Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Keadilan Untuk Italiano, Roberto Di Matteo

22 Mei 2012   16:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:58 589 0
12 tahun lalu saat pertandingan piala UEFA antara Chelsea vs ST Allen, seorang pemain the Blues Chelsea terkapar, patah kaki begitu analisa tim dokter. Mengerikan, itulah kata yang terucap komentator saat kejadian. Usai ditandu keluar lapangan, dia masih meringis kesakitan, kesakitan yang luar biasa.

Jelang beberapa bulan setelah tragedi mengerikan itu, Roberto Di Matteo (sang pemain yang patah kaki) mengucapkan salam perpisahan kepada sepakbola karena kondisi fisiknya yang tak mampu kembali seperti sedia kala. Patah kaki benar-benar menyergap bakat terbaiknya, lantas peran haru birunya mengalahkan segalanya saat itu.

Matahari tetap terbit, hari berganti hari, Di matteo mencari kesibukan baru. Banyak hal yang dicoba, dari masuk kuliah, kursus kepelatihan, membuka bisnis restoran sampai bekerja di media TV. Tapi semua itu tak dapat mengganti kegusaran sang Italiano tentang sepak bola yang masih mendapat perhatian khusus darinya.

Tahun 2008 Di Matteo masuk ke jajaran manajemen MK Dons, klub liga divisi satu, Di Matteo beserta staf kepelatihan membawa klub tersebut ke peringkat tiga. Setahun kemudian Di Matteo berganti jersey dengan menukangi West Bromich Albion. Dengan gaya menyerang,WBA dibawa promosi ke Premier League. Sampai Di Premier League, WBA menebar ancaman, dari Liverpool, Manchester United, hingga Arsenal. Terkecuali Chelsea, entahlah yang pasti WBA tak berdaya melawan Chelseanya Ancelotti, klub memori sang manajer. Sempat beberapa pekan berjaya. WBA menemui nasib buruk di pertengahan musim. Sang pelatih pun dilengserkan demi alasan menyelamatkan klub. Akhirnya Di Matteo kehilangan pekerjaan dan sampai akhir musim hanya menunggu klub-klub yang mencari jasa kepelatihan.

Sampai musim berakhir tak ada satu pun klub yang terpikir memakai jasa kepelatihannya. Akhirnya ia mencoba mengajukan lamaran ke klub yang juara piala Carling tapi terdegradasi, Birmingham. Birmingham tak menghiraukan lamaran Di Matteo, hingga datang malaikat yang bernama Andre Villas Boas. Disini takdir menjodohkan Chelesa dengan Di Matteo lagi, bak mimpi bagi Di Matteo, kembali klub asal yang mempunyai makna khusus dihatinya.

Di Matteo mengaku tak mengenal Villas Boas sebelumnya. Ia mengaku di telpon oleh AVB untuk membantunya menangani Chelsea. Bulan berganti bulan, Chelseanya AVB tak kunjung menemui konsistensi, peluang gelar juara premier league hilang serta sering tak bertaji di kandang lawan. Ditambah AVB melakukan hal yang cukup berani, "memarkir" sejumlah pemain senior Chelsea, kecuali John Terry. JT mendapat beda perlakuan, walau sering ditampilkan tapi rasa solidaritas menyeruak apalagi setelah seorang Anelka "ditendang" hingga ke negeri China. Memimpin pemberontakan diiringi kekalahan demi kekalahan Chelsea, membuat sang "big boss" kehilangan kesabaran. Ya, Abramovich tak memberi garansi lagi kepada seorang Andre Villas Boas hingga akhir musim, kekalahan demi kekalahan memuncakan semua energi amarah yang ada. Disini seorang Di Matteo tampil dan memicu kesinisan di media Inggris.

Diawal kepelatihannya Media Inggris dengan sinis menuduh Di Matteo memfasilitasi "pemberontakan" pemain senior Chelsea, Di Matteo cendrung diam dan tak berkomentar, ia hanya fokus bagaimana Chelsea melewati pertandingan demi pertandingannya. Ujian pertama melawan Birmingham dilewati sukses, klub yang sempat menolaknya mendapat pelajaran dari kebangkitan armada Chelsea, hingga laga melawan Napoli dalam leg dua liga champion.

Chelsea memenangi salah satu pertandingan krusialnya tahun ini melawan Napoli. Tapi ada gelagat yang muncul yaitu bagaimana aksi Terry yang juga mantan rekan setim Di matteo memberi instruksi kepada Essien tertangkap oleh para media Eropa. Reaksi cepat media Eropa menghasilkan kesimpulan : ada kekuatan senioritas yang begitu luar biasa di kamar ganti Chelsea.

Kesimpulan yang mematahkan isu tentang Di Matteo yang membantu pemberontakan pemain Chelsea. Namun hal tersebut menjatuhkan harkat seorang Di Matteo sebagai pelatih Chelsea. Waktu berganti hingga Di Matteo merasakan kekalahan pertama saat melawan Manchester City.

Menjelang laga krusial melawan klub terbaik dunia Barcelona, Di Matteo tak berani pasang target. "Jangan memainkan sepakbola menyerang melawan klub seperti Barcelona" adalah jalan terbaik dari yang ada. Cattenacio menjadi pilihan terbaik. Tapi ada satu yang tak boleh dilupakan, keberuntungan atau nasib. Dan ini yang berpihak pada Chelsea.

Dengan bermain gaya Italia, Chelsea sukses menyingkirkan klub terbaik di planet Bumi, Barcelona, tentu dengan permainan yang displin ala tentara dan serangan balik secepat-cepatnya. Kemenangan 1-0 di Stamford Bridge menjaga bekal Chelsea saat berkunjung di Nou Camp.

Di Nou Camp, Chelsea benar- benar diliputi "keistimewaan", seakan-akan takdir sudah memihak kepada Chelsea jauh sebelumnya. Bagaimana tidak istimewa, ketinggalan 2-0 melawan klub sekaliber Barcelona ditambah kartu merah yang diterima John Terry di menit 37, saat itu apakah ada yang berani menjagokan Chelsea untuk lolos ke final?.

Setelah penderitaan Chelsea, nasib baik mulai bekerja dan menjelaskan semuanya. Gol Ramires saat eksta time babak pertama memperpanjang nafas Chelsea. Di babak kedua, Barcelona mendapat penalti dan ternyata tendangan penalti pemain tebaik dunia Lionel Messi hanya membentur tiang. Messi, sekali lagi tendangan hanya menemui mistar gawang. Takdir selanjutnya mempersilahkan seorang Torres untuk unjuk gigi. Gol yang dibuatnya di detik terakhir menunjukkan bagaimana seorang Di Matteo membantu Torres menuju performa terbaiknya. Dari sana semua justru mencaci maki "keindahan" sepakbola Chelsea.

Di final FA, Chelsea melawan salah satu klub rival di liga Inggris, Liverpool. Keunggulan 1-0 dibabak pertama melalui gol Ramires berhasil digandakan melalui si "Spesial Wembley", Didier Drogba. Walaupun Liverpool sempat menuai harapan saat Carrol mencetak gol namun takdir menentukan Chelsea untuk membalas gol "hantu" Luis Garcia saat melawan Chelsea di semifinal liga champion 2005. Saat gol Luis Garcia tak dapat dibuktikan oleh kamera dari berbagai sudut manapun. Gol Roy Carrol yang menemui tangan Petr Cech hanya bertahan di garis gawang mampu dibuktikan oleh kamera yang diposisikan sejajar garis gawang. Liverpool urung gol, Chelsea menemui piala pertamanya. Ada yang menjamin Chelsea mendapat gelar juara ketika krisis melanda Chelsea di pertengahan musim. Jawabannya tidak.

Di final liga Champion, kehilangan empat pilar di lini belakang dan tengah membuat Chelsea tidak diposisikan menjadi unggulan. Ditambah melawan Bayern Munich yang bermain dikandang, Fussball Arena, Munich, posisi Chelsea menjadi juara tak dianggap oleh seluruh pengamat, serta bandar judi di Eropa. Terhina, justru Chelsea akan bermain lepas tanpa beban walau Roman Abramovich menggantung asa setinggi langit untuk menjadi juara liga Champion.

Bermain dengan terus diserang sepanjang pertandingan tentulah tak menjamin Chelsea menjadi juara. Sampai gol Muller di menit 83 melengkapi suka cita para pendukung tuan rumah. Muller begitu bahagia tak terkira dengan golnya. Seakan sudah memenangi piala, seluruh pendukung tuan rumah di Fussball arena sudah riang gembira. Muller pun ditarik keluar diganti dengan Van Buyten untuk menjaga keunggulan Bayer Munich. Muller pun merayakan kemenangan pertamanya difinal liga Champion di bench pemain. Selesai?.

Takdir menjawab beda, Chelsea mendapat sepak pojok pertamanya sepanjang pertandingan. Hasilnya, Drogba kembali menjadi sosok spesial difinal. Gol Drogba dimenit 89 memperpanjang nafas Chelsea minimal sampai ektra time bergulir. Di ekstra time 90+3 Drogba menekel Ribery dikotak 16, Munich penalti, Robben siap mengeksekusi.

Jika ini hanya pertandingan bundesliga biasa, maka jaminan Robben sukses mendekati 98 persen. Namun ini final, Jika gol Munich juara, jika gagal mental juara siap hilang. Posisi Robben sama seperti John Terry di final Moskow 2008. Robben hanya manusia biasa, tekanan yang dirasakan saat itu justru semakin besar dan tidak dapat dikendalikan. Konsentrasi? Tanyalah apa ia akan mampu mengingat teknik menendang yang baik dan benar. Robben gugup, bola berhasil ditangkap Cech. Cech yang berlatih video tendangan penalti pemain Munich menuai hasilnya, Nafas Chelsea berlanjut di ekstra time 15x2.

Di ektra time urung gol terjadi, hingga berlanjut ke babak adu tendangan penalti. Banyak yang mengangap kesuksesan tendangan penalti ditentukan oleh kesuksesan tendangan pemain pertama. Tapi lihat Chelsea, eksekusi Juan Mata si penendang pertama chelsea berhasil diantisipasi Manuel Neuer. Chelsea kalah?, justru tekanan makin meningkat pada pemain kedua belah tim berikutnya.

Lagi nasib baik hanya hinggap di Chelsea. Pemain Bayern Munich menemui kesialan, Ivica Olic tak mampu memenangi "Psy war" dengan Cech. Tendangan Schweistiniger hanya berpapasan dengan tiang gawang. Drogba, from hero to hero memantik gelar juara pertama Chelsea. Juara baru Eropa lahir dan menghadirkan suka cita tiada tara para pemain Chelsea, spesial untuk Di Matteo.

Banyak yang mengangap Sepakbola terlihat kejam, dengan penguasan bola dan penyerangan dominan, Bayer Munich pantas menjadi juara, nyatanya, Chelsealah yang menjadi juara.

Disini sepakbola justru berlaku adil. ketika Di Matteo harus patah kaki, mungkin ia akan meyalahkan kekejaman ketidakadilan sepakbola atas dirinya. Ketidakadilan yang dirasakan saat itu telah menguras air mata dan energinya. Bahkan setelah bertahun ketidakadilan masih dirasakannya. Kini masa lalu yang pahit telah berbuah manis, Dari Inggris dan Eropa, keadilan sepakbola untuk si Italiano, Roberto Di Matteo.....

Jakarta, 22 Mei 2012

Twitter:@haendy_busman

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun