonesia. Sementara jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237 juta jiwa. Pada tahun 2015 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 255 juta jiwa
Data dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) menunjukkan hasil yang miris, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2013 sebesar 0,684 atau peringkat 108 dari 187 negara. Di Asia Tenggara peringkat Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Angka indeks tersebut menjadi salah satu indikator bahwa capaian pembangunan dan kualitas hidup manusia di Indonesia belum memuaskan untuk menciptakan sebuah pembangunan bangsa.
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu dan indeks pembangunan manusia yang belum memuaskan, maka keluarga diIndonesia akan menghadapi tantangan yang hebat dalam mendapatkan lingkungan dan ruang yang berkualitas untuk mengembangkan fungsinya. Padahal terpenuhinya ruang hidup yang seimbang adalah syarat mutlak kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu revitalisasi program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan oleh BKKBN adalah langkah tepat untuk memulai membangun keluarga sebagai bagian dari investasi SDM Indonesia di masa mendatang. Hal ini selaras dengan misi BKKBN yang mendorong pembangunan berwawasan kependudukan yakni pembangunan keluarga dan penyelenggaraan Keluarga Berencana.
Memulai Keluarga Berencana
Banyak cara menuju Roma, begitu kata pepatah yang digunakan untuk memulai jalan baik, menurut BKKBN, cakupan KB aktif yang menjadi standar secara nasional di tahun 2013 mencapai 75,88%. Bengkulu menjadi provinsi dengan cakupan KB tertinggi sebesar 87,70% dan Papua menjadi provinsi dengan cakupan terendah yaitu sebesar 67,15%. Sementara itu sampai Desember 2014 jumlah peserta KB aktif telah mencapai 35 juta dengan 7 juta di antaranya adalah peserta KB baru.
Perkembangan ini tidak boleh diabaikan di Indonesia, karena bagaimana pun segala upaya mengatur kelahiran anak dan kehamilan, jarak dan usia ideal melahirkan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi adalah untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Keluarga Berencana sendiri merupakan strategi untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang unggul dengan jalan mengendalikan kuantitas penduduk. Melalui KB jumlah penduduk dapat dikendalikan sehingga perlindungan keluarga dapat dimaksimalkan dan angka kemiskinan dapat ditekan. Bukan rahasia lagi jika keluarga yang memiliki banyak anak justru berasal dari keluarga dengan kemampuan terbatas. Di saat yang sama akses pendidikan juga dapat ditingkatkan dan pemerataan pelayanan kesehatan dapat lebih baik.
Pada dasarnya program KB tak sekadar bertujuan menyeimbangkan jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, karena lebih sekedar pengendalian jumlah penduduk, justru sebagai bagian untuk merevolusi mental pandangan “banyak anak banyak rezeki”, Pemikiran seperti itu masih melekat pada banyak keluarga sehingga peran keluarga menjadi tak berfungsi dengan baik.
Generasi Berencana
Kesadaran dan Pemahaman Remaja
Kaum remaja saat ini adalah kaum muda mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan. Secara globalpun, jumlah remaja adalah sebanyak 1,8 miliar atau seperempat dari jumlah total penduduk dunia. Sedangkan secara nasional, bangsa ini berada dalam sejarah demografi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana jumlah remaja sangat tinggi terhadap total populasi. Menurut data proyeksi penduduk tahun 2014, jumlah remaja mencapai sekitar 65 juta jiwa, atau 25% dari total penduduk.
Hal berikut yang menjadi perhatian adalah bagaimana membuat program pendewasaan usia perkawinan dan perencanaan keluarga, yang merupakan hal utama dari program pendewasaan usia perkawinan itu sendiri. Hal ini terkait langsung dengan kerangka yang terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: Pertama, masa menunda perkawinan dan kehamilan. Kelahiran anak yang baik adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 21 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu dibawah usia 21 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak. Sehingga, sangat dianjurkan, apabila ada seorang perempuan yang belum berusia 21 tahun, untuk menunda terlebih dahulu perkawinannya. Tapi, apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah usia 21 tahun, kembali dianjurkan untuk menunda kehamilan. Mengapa?
Sejumlah alasan medis yang sangat obyektif tentang urgensi penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 21 tahun, yaitu: (a) Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian ibu pada saat persalinan, nifas (6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan) dan juga risiko kematian bayinya. (b) Kemungkinan timbulnya risiko medis, seperti Keguguran, Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria), Eklamsia (keracunan kehamilan), Timbulnya kesulitan persalinan, Bayi lahir sebelum waktunya, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), Fistula Retrovaginal (keluarnya gas dan feses ke vagina), dan Kanker leher rahim. Kedua, masa menjarangkan kehamilan. Dan ketiga, masa mencegah kehamilan.
Bonus Demografi
Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi dimana ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak atau nonproduktif mengalami penurunan sehingga mencapai angka dibawah 50. Artinya, setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia nonproduktif. Tetapi, untuk mendapatkan Bonus Demografi ini, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan secara maksimal melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan penyediaan lapangan kerja. Data proyeksi penduduk menunjukkan bahwa Bonus Demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020 hingga 2035. Sedangkan pada 2020 – 2030, Indonesia mengalami window of opportunity. Setelah tahun 2030, Indonesia kemudian akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+), sehingga meningkatkan kembali rasio ketergantungan.
Namun tidak selamanya Bonus Demografi itu membawa berkah. Justru bisa berubah menjadi “Bencana” saat penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai, tidak memperoleh keterampilan yang cukup apalagi mumpuni. Ketika kondisi demikian terjadi maka penduduk usia produktif akan menjadi pengangguran serta dapat meingkatnya angka kejahatan maupun angka kriminalitas dengan subyek usia muda.
Sementara itu, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional periode 2004 – 2014 menunjukkan peningkatan proporsi penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) dan diikuti dengan penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun keatas) akan menyebabkan penurunan rasio ketergantungan. Diperkirakan, jumlah penduduk usia produktif akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang. Dengan catatan, faktor kesehatan dan kualitas SDM mendukung terjadinya hal tersebut.
Kompasiana Nangkring
BKKBN pun mengundang para blogger untuk memperkenalkan bagaimana Membangun Keluaraga adalah Membangun Bangsa dan merupakan revolusi mental yang kini diterapkan oleh pemerintah disegala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam acara tersebut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengutus DR Abidinsyah Siregar DHSM M.Kes selaku Deputi Bidang Advokasi, Deputi KPSK BKKBN Dr. Sudibyo Alimoeso, MA, serta terakhir Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany pada Rabu, 8 Juli 2015 di Hotel Santika Serpong, BSD, Tangerang Selatan (Tangsel).
Epilog
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola sumber dayanya bukan hanya sumber daya alam yang merupakan anugerah tapi juga sumber daya manusia dimana akan menentukan bagaimana arah bangsa sesungguhnya. Bonus demografi yang berarti anak muda memegang peran hanya akan menjadi catatan tak berarti jika pembangunan manusianya tak berjalan. Meningkatnya angka krimnialitas adalah bukti bahwa pembangunan manusia sebuah bangsa berjalan ditempat. Sebuah ironi jika itu terjadi